Jakarta - Di ruang kerjanya yang luas, seorang guru besar ilmu ekonomi tersenyum kecil membaca berita. Senyum itu kemudian merambat menjadi tawa geli, dan akhirnya tertawa bahak-bahak yang mengguncang pundaknya. Ia baru saja membaca "gebrakan spektakuler" sang murid, Menteri Keuangan baru, yang dengan penuh percaya diri melempar Rp200 triliun ke dalam sistem perbankan dengan skema yang, baginya, terasa sangat naif dan deja vu.
"Astaga," gumannya sambil menggelengkan kepala, "Dulu saya menghadapi krisis dengan skema penyelamatan yang terpaksa, transparan, dan ditunggangi syarat-syarat ketat untuk memastikan uang rakyat kembali. Sekarang, di tengah normalitas, justru diciptakan sebuah virtual bookie---seorang bandar virtual---yang masuk ke dalam pasar uang dengan uang negara."
"Skema ini," lanjutnya seolah sedang memberi kuliah, "bukanlah stimulus. Ini adalah distorsi pasar yang sempurna. Memaksa dana masuk dengan harga (bunga 4%) yang di atas harga pasar (bunga deposito), lalu berharap pasar akan merespons dengan menurunkan harga jualnya (bunga kredit). Itu teori textbook yang gagal paham pada realitas rent-seeking behavior perbankan kita yang NIM-nya sudah gemuk itu."
Dia membayangkan para direktur bank menerima suntikan dana segar itu. Bukan dengan wajah bersyukur, tetapi dengan kening berkerut. "Mereka dapat uang dengan bunga 4%, lebih mahal dari yang mereka bisa dapat dari masyarakat. Lalu, beban ini mereka lempar ke mana? Ke debiturnya! Mustahil mereka menurunkan suku bunga kredit. Yang ada, skema ini hanya akan menjadi backdoor bailout yang elegan bagi korporasi-korporasi raksasa yang sedang tenggelam dalam utang. Persis seperti yang dikhawatirkan banyak orang."
Sang Guru Besar itu kemudian menghela napas. Dalam pikirannya, uang Rp200 triliun itu ibarat sebuah tinju kosong. A punch in the air, seperti kata orang Inggris. Een fuist in de lucht, seperti ejekan orang Belanda. Sebuah gebrakan yang terlihat garang dan powerful di atas kertas, tetapi sama sekali tidak menyentuh sasaran---yaitu sektor riil dan UMKM.
Akhirnya, dia menyimpulkan: "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Dulu saya berhati-hati sekali menyalurkan bantuan, takut menimbulkan moral hazard dan distorsi. Sekarang, sang murid justru berlari-lari menyalurkan dana dengan skema yang justru menciptakan kedua hal itu. Ini bukan kemajuan, ini kemunduran dalam seni mengelola fiskal."
Senyum, tawa, dan geleng kepala itu adalah bahasa universal seorang ahli yang menyaksikan sebuah eksperimen yang mahal dengan hasil yang bisa ditebak sejak awal: uang rakyat menguap, konglomerat terselamatkan, dan ekonomi luas hanya jadi penonton.
Ide dan narasi oleh : David Darmawan.