Mohon tunggu...
DAVID NEHEMIA
DAVID NEHEMIA Mohon Tunggu... Praktisi

mari saling berbagi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iman Sinkretisme

15 Maret 2025   07:28 Diperbarui: 15 Maret 2025   07:28 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Iman Sinkretisme

Di setiap sudut kota, rumah-rumah ibadah berdiri megah. Mereka menjadi tempat bagi orang-orang yang mencari kedamaian, tempat di mana jiwa-jiwa yang lelah bersandar pada keyakinan, serta tempat suci yang diyakini sebagai jembatan antara manusia dan Tuhan. Setiap harinya, orang-orang datang dengan langkah penuh harapan. Mereka membawa doa, memohon petunjuk, dan mengisi batin dengan ketenangan.

Namun, di balik ketulusan niat mereka, ada sistem yang bekerja dengan rapi. Di dalam rumah ibadah, ada kelompok yang mengatur jalannya ibadah. Mereka memastikan setiap ritual berjalan sesuai aturan, mengatur peribadatan dengan khidmat, serta membimbing umat agar tetap dalam koridor yang telah ditentukan. Di permukaan, mereka tampak sebagai pelayan rohani---orang-orang yang mengabdikan diri untuk keimanan dan ketakwaan.

Tetapi lebih dalam dari itu, ada mekanisme yang lebih besar yang menggerakkan semuanya. Rumah ibadah, sebagaimana institusi lainnya, membutuhkan dana untuk beroperasi. Donasi dikumpulkan, keuangan dikelola, fasilitas diperbaiki, dan dalam beberapa kasus, bahkan aset dan properti diperluas. Ada sumber pemasukan, ada alokasi dana, dan ada sistem administrasi yang memastikan semua tetap berjalan.

Batas antara pelayanan rohani dan bisnis menjadi semakin samar. Rumah ibadah tidak lagi hanya sekadar tempat untuk beribadah, tetapi juga menjadi pusat aktivitas ekonomi. Ada yang mengelola keuangan, ada yang bertanggung jawab atas properti, ada yang memastikan donasi terus mengalir. Dalam beberapa kasus, bahkan ada tarif yang dikenakan untuk layanan tertentu---dari pernikahan, pemakaman, hingga seminar-seminar keagamaan yang membutuhkan biaya pendaftaran.

Kemurnian Iman dan Bayang-Bayang Kepentingan

Pertanyaannya, sejauh mana agama dapat dijaga kemurniannya tanpa terkontaminasi oleh kepentingan materi dan individu?

Pada hakikatnya, agama lahir dari spiritualitas murni---suatu bentuk pengabdian tanpa pamrih kepada yang Ilahi. Namun, ketika agama tumbuh dalam masyarakat, ia tak bisa lepas dari realitas sosial, termasuk kebutuhan material. Rumah ibadah memerlukan dana, para pemuka agama membutuhkan biaya hidup, dan kegiatan keagamaan membutuhkan infrastruktur. Dalam titik ini, percampuran antara spiritualitas dan kebutuhan duniawi tak terhindarkan.

Tetapi, apakah semua ini masih dalam batas yang wajar? Ataukah agama telah berubah menjadi sarana eksploitasi?

Ada saat ketika agama digunakan bukan hanya sebagai jalan menuju kebaikan, tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Beberapa individu atau kelompok menggunakan agama untuk memperkaya diri sendiri, menjadikannya sebagai bisnis pribadi yang terselubung dalam kemasan kesalehan. Rumah ibadah tidak lagi hanya menjadi tempat peribadatan, tetapi juga tempat di mana kekuasaan dikonsolidasikan, dan kepentingan pribadi disamarkan sebagai kepentingan ilahi.

Ketika sumbangan jamaah dikelola tanpa transparansi, ketika kegiatan ibadah dikomersialisasikan tanpa alasan yang jelas, ketika tokoh agama lebih sibuk membangun kekayaan pribadi daripada menyebarkan kebajikan---di saat itulah kemurnian agama mulai terkikis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun