Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenapa Kamu Baca Artikel Ini? Why? What Make Us Curious

1 Desember 2020   22:30 Diperbarui: 2 Desember 2020   06:08 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Thinkstockphotos via KOMPAS)

Jika hidup hanya tentang bertahan hidup, matematika murni tidak akan membawa kita sejauh ini. Kita tidak bisa membunuh harimau dengan teori grup, atau mengumpulkan makanan dengan pola bilangan prima. Hal serupa berlaku untuk seni, atau keinginan untuk memahami hukum alam semesta. Bidang-bidang ini tidak punya manfaat langsung, namun seperti yang kita lihat, manusia punya keingintahuan yang tak terpadamkan untuk menjelajahinya. Mengapa?

Itulah pokok bahasan buku terbaru Mario Livio, Why? What makes us curious. Livio adalah seorang astrofisikawan dan penulis buku, Ia mempelajari psikologi, ilmu saraf, dan sejarah. "Saya kebetulan orang yang sangat ingin tahu," tulisnya. "Dan suatu saat saya menjadi penasaran dengan rasa ingin tahu. Apa yang membuat kita penasaran?"  

Untuk menjawab pertanyaan ini, Livio berbicara dengan orang-orang yang ingin tahu dari berbagai latar belakang, mulai dari Astronomer Royal Martin Rees hingga gitaris Queen Brian May. Hasilnya adalah wawasan yang menarik tentang sebuah fenomena yang fundamental bagi umat manusia tetapi secara mengejutkan kurang diteliti.

Livio memulai bukunya dengan melihat keingintahuan yang paling ekstrim. Politisi dan seniman Renaisans Leonardo da Vinci dan fisikawan legendaris Richard Feynman penerima Hadiah Nobel Fisika 1965, sama-sama tertarik pada hampir semua hal. "Saya tidak tahu apa-apa, tapi saya tahu bahwa semuanya menarik jika anda membahasnya cukup dalam," kata Feynman. 

Keduanya memiliki keinginan yang luar biasa untuk memahami cara kerja dunia dan menggunakan semua alat yang mereka miliki - seni, sains, dan matematika - untuk mencari tahu. Meskipun dipisahkan sejauh lima abad, Leonardo dan Feynman punya beberapa minat yang sama. Keduanya menyelidiki fisika cahaya lilin, misalnya, dan banyak berpikir tentang gelombang. Penemuan Livio paling bikin greget berasal dari halaman buku catatan mereka. "Sungguh luar biasa bahwa beberapa halaman ini terlihat hampir sama," tulisnya, "keduanya penuh dengan gambar dan segala macam matematika."

Bahwa matematika harus muncul secara alami setiap kali seseorang mulai berpikir mendalam tentang dunia adalah misteri tersendiri. Tapi sejauh menyangkut rasa ingin tahu, yang menarik bukan hanya kesejajaran antara Leonardo dan Feynman, tetapi juga perbedaan penting: Leonardo pandai seni dan buruk dalam matematika, sebaliknya Feynman pandai matematika dan buruk dalam seni. "Jelas bagian otak kita yang bertanggung jawab atas rasa ingin tahu tidak secara langsung terkait dengan bakat hebat dalam matematika, yang tidak dimiliki Leonardo, atau bakat besar dalam seni, yang tidak dimiliki Feynman," tulis Livio.

Jadi dengan apa mereka terhubung? Pertanyaan itu mengarah pada salah satu kejutan dalam buku ini. Jelas semua rasa ingin tahu itu tidak sama. Penasaran tentang hukum Semesta berbeda dengan penasaran tentang percakapan telepon orang lain, atau tentang apa yang terjadi di Instagram dalam dua menit ketika kita tidak melihatnya tadi. Psikolog Daniel Berlyne mengklasifikasikan keingintahuan sebagai berikut: Pertama ada keingintahuan perseptual, yang kita rasakan saat melihat sesuatu yang baru, ambigu, atau membingungkan, seperti jerapah berjalan di jalan raya. Berlawanan dengan keingintahuan perseptual adalah keingintahuan epistemik, atau "nafsu pikiran" sebagaimana Thomas Hobbes menyebutnya, yaitu tentang mendapatkan pengetahuan yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal seperti matematika. 

Lalu ada sepasang jenis keingintahuan lainnya: keingintahuan spesifik, yaitu tentang menemukan informasi tertentu, menjawab solusi untuk persamaan tertentu, dan kebalikannya, keingintahuan yang beragam, merupakan keinginan gelisah akan hal baru untuk menghilangkan kebosanan. Keingintahuan seperti itulah yang kita puaskan ketika terus-menerus memeriksa media sosial.

Kejutan yang disebutkan di atas muncul lagi di bab tentang ilmu saraf. Beberapa ahli saraf telah menyelidiki keingintahuan, tetapi beberapa yang menemukan bahwa keingintahuan epistemik (nafsu akan pengetahuan) dikaitkan dengan berbagai area otak dari keingintahuan perseptif (yang kita rasakan ketika kita melihat sesuatu yang aneh atau baru). 

"Baik pikiran dan otak kita menganggap keingintahuan perseptif sebagai keadaan yang tidak menyenangkan," jelas Livio. "Kita merasakan ketidaknyamanan ketika kita merasa ada sesuatu yang ambigu dan tidak sesuai dengan apa yang kita ketahui. Ini seperti gatal yang perlu digaruk. Dan memang, (daerah) yang diaktifkan di otak adalah (daerah) yang biasanya terkait dengan konflik atau rasa lapar. "

Keingintahuan epistemik, di sisi lain, adalah hal yang menyenangkan untuk dirasakan. Kita menikmati momen saat memuaskan dahaga akan pengetahuan, baik itu dalam matematika atau dalam mengklasifikasikan kupu-kupu. "Di otak itu dikaitkan dengan (daerah) yang bekerja dengan antisipasi hadiah," kata Livio. "Pengetahuan adalah pahala atas pencarian kita untuk itu. Seandainya kita mengetahuinya sejak awal, kita bahkan mungkin telah memberikan nama yang berbeda untuk kedua jenis keingintahuan itu."

Temuan ini menyoroti berbagai teori keingintahuan, yang juga dieksplorasi Livio. Teori kesenjangan informasi, misalnya, menegaskan bahwa kita manusia merasakan kebutuhan yang mendalam untuk mendamaikan apa yang kita lihat di sekitar, dengan gagasan kita tentang seperti apa dunia seharusnya. Ketika ada celah antara ide dan kenyataan, saat kita kehilangan informasi atau bingung, kita didorong untuk mengisi celah itu.

Teori tersebut dengan baik menjelaskan sesuatu yang selalu kita pertanyakan: mengapa percakapan telepon orang asing yang duduk di sebelah saya di kereta, jauh lebih menarik daripada apa pun yang mungkin saya lakukan saat itu. Menurut Livio, itu karena percakapan sepihak penuh dengan celah, yang otak dan pikiran kita sekarat untuk mengisinya. Teori ini melihat keingintahuan sebagai hal yang tidak menyenangkan, gatal yang perlu digaruk.

Ilmu saraf menjelaskan bahwa otak kita menghargai informasi dan memberi penghargaan kepada kita karena memperolehnya. Ada alasan evolusi yang jelas mengapa otak kita harus menyukai informasi: itu penting untuk kelangsungan hidup, tetapi mengapa keingintahuan manusia meluas ke tingkat ekstrem yang "tidak berguna" seperti matematika murni masih merupakan misteri. 

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa rasa ingin tahu meningkatkan daya ingat. "Kita lebih mengingat hal-hal yang bikin penasaran," kata Livio. Para peneliti telah mendemonstrasikan hal ini dalam eksperimen di mana orang-orang diperlihatkan gambar wajah acak dan ternyata lebih mengingat wajah yang mereka lihat saat dalam keadaan ingin tahu. "Mungkin kita diprogram untuk masuk ke keadaan di mana kita mengingat banyak hal dengan lebih baik, karena itu pasti bermanfaat bagi kita," kata Livio.

Bab tentang evolusi keingintahuan juga berisi bagian buku favorit saya. Kemampuan kita untuk menjadi sangat ingin tahu terkait dengan kekuatan otak kita yang superior, yaitu, dengan banyaknya neuron di otak kita. Banyak neuron menghabiskan banyak energi, jadi nenek moyang kita hanya mampu mengembangkan otak yang begitu kuat karena mereka mengoptimalkan asupan energinya. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan menciptakan masakan, membuat makanan yang sebelumnya tidak bisa dimakan menjadi bisa dimakan, dan membuat makanan lebih bergizi, lebih mudah dikunyah, dan rasanya lebih enak. Keingintahuan merekalah yang memungkinkan nenek moyang kita untuk menciptakan masakan di pertama kali, kemudian menemukan api yang kita butuhkan untuk itu dan alat yang diperlukan. Hasilnya adalah otak yang lebih baik dan keingintahuan yang lebih dalam, yang pada gilirannya mengarah pada sumber makanan baru, pembentukan komunitas, dan akhirnya menjadi bentuk budaya. 

Dengan kata lain, ada umpan balik positif antara rasa ingin tahu yang menjadikan kita manusia, yang mendorong kita untuk melakukan matematika murni atau menghasilkan seni yang menakjubkan, dan - memasak! Tidak semua ilmuwan setuju dengan saran ini, tetapi ini adalah ide yang sangat memuaskan.

Saya baca buku ini dari sudut pandang seorang yang awam dunia sains, namun buku ini memiliki daya tarik yang jauh lebih luas karena sudut pandang Livio sangat luas. Ia membawa sastra, seni dan sejarah dan, yang terpenting, pengalaman pribadi dari orang-orang yang sangat ingin tahu. Gaya tulisannya menarik dan menyenangkan, jadi meskipun tidak terlalu suka sains, kamu akan menemukan banyak ide dalam buku ini untuk membuatmu terus berpikir. Dan meskipun tidak memberikan jawaban akhir untuk pertanyaan tentang keingintahuan (karena belum ada), buku ini akan meyakinkan kita bahwa keingintahuan adalah hal yang baik. 

Kadang-kadang bisa untuk membunuh harimau, tetapi, seperti yang dikemukakan Livio, kepuasan akan menghidupkan kembali harimau itu. Semoga tulisan ini bisa menjawab judul artikel. Selamat melanjutkan ke penasaran artikel berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun