Setiap kali kita menekan tombol "order" di aplikasi "ride-hailing"(Layanan Transportasi Online) seperti Gojek atau Grab, kita menikmati kepraktisan yang nyaris ajaib---transportasi murah, cepat, tersedia 24 jam.
Tapi di balik kenyamanan ini, bersembunyi realitas keras yang jarang tersorot. Para driver ojek online bekerja hingga 12--14 jam sehari, hanya untuk mendapati penghasilan mereka makin menipis.
Menurut survei Katadata (2023), 72% driver ojek online di Indonesia berpenghasilan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Beban biaya operasional seperti bensin dan servis menelan 40% pendapatan mereka (LPEM UI, 2024), sementara platform mengambil potongan 20--30%. Di sisi lain, tekanan target dan sistem penilaian membuat 1 dari 3 driver mengalami gangguan kesehatan seperti sakit punggung kronis dan stres (Kemenkes, 2023).
Ini bukan sekadar problem transportasi. Ini adalah kegagalan sistemik ekonomi digital---"gig economy"---yang menindas manusia di balik algoritma.
I. Mengapa Driver Ojek Online Terjebak dalam "Lubang Hitam" Ekonomi?
1. Eksploitasi oleh Algoritma yang Tidak Manusiawi
"Surge Pricing" yang Tidak Transparan.
Tarif dinamis seolah menguntungkan semua pihak saat permintaan naik---contoh saat hujan tarif naik 3x lipat---tetapi driver hanya menerima kenaikan 15%. Sisanya diambil platform.