Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Calon Kepala Daerah Serukan Tunda Pilkada, Berani?

26 September 2020   14:10 Diperbarui: 29 September 2020   16:41 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Irfan Anshori/nz)

Desakan Penundaan Pilkada Serentak 2020

Kondisi negara kita memang belum menunjukkan tanda-tanda kapan pandemi Covid-19 bisa ditangani hingga 'zero case'. Kekhawatiran bahwa Pilkada akan melahirkan klaster Covid-19 memang cukup beralasan. Penanganan pandemi Covid-19 belum membaik secara merata. 

Faktanya Jakarta yang diharapkan menjadi role model penanganan Covid-19 pun tidak bisa berbuat banyak. Malah PSBB harus dilakukan 3 kali! PSBB awal, PSBB transisi, dan PSBB ulangan. Tentu PSBB ini perlu diulang karena memang tidak lulus, ya kan?! 

Lalu pertanyaannya, tidak tertanganinya pandemi ini secara baik, apakah ini salah pemerintah? Yakin mau nyalahin pemerintah? Ini salah bersama sebetulnya, pemerintah tidak bisa disalahkan sepenuhnya juga. 

Anggaplah respons pemerintah terlambat karena denial di awal pandemi merebak di Wuhan. "Tidak mungkin Indonesia kena", "Virus itu tidak tahan dengan cuaca panas dan iklim tropis Indonesia", kira-kira begitu kan cerita awalnya.

Oke! Respons terlambat ini musti diakui pemerintah. Namun setelah ada kasus, pemerintah sudah berupaya melakukan penanganan melalui PSBB, pekerjaan dilakukan dari rumah, kegiatan belajar mengajar juga dari rumah. Penyediaan fasilitas bahkan perawatan dengan biaya dari pemerintah. 

Edukasi masyarakat juga gencar dilakukan. Namun, ternyata tetap saja tidak mampu melandaikan kurva nasional. Masyarakat belum semua tertib menaati protokol kesehatan. Belum semua rutin menggunakan masker, rajin mencuci tangan, dan seterusnya.

Lalu pertanyaan berikutnya, sampai kapan terus begini? 

Tidak ada yang bisa menjawab. Mungkin masyarakat sudah jenuh juga sejak Maret 2020 dihujani dengan info "covad-covid". Saking jengkelnya, sekarang membandel. Bodo amat! Mungkin itu batin sebagian masyarakat. Entahlah.

Hanya aksi nyata dari perilaku masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan yang mampu menjadi jawaban. Siapa masyarakat itu? Ya kita semua!

Yang pasti bukan 'kami'. Karena kami yang mengaku gerakan moral, tapi malah tidak memberi contoh moral yang baik, malah berkerumun di tengah situasi pandemi yang masih gawat. Ingat ya, bukan kami yang itu ya, masyarakat itu ya kita! Iya kita!

Lalu sekarang polemik Pilkada yang tertunda, didesak berbagai tokoh ormas besar dan opinion leader untuk ditunda lagi. Namun pemerintah sudah bersepakat lanjut terus dengan berbagai pertimbangan. DPR, KPU, dan jajaran kabinet kompak satu suara untuk mengeksekusi Pemilihan Kepala Daerah Serentak di 9 Desember nanti. 

Ini bisa dimaknai positif juga sebenarnya. Dengan tipikal masyarakat yang 'deadliners' semakin mampu bekerja mendekati batas waktu. Bisa jadi dengan perintah Presiden, tim bekerja maksimal, kurva Covid-19 bisa dilandaikan, masyarakat pun tertib protokol kesehatan. Kan bagus juga. 

Mirip dengan mahasiswa, kalau tugas sudah mepet waktu deadline, entah mengapa ada tenaga ekstra untuk segera menyelesaikannya. Haha

Aturan super ketat mesti diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika meminjam istilah Menko Marvest, Luhut B Panjaitan. Kita harus loyal pada perintah yang diberikan atasan, sepanjang tidak melanggar konstitusi. Laksanakan dan amankan! Beban berat berada di pundak Komisi KPU. 

Jika KPU lengah, lalu banyak petugas panitia pemilihan yang menjadi korban Covid-19. Siap-siap saja Pemerintah dihujat sebagaimana tahun 2019 lalu, saat banyak panitia pemilihan yang mesti meninggal akibat sakit dan kelelahan. Jangan sampai ini terulang dengan penyebab terinfeksi Covid-19.

Pengalaman Negara Lain Melaksanakan Pemilu pada Masa Pandemi
Faktanya bahwa ada beberapa negara yang sudah melaksanakan Pemilu meskipun pandemi Covid-19 masih terjadi. Setidaknya ada 36 Negara yang sudah melangsungkan pesta demokrasi di tahun 2020 ini. Namun tidak semua negara ini kita bahas, hanya 12 yang saya telusuri datanya. 

Negara-negara tersebut antara lain Queensland (negara bagian Australia), Iran, Vanuatu, Dominika, Guiena, Mali, Serbia, Islandia, Kroasia, Jamaica, Korea Selatan, dan Polandia. Kita coba pelajari sama-sama, fakta pelaksanaan Pemilu di negara-negara ini.

Diolah dari sumber data: electionguide, worldometers
Diolah dari sumber data: electionguide, worldometers

Statistik dari Worlddometers, mencatat bahwa selesai Pemilu terjadi kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 pada mayoritas negara yang menyelenggarakan. 

Dengan merujuk masa inkubasi 14 hari, maka angka yang dibandingkan adalah angka pada satu hari sebelum Pemilu dan 14 hari setelah Pemilu. Untuk mendapat gambaran bahwa ada tidak korelasi pemilu dengan kenaikan kasus positif Covid-19 di sana. 

Diolah dari sumber data: worldometers
Diolah dari sumber data: worldometers

Ilustrasi pada diagram di atas menunjukkan hanya Vanuatu satu-satunya negara tidak memiliki kasus positif Covid-19 pra dan pasca Pemilu. Sedangkan negara lainnya cenderung naik. Hanya Islandia dan Korea Selatan yang kurvanya cenderung flat.

Fakta lainnya bahwa di antara negara tersebut, mayoritas terjadi penurunan rasio jumlah pengguna hak pilih (voters turnout). 

Misalnya Queensland mengalami penurunan dari Pemilu sebelumnya 83% menjadi 78%. Angka ini tidak turun jauh karena ada denda tilang 133 dollar oleh "KPU"-nya jika ketahuan secara sengaja tidak menggunakan hak suara.

Catatan terbaru, ada sekitar 20 ribu warga Queensland yang dikenakan denda ini karena tidak memilih pada Maret lalu, total sekitar 2,7 juta dollar.

Diolah dari sumber data: electionguide
Diolah dari sumber data: electionguide

Partisipasi pemilih di Iran turun dari 62% menjadi 43%. Kroasia turun dari 63% menjadi 45%. Rentang penurunan antara 5-19%.

Yang menarik, kehadiran pemilih pada bilik suara di Pemilu Polandia dan Korea Selatan malah meningkat. Korea Selatan mencatatkan 66% pemilik hak suara datang pada hari pemilihan. Lebih tinggi dari angka di Pemilu sebelumnya hanya 58%.

Cukup mengejutkan, bahkan menjadi rekor tertinggi jika dibanding pemilihan pada masa normal sebelum-sebelumnya. Polandia juga mengalami tren yang mirip, pemilihnya meningkat dari 55% menjadi 68%.  

Untuk Korea Selatan memang ada aturan yang berubah, sebelumnya usia minimum 19 tahun, diubah menjadi minimum 18 tahun untuk dapat ikut Pemilu. Tentu saja hal ini mendorong kenaikan jumlah pemilik hak suara. Tidak terlalu mengherankan terjadi lonjakan pemilih.

'Parliamentary Election' di Korea Selatan (latimes.com)
'Parliamentary Election' di Korea Selatan (latimes.com)

Tren global bahwa terjadi penurunan partisipasi pemilih ini juga memberi sinyal hal ini bisa juga terjadi di Indonesia. Tugas berat KPU, bagaimana bisa mengajak masyarakat agar mau datang pada 9 Desember nanti ke bilik suara. Secara psikologis tentu ada keengganan masyarakat mengambil risiko. 

Masyarakat perlu diyakinkan bahwa pelaksanaan pemilihan ini aman dan sangat kecil risiko terpapar Covid-19. Ini juga perlu diwaspadai oleh para calon kepala daerah. Biar bagaimanapun, mereka butuh legitimasi dari suara masyarakat pemilihnya. 

Selain itu KPU mesti bekerja sama dengan Bawaslu untuk memantau pelanggaran kampanye-kampanye secara berkerumun. Bila perlu diberi sanksi diskualifikasi.

Media juga perlu memberitakan calon mana yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 pada masa kampanye. Masyarakat berhak tahu calon pemimpinnya patuh atau tidak pada aturan. Biarlah masyarakat juga 'menghukum' mereka dengan tidak memilihnya nanti.

Nilai Tawar Penundaan Ada di Calon Kepala Daerah!

Sebetulnya pasangan calon Kepala Daerah punya nilai tawar tinggi jika berani mengusulkan ditundanya pelaksanaan Pilkada ini. Mana mungkin Pilkada berlangsung, jika calon tidak bersedia. Simpati masyarakat akan tumpah ruah pada calon tersebut.Namun apa iya berani? Tentu banyak pertimbangan yang memberatkan. 

Semakin lama dilaksanakan, biaya operasional tim sukses akan membengkak. Biaya untuk kontestasi politik ini terbilang tinggi.

Misalnya jika bergeser 3 bulan, maka biaya operasional mesti ditambah juga. Jika 6 bulan, makin besar biaya yang harus ditutupi. Baliho-baliho yang tercetak bisa jadi sudah pudar nanti. Orang-orang yang tadi "diprospek" pun sudah lupa dan kehilangan minat memilih.

Tim sukses mungkin akan meminta dana tambahan untuk memanaskan lagi mesin kampanyenya. Konsultan politik yang disewa mesti diperpanjang kontraknya. Ini tentu konsekuensi biaya yang mesti ditanggung calon Kepala Daerah yang bertarung. Apalagi yang mencalonkan diri bukan petahana. Makin berat lah persaingan ini bagi mereka.

Petahana sangat diuntungkan, misalnya dengan tambahan waktu karena penundaan, maka masih bisa membuat program-program bantuan sosial. Pastilah ini juga mempengaruhi citra politiknya.

Pilkada kali ini memang tidak mengenakkan. Terpilih pun langsung berhadapan dengan masalah pelik, pemulihan ekonomi daerah yang dipimpinnya. Ini tidak bisa cepat selesai, bisa makan waktu 2-3 tahun.

Dana proyek fisik sangat mungkin harus dialihkan pada stimulus ekonomi atau bantuan sosial. Dampaknya akan sepi proyek-proyek yang konon kabarnya membawa cuan. Lalu balik modalnya kapan? Pusing kan? Hehe

Jika memang sudah bulat dengan keputusan tetap dilaksanakan 9 Desember, ayo calon kepala daerah juga bantu mengedukasi masyarakat untuk tertib protokol kesehatan. Mereka kan juga yang nanti memilih kalian.

Bagi-bagi masker, sanitizer, bagi flyer protokol kesehatan sangat mulia rasanya. Bantuan dana untuk siswa yang belajarnya terkendala selama pandemi juga keren.  

olahan gambar dari ipc.or.id
olahan gambar dari ipc.or.id

Sekiranya ada calon yang berani mengajukan penundaan, saya angkat topi dengan pasangan calon tersebut! Pasti saya dukung dia, tapi tidak bakal saya pilih. Ya karena alasan KTP tidak masuk DPT sana. Hehe

Segala kemungkinan masih bisa terjadi, bisa jadi nanti mendekati Desember, ternyata tidak ada penurunan kasus Covid-19, lalu Presiden Jokowi memutuskan ditunda. Tidak salah juga kan. Hehe

Laksanakan dan amankan! Salam.

Referensi: worldometers, electionguide

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun