Saya menjawab, "Di telinga, Dok."
"Benar-benar jelas di telinga?"
Saya mengangguk.
Suasana mendadak hening. Mata psikiater kembali berlabuh ke buku catatan saya, membuka kembali halaman-halaman sebelumnya, lalu setelahnya berkata, "Minggu depan bisa nggak kamu datang sama ibu kamu? Cuma untuk hari itu aja."
Saya diam sebentar. Kemudian mengangguk untuk menyanggupi permintaannya. Ia lalu meresepkan saya obat. Nggak lama saya keluar dengan membawa resep tersebut, menebusnya ke apotek, dan membawa pulang obat yang saat itu entah kenapa beda dari obat-obat saya sebelumnya.
Pada minggu berikutnya, sesuai janji saya datang ke psikiater ditemani oleh ibu saya. Ia sampai harus izin kepada bosnya untuk menemani saya berkunjung ke rumah sakit hari itu. Di sanalah semuanya terungkap: saya mengalami gejala psikotik. Suara-suara yang saya dengar merupakan bagian dari halusinasi. Sementara rasa cemas dan takut yang mengganggu sehari-hari---yang tadinya diduga sebagai gejala kecemasan---ternyata adalah delusi. Di situlah pertama kali saya mendengar kata skizofrenia. Psikiater kemudian menjelaskan kepada saya dan ibu apa itu skizofrenia. Secara singkat ia adalah gangguan mental yang mempengaruhi penderitanya dalam berpikir, merasa, dan berperilaku. Masalah utama penderita skizofrenia terletak pada otaknya. Di mana penderita sulit membedakan mana halusinasi dan mana kenyataan. Skizofrenia juga terbagi dalam beberapa golongan. Yang mana, dalam kasus saya, saya mengalami skizofrenia paranoid.
Terungkapnya hal itu membuat ibu saya baru tahu kalau saya sering mendengar suara-suara yang nggak nyata. Selama ini ia nggak tahu sama sekali karena saya yang minim sekali berbicara untuk cerita. Selain itu, saya juga nggak sadar bahwa suara-suara itu merupakan gejala dari suatu gangguan mental, sehingga nggak perlu rasanya untuk cerita ke siapapun, termasuk ke ibu saya. Ibu hanya bisa melihat gejala-gejala yang nampak pada diri saya, seperti kecemasan, ketakutan, dan insomnia. Sehingga, hanya itulah yang bisa ia sampaikan ke psikiater saat pertama kali saya konsul. Di mulai dari sejak itu, setelah semuanya terungkap, perjuangan saya yang sesungguhnya dalam menghadapi gangguan mental dimulai.
Minggu-minggu berikutnya sesi konsultasi selalu fokus ke bagaimana saya harus menghadapi halusinasi dan delusi. Di antara keduanya, yang paling sering diperbincangkan adalah halusinasi suara. Selain harus mengonsumsi obat untuk menekan gejalanya, psikiater juga meminta kepada ibu untuk mengalihkan pikiran saya dari suara-suara tersebut. Ia berpesan: jangan sampai saya tenggelam atau terhanyut oleh suara-suara itu. Saya juga diharuskan cerita ke ibu setiap kali mendengar suara-suara, selain untuk memberi sinyal ke ibu kalau saya butuh dialihkan, hal itu juga untuk mengonfirmasi apakah suara yang saya dengar nyata atau nggak. Ini menjadi fokus masalah yang terus dihadapi dan selalu dibicarakan setiap kali saya berkonsultasi. Hal itu dilakukan demi saya bisa mengatasi gejala dan terhindar dari tindakan-tindakan yang nggak berdasarkan realita.
***
Dan, sejak itu kemudian tahun-tahun berlalu. Banyak sudah yang saya lewati seputar menghadapi gangguan mental ini. Sejak pertama berobat, sampai saya menulis ini, waktu sudah berjalan selama kurang lebih enam tahun. Selama itu saya terus berjuang: rajin berobat dan terus mendengarkan apa-apa yang dikatakan psikiater. Pada masa stabil, saya mulai penasaran soal gangguan mental yang saya alami dan mulai bertanya banyak ke psikiater tentang hal-hal yang berkaitan dengan gangguan mental ini. Salah satu yang membuat saya penasaran adalah berapa lama saya harus menjalani ini, terapi ini. Psikiater lalu memberi tahu bahwa pemulihan skizofrenia adalah proses yang panjang. Konon lamanya tergantung dari tingkat keparahan masing-masing individu. Ia pernah bilang: semakin lama terdeteksi, semakin lama pula jangka waktu pengobatan yang dijalani. Hal itu membuat saya paham, bahwa saya harus ekstra sabar dalam menghadapi gangguan mental yang menyiksa ini.
Masalah utama saya di awal-awal menjalani terapi adalah soal obat. Adanya obat yang saya minum pagi hari, yang ternyata membuat saya lumayan mengantuk menjadi kegelisahan saya di awal-awal mengonsumsi obat tersebut. Memang, nggak sedahsyat obat malam yang membuat saya langsung tepar dan bermimpi indah di pulau kapuk. Namun, tetap saja saya merasa risi karena dengan begitu saya jadi kebanyakan tidur. Untungnya, efek itu hanya sementara saja. Cuma di awal-awal saja saya mengantuk saat meminum obat pagi dan seterusnya saya hanya mengantuk waktu meminum obat malam saja. Yang mana, obat malam yang membuat ngantuk itu memang diperlukan agar saya bisa tidur nyenyak dan punya waktu yang cukup untuk beristirahat. Psikiater pernah berpesan: kualitas tidur yang baik dapat menstabilkan dopamin. Yang mana, dalam kasus saya yang mengalami skizofrenia, ketidakstabilan zat dopamin itulah yang membuat saya mengalami gejala. Saya kini paham kenapa dulu kondisi saya bisa separah itu. Dopamin yang berlebih, dan insomnia yang parah, adalah kombinasi yang ekstrem untuk membuat segalanya memburuk.