Mohon tunggu...
Dhiya Ulhaq
Dhiya Ulhaq Mohon Tunggu... Universitas Malikussaleh

Menikmati waktu sendiri untuk membaca dan merenung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tes Kepribadian MBTI: Seberapa Kuat Dalam Memengaruhi Cara Kita Berinteraksi?

11 Juni 2025   18:00 Diperbarui: 11 Juni 2025   17:14 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.calmsage.com/wp-content/uploads/2022/08/what-are-the-myers-briggs-personality-types-1473x1536.jpg

Kita pasti pernah mendengar tes MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) ataupun tes-tes kepribadian lainnya yang banyak beredar di sosial media maupun situs web. Beberapa orang mencobanya untuk mengetahui kepribadiannya sendiri dan adapula yang hanya sekedar untuk mengisi waktu luangnya.   

Tes ini banyak digunakan dan cukup populer untuk mengukur kepribadian seseorang serta dijadikan acuan sebagai penentu kepribadian, yang diyakini dapat membantu dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari mengembangkan diri, meningkatkan komunikasi, dan mengelola dinamika kerja. Namun, penting untuk diingat bahwa penentuan kepribadian tidak seharusnya hanya bergantung pada satu tes saja. Terdapat banyak tes kepribadian lain yang juga perlu dipertimbangkan agar kita dapat benar-benar memahami kepribadian kita yang sesungguhnya.   

Sebenarnya, seberapa valid tes MBTI itu dan sebarapa kuat ia dapat memengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain? 

Myers-Briggs Type Indicator 

MBTI dikembangkan berdasarkan teori kepribadian Carl Gustav Jung. Inventori ini pertama kali diperkenalkan oleh Katharine Cook Briggs dan Isabel Briggs Myers. MBTI merupakan salah satu tes kepribadian yang sedang tren digunakan saat ini. Kemudahan dalam mengakses tes MBTI membuat tes ini banyak diminati oleh masyarakat, terutama generasi muda. Myers Birggs Type Indicator (MBTI) adalah tes psikologi yang dirancang dengan tujuan untuk mengetahui kecenderungan tipe kepribadian seseorang berdasarkan preferensi tertentu.   

Informasi dalam tes MBTI ialah berupa informasi tentang kelebihan dan kelemahan diri individu. Dimana disini diharapkan agar kita tidak terlalu fokus pada kelemahan, namun harus fokus terhadap kelebihan atau potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua orang memiliki sikap, potensi, dan cara berperilaku yang sama. MBTI dibentuk berdasarkan empat dimensi yang disusun secara berlawanan. Inventori MBTI itu sendiri tidak disusun dengan jawaban benar dan salah melainkan jawaban tersebut tergantung pada keaadaan responden itu sendiri.

MBTI terbagi menjadi 16 tipe kepribadian berdasarkan empat dimensi utama: 

1. Introversion (I) vs Extraversion (E): Sumber energi dari interaksi sosial atau dari dalam diri sendiri. 

2. Sensing (S) vs Intuition (N): Cara mengumpulkan informasi, fakta konkret atau pemahaman intuitif. 

3. Thinking (T) vs Feeling (F): Cara mengambil keputusan, logika atau emosi. 

4. Judging (J) vs Perceiving (P): Pendekatan terhadap dunia luar, terstruktur atau fleksibel.  

Pengaruhnya Dalam Cara Berinteraksi 

Kita ketahui bahwa rata-rata responden dalam tes kepribadian MBTI adalah kawula muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z. Tes ini telah menjadi fenomena populer di kalangan mereka, tidak hanya sebagai alat untuk memahami kepribadian, tetapi juga sebagai bagian dari gaya hidup digital. Banyak anak muda yang antusias mengikuti tes MBTI, lalu dengan bangga membagikan hasilnya di berbagai platform media sosial.

Sebagian dari mereka bahkan menggunakan hasil tes MBTI sebagai panduan untuk menjalin hubungan sosial. Tidak jarang mereka memanfaatkan informasi tentang tipe kepribadian untuk mencari teman, rekan kerja, atau bahkan pasangan yang memiliki tipe kepribadian serupa. Walaupun tidak semuanya bergantung pada hasil tes tersebut. Tapi tidak dipungkiri bahwa ini dapat memengaruhi cara seseorang dalam berinteraksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesamaan tipe kepribadian dapat memengaruhi daya tarik interpersonal, baik dalam pertemanan maupun hubungan romantis, karena adanya persepsi bahwa tipe yang sama atau saling melengkapi akan memudahkan komunikasi dan membangun hubungan yang harmonis. 

Mengelompokkan orang ke dalam tipe tertentu bisa membuat kita lupa bahwa setiap orang itu unik dan kompleks. Label yang diberikan bisa membuat seseorang merasa terjebak dan tidak bisa berkembang. Label tersebut juga akan memengaruhi cara orang lain dalam melihat mereka. Selain itu, ada risiko stereotip, di mana orang diperlakukan berdasarkan anggapan tentang tipe mereka, bukan diri mereka siapa sebenarnya.   

Pemahaman yang dalam tentang 16 tipe kepribadian dalam Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) sering kali membentuk cara pandang seseorang terhadap hubungan sosial, khususnya dalam memulai pertemanan. Bagi mereka yang akrab dengan konsep MBTI, tipe kepribadian kerap dijadikan tolak ukur awal untuk menentukan kecocokan dengan orang lain. Individu yang telah mempelajari karakteristik masing-masing tipe cenderung memiliki preferensi tertentu terhadap tipe kepribadian yang mereka anggap sesuai dengan nilai atau gaya komunikasi mereka. Sebaliknya, jika tipe kepribadian seseorang dirasa tidak sejalan dengan ekspektasi mereka, mereka mungkin memilih untuk menjaga jarak atau membatasi interaksi agar tidak terlibat terlalu intens. Sikap ini mencerminkan kecenderungan untuk mencari kenyamanan dalam hubungan sosial berdasarkan kesamaan atau kompatibilitas kepribadian. 

Sebagai contoh, seseorang dengan tipe kepribadian berbasis Feeling (F) mungkin merasa kurang nyaman berinteraksi dengan individu bertipe Thinking (T). Orang dengan tipe F cenderung mengutamakan perasaan, empati, dan nilai-nilai personal dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka mungkin memandang individu bertipe T---yang lebih mengandalkan logika dan rasionalitas---sebagai kurang peka atau sulit untuk terhubung secara emosional. Persepsi ini dapat membuat individu bertipe F kurang "relate" dengan cara berpikir atau pendekatan bertipe T, sehingga mereka lebih memilih untuk menghindari interaksi yang mendalam dengan tipe tersebut. Berkembangnya stigma tentang tipe kepribadian MBTI tertentu memengaruhi cara seseorang memandang dan berinteraksi dengan orang lain. Tidak jarang, individu membentuk persepsi yang keliru berdasarkan tipe kepribadian seseorang, dengan mengkategorikan tipe tertentu sebagai "buruk" atau tidak diinginkan, sementara tipe lain dianggap "baik" atau ramah. 

Padahal, hasil tes MBTI tidak selalu mencerminkan kepribadian seseorang secara menyeluruh atau akurat. Tes ini hanya memberikan gambaran tentang preferensi psikologis seseorang pada waktu tertentu, yang dapat dipengaruhi oleh suasana hati, lingkungan, atau bahkan pemahaman terhadap pertanyaan tes. Selain itu, kepribadian manusia bersifat dinamis dan tidak dapat direduksi menjadi 16 kategori tetap. Oleh karena itu, penting untuk memandang hasil tes hanya sebagai alat bantu, bukan penentu mutlak dalam menjalani kehidupan sosial mereka. Dengan pendekatan yang bijak, MBTI dapat menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antarmanusia, sekaligus mendorong refleksi diri yang lebih mendalam. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun