Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Regenerasi Kaum Tani Adalah Persoalan Politik

8 Mei 2019   09:17 Diperbarui: 8 Mei 2019   10:06 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kaum tani adalah soko guru ekonomi Indonesia. Begitu pemikiran Bung Karno. Bahkan dari kehidupan kaum tani inilah kemudian Bung Karno mampu melahirkan sebuah madzhab pemikiran ekonomi-politik yang bernama marhean. Madzab pemikiran marhean itu kemudian dibakukan menjadi sebuah ideologi perjuangan dengan nama marheanisme. 

Akan panjang lebar bila kita menguraikan terkait marheanisme. Tapi setidaknya dari kaum tani itulah, di Indonesia pernah muncul sebuah madzhab pemikiran ekonomi-politik yang kemudian dibakukan menjadi ideologi perjuangan. Betapa kaum tani mendapat tempat yang begitu mulia dalam khazanah pemikiran para pendiri bangsa kita, Bung Karno.

Bukan  hanya Bung Karno, Bung Hatta, pendiri bangsa yang juga sekaligus sahabat dan lawan debat Bung Karno terkait ekonomi-politik pun sepakat bahwa kaum tani adalah soko guru ekonomi Indonesia. Menurut Dr. Dawam Rahardjo, seperti ditulis dalam bukunya yang berjudul, 'Nasionalisme, Sosialisme dan Pragmatisme,' mengungkapkan bahwa sebenarnya pemikiran Hatta sejalan dengan Soekarno yang menyimpulkan bahwa soko-guru (penyangga atau tiang) masyarakat Indonesia adalah petani.

Meskipun pernah lahir sebuah madzhab pemikiran ekonomi-politik yang didasarkan dari kehidupan kaum tani, tapi tidak menjamin kehidupan petani menjadi lebih baik di negeri ini. Di saat rejim Orde Baru berkuasa misalnya, kita melihat penyingkiran petani dalam proyek pembangunan Dam di kawasan Kedungombo, Jawa Tengah. 

Proyek raksasa yang menyingkirkan hampir 3000-an petani itu didanai oleh Bank Dunia. Saat itu petani melakukan perlawanan. Namun, kemudian perlawanan itu dapat dipatahkan oleh pemerintahan otoriter Orde Baru dengan diawali memberikan stigma bahwa daerah Kedungombo dulunya adalah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Di era Orde Baru, bila stigma PKI sudah dilekatkan, maka perlakuan sekeji apapun akan segera mendapatkan pembenaran.

Waktu berlalu. Rejim otoritarian Orde Baru pun tumbang pada 1998. Namun itu tidak merubah pola penyingkiran terhadap soko-guru masyarakat Indonesia. 

Penyingkiran itu ditandai dengan makin sempitnya akses petani terhadap tanah. Menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25  hektar saja. Meningkatnya jumlah petani gurem diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS).

Data BPS menyebutkan bahwa jumlah petani gurem dalam kurun waktu tahun 1993 hingga 2003 meningkat rata -- rata sebesar 2,6 persen per tahunnya. 

Di Pulau Jawa jumlah petani gurem mencapai 75 persen dari seluruh total rumah tangga petani. Sebaliknya, penguasaan lahan yang sangat luas justru diperlihatkan oleh korporasi-korporasi besar. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan.

Nasib pilu kaum tani di sepanjang jaman di Indonesia itulah kemudian yang membuat enggan kaum muda untuk menjadi petani. Mereka lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian. Riset Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015, bertajuk "Regenerasi Petani", seperti dituliskan tirto.id, mengungkap bahwa hanya 54 persen anak petani (yang menjadi responden) yang mau meneruskan apa yang dikerjakan orang tuanya, dan 46 persen sisanya dengan tegas menolak. 

Pada kelompok usaha hortikultura, persentasenya lebih timpang lagi: 63 persen menolak mewarisi profesi orang tuanya dan hanya 36,7 persen yang bersedia menjalankan pekerjaan dalam budidaya pertanian tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun