Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bertahan dari Belenggu Gangguan Mental

14 Oktober 2025   22:26 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:26 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com/Mindworld

Pada suatu sesi konsul saya pernah bertanya ke psikiater tentang kenapa saya bisa begini. Psikiater lalu menjelaskan kalau skizofrenia adalah gangguan mental yang multifaktor. Ia nggak disebabkan oleh satu hal, melainkan banyak. Ada tiga faktor yang disebutkan oleh psikiater waktu itu: genetik, biologis, dan lingkungan. Di antara ketiganya, saya merasa relate dengan faktor lingkungan berupa stres berat yang dulu pernah menimpa saya, yang kemungkinan membuat saya mengembangkan potensi skizofrenia. Jadi, di masa lalu saya pernah stres gara-gara mendapat tekanan di lingkungan kerja. Saya lalu memutuskan resign. Namun, alih-alih stres itu hilang, saya malah mendapat tekanan lagi dari orang-orang di lingkungan rumah. Keputusan saya untuk resign dicemooh. Dibilang bodoh, tolol, dan berbagai ujaran lain yang nggak seharusnya pantas untuk dilontarkan ke saya. Saya mengerti apa yang saya lakukan adalah kegagalan. Tapi, bukan dengan itu orang lain bebas menghardik saya dan merasa seolah-olah saya nggak bakal punya kesempatan lagi. Hidup terasa serba salah waktu itu: bertahan salah, resign pun juga salah. Dan, karena saya terus memendam semuanya sendiri, jadilah saya semakin terpuruk selama berhari-hari.

Namun, perlu saya tekankan lagi bahwa skizofrenia adalah gangguan mental yang multifaktor. Nggak selalu orang yang merasakan stres seperti saya bakal mengalami skizofrenia juga. Bisa jadi, pada kasus saya dua faktor lain selain faktor lingkungan juga sudah ada di diri saya sejak lama tanpa saya sadari dan ketahui. Dan, apapun penyebabnya sekarang, buat saya nggak lebih penting dari bagaimana menghadapinya.

Sepanjang belajar menghadapi skizofrenia, saya paham bahwa nggak ada kata sembuh bagi penyintasnya, melainkan pulih. Pulih dalam arti si penyintas bisa kembali normal dalam menjalani kehidupan, namun dengan bantuan obat-obatan. Saya akui memang berat di awal-awal ketika harus menelan fakta bahwa saya harus selalu meminum obat. Ada kalanya saya meratapi nasib, kehilangan semangat, dan jadi malas mengonsumsi obat secara rutin. Efeknya: ya, tentu saja saya jadi kambuh lagi. Psikiater agak kecewa ketika mengetahui saya minum obat bolong-bolong dan akhirnya kambuh. Namun, alih-alih memarahi, ia justru memberi saya edukasi. Ia beri tahu lagi betapa pentingnya minum obat bagi saya yang mengalami skizofrenia. Dia juga berpesan kepada saya untuk jangan memusuhi obat, dan mulailah menganggapnya seperti teman. Menurutnya, minum obat bagi yang membutuhkan harus dianggap sebagai rutinitas yang ringan, yang nggak perlu dijalani dengan malas-malasan atau bermuka masam. Psikiater lalu memberi saya contoh orang-orang di luar sana yang juga harus mengonsumsi obat demi keberlangsungan kehidupan. Bukan untuk membandingkan katanya, tetapi untuk membuat saya sadar bahwa saya bukanlah satu-satunya orang di dunia yang harus menjalani rutinitas tersebut. Saya cukup mengerti pesan psikiater. Secara nggak langsung ia ingin bilang kepada saya bahwa obat adalah alat bantu yang penting. Mungkin analoginya sama seperti orang bermata minus yang harus mengenakan kacamata---dan nggak masalah dengan itu---saya pun sepertinya harus punya persepsi yang sama.

Nasihat psikiater cukup mudah untuk dipahami dan diterima. Sejak itu, semangat saya dalam mengonsumsi obat muncul lagi. Saya kembali rajin mengonsumsinya dan nggak menganggapnya lagi sebagai beban yang harus diratapi berhari-hari. Lagi pula, kalau dipikir-pikir buat apa juga saya merasa beban minum obat yang prosesnya saja bisa berlangsung sangat cepat. Menyadari ini, saya rasa bukan rutinitasnya yang berat, tetapi pikiran saya yang ke mana-mana sama fakta harus selalu meminum obat. Saya merasa menjadi makhluk paling menyedihkan di muka Bumi yang harus menelan pil itu setiap hari. Pikiran semacam itulah yang membuat saya lupa dari tujuan utama: nggak mau lagi merasakan kambuh.

Dan, terbukti juga akhirnya, ketika saya kembali rajin mengonsumsi obat---dan nggak menganggapnya lagi sebagai beban---perlahan tapi pasti gejala-gejala itu mereda kembali. Psikiater cukup happy ketika mendengar saya semakin stabil dari waktu ke waktu. Ia berkata: jika keadaan saya terus seperti ini, maka target pengobatan saya untuk hanya meminum satu jenis obat setiap hari bisa dengan mudah tercapai dan terpenuhi. Saya cukup happy mendengar itu karena berarti jalan menuju pulih itu: ada.

***

Lalu masalah lainnya dalam menghadapi skizofrenia adalah stigmanya. Penderita skizofrenia---atau gangguan mental secara keseluruhan---sering kali dianggap atau dicap "orang gila". Bahkan, hanya ketika mendengar seseorang pergi ke psikiater, kebanyakan pasti bertanya dengan dahi mengernyit penuh heran, "lo gila, Bro?" Saya sendiri pernah mendapat stigma itu langsung dari seorang ibu-ibu sekitar rumah yang nggak sengaja bertemu saya waktu sedang mengantre di warung. Si ibu bertanya setelah memperhatikan saya dalam beberapa detik yang panjang.

"Kamu bukannya anaknya si anu yang katanya gila itu ya? Yang berobat ke psikiater?"

Saya menjawab datar, "Iya, Bu."

Si ibu bertanya lagi, "Kok kamu kelihatan normal-normal aja?"

Jujur, waktu itu saya agak kesal dengan ucapan si ibu. Bisa-bisanya dia blak-blakan menyebut saya "gila" hanya gara-gara dia dengar saya berobat ke psikiater. Kenapa juga dia harus heran melihat saya normal? Bukankah dia tahu saya berobat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun