Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bertahan dari Belenggu Gangguan Mental

14 Oktober 2025   22:26 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:26 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com/Mindworld

Saya kemudian menjawab, "Ya, kan saya berobat, Bu. Ikhtiar."

Si ibu diam. Ia hanya mengangguk pelan sampai tiba gilirannya untuk dilayani pemilik warung.

Pertanyaan si ibu menandakan ia kurang paham bahwa gangguan mental bisa dipulihkan dengan berobat ke medis. Kondisi saya waktu itu sudah jauh berbeda dari kondisi saya waktu tahun 2018 atau 2019 yang lalu. Saya sudah lebih baik dalam menilai realitas sehingga kehidupan yang saya jalani pun tampak normal di mata orang lain. Beberapa orang ada yang nggak percaya saya memiliki gangguan mental hanya gara-gara melihat waktu itu kondisi saya cukup stabil. Hal ini menandakan bahwa banyak masyarakat memang nggak teredukasi soal isu kesehatan mental dengan baik. Mereka terus meyakini kepercayaan lama bahwa penderita gangguan mental adalah selalu ODGJ yang berkeliaran di jalan dengan pakaian lusuh dan nggak akan bisa sembuh.

Anggapan lain yang beredar di masyarakat adalah kebanyakan menganggap gangguan mental atau jiwa adalah sesuatu yang lain dari penyakit fisik. Mereka merasa bahwa gangguan jiwa adalah sesuatu yang absurd, sesuatu yang nggak terlihat, dan sesuatu yang nggak ada kaitannya dengan dunia medis atau kedokteran. Makanya, orang-orang jadi berpendapat bahwa gangguan jiwa adalah karena diguna-guna, kesurupan, dan berbagai pendapat lain yang nggak jauh dari logika mistika. Sehingga, gara-gara pendapat ini banyak orang memilih untuk membawa penderita gangguan mental atau jiwa ke "orang pintar", untuk kemudian dibacakan mantra atau bahkan disembur mukanya dengan air yang sudah terkontaminasi (oleh jigong si penyembur). Mereka rela menempuh cara-cara seperti itu, karena kurangnya pengetahuan soal isu kesehatan mental dan percaya begitu saja kepada si "orang pintar" yang mereka yakini sangat bisa menyembuhkan si penderita. Alasan mereka untuk percaya ke "orang pintar" juga kurang kuat. Bahkan mereka juga nggak tahu apa latar belakang si "orang pintar", mengapa dia bisa menyembuhkan seseorang.

Saya sendiri sudah beberapa kali mendapat stigma seperti itu. Bahkan salah satu pelakunya adalah dari saudara sendiri. Kebanyakan menilai bahwa saya diguna-guna, kerasukan jin, sehingga saran-saran yang mereka berikan pun adalah ke "orang pintar".  Begitu kental stigma dan saran seperti itu di masyarakat membuat mereka jadi kurang paham bahwa gangguan mental juga berkaitan dengan fungsi organ tubuh dan kimia otak. Skizofrenia yang saya alami misal, masalahnya ada di otak. Berlebihnya zat dopamin membuat saya mengalami halusinasi dan delusi: mendengar, melihat, dan merasakan yang nggak nyata. Untuk itulah saya berobat. Untuk menyeimbangkan kembali zat tersebut agar saya bisa normal dalam menjalani kehidupan. Sampai sini, setelah mengalami, menghadapi, dan mengetahui, saya sepakat kalau penyakit mental sama seperti penyakit fisik: sama-sama perlu pertolongan medis.

Nggak hanya pada penyintasnya, stigma juga dilayangkan pada terapi obat gangguan mental. Karena kurangnya pemahaman soal isu kesehatan mental, terapi obat untuk gangguan mental sering kali dianggap bahaya dan menyebabkan ketergantungan (apa lagi yang berobatnya lama seperti saya). Stigma seperti ini jelas menghambat dan merugikan banyak orang yang seharusnya bisa mendapatkan manfaat dari terapi tersebut. Selama saya mengonsumsi obat, saya nggak pernah merasa ketergantungan dengan obat yang saya minum. Bagi saya, terapi obat membuat saya lebih baik, membuat saya terhindar dari gejala-gejala yang dulu menghantui, dan membuat saya terbantu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu berbeda dari definisi ketergantungan yang sering dilayangkan pada orang-orang yang menyalahgunakan obat. Saya mendapatkan obat secara legal, mereka mendapatkannya secara ilegal. Saya meminumnya sesuai dengan dosis yang ditentukan dokter, mereka meminumnya seenak udel. Saya merasakan manfaat positif dari obat tersebut, mereka mengincar efek negatif dari mengonsumsi obat tersebut. Mungkin dari pada menyebutnya ketergantungan, saya rasa lebih tepat menyebutnya sebagai kebutuhan. Sayangnya, kebiasaan banyak orang yang mudah percaya pada info yang nggak dicari tahu dulu kebenarannya, membuat stigma soal obat berbahaya laku keras dan bersemayam dalam benak banyak masyarakat.

Kini, setelah enam tahun berobat, bisa dibilang kondisi saya cukup baik. Dibandingkan dengan di masa lalu, saya sudah jarang mengalami halusinasi, delusi, atau bahkan insomnia yang dulu jadi makanan saya sehari-hari. Pernah, ada kalanya di suatu masa di hidup saya, saya meratap: kok, hidup gue jadi gini ya? Tapi, begitulah hidup: nggak ketebak. Ada kalanya kehidupan berjalan nggak sesuai dengan harapan kita. Tapi, ya, harus diakui memang seperti itulah adanya. Kata orang realita itu kejam. Tapi bagi saya halusinasi dan delusilah yang justru lebih kejam. Pelan-pelan, halusinasi dan delusi menyingkirkan saya dari realita, membuat saya terlihat aneh dan membuat saya ketakutan pada hal-hal yang sebenarnya nggak nyata. Saya pernah sedih, kecewa, dan merasa menjadi manusia paling nggak berguna gara-gara meratapi ini. Tetapi, di tengah-tengah ratapan itu, saya justru menemukan arti hidup dari hal-hal kecil. Entah, ketika saya membantu driver ojek yang sulit menemukan alamat, membeli dagangan dari seorang ibu yang berjualan keliling (meski dengan jumlah yang nggak seberapa), atau membantu seorang nenek yang kebingungan untuk registrasi di rumah sakit untuk berobat ke poli yang dia tuju. Saya punya peran, pun begitu juga dengan semua orang. Dan kalau saya punya peran---meski peran itu kecil dan kurang berarti di mata orang lain---itu berarti saya masih berguna. Saya lalu sadar: pikiran yang membuat saya merasa nggak berguna adalah pikiran yang menipu. Saya bukan apa yang saya pikirkan, atau orang lain pikirkan. Saya adalah bagaimana saya berpikir. Saya percaya bahwa hidup adalah siklus untuk mengalami perasaan-perasaan yang pernah kita alami---atau orang lain pernah alami. Kalau saya pernah sedih, pasti saya akan bahagia lagi. Kalau saya pernah jatuh, pasti saya akan bangkit lagi. Dan, kalau saya pernah kambuh, pasti suatu hari saya akan pulih lagi. Menulis cerita ini mungkin nggak membuat saya pulih seratus persen, tetapi menyelesaikannya membuat saya paham apa itu rasanya lega.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun