Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Anomali Swasembada Beras Kita

25 Januari 2023   13:48 Diperbarui: 30 Januari 2023   07:23 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Beberapa lembaga Internasional, Baik FAO atau Departemen Pertanian Amerika Serikat memberi apresiasi dan penghargaan kepada Indonesia karena dianggap berhasilkan mempertahankan posisi sebagai negara swasembada beras dalam kurun khususnya tiga tahun terakhir.

Namun menjadi pemantik tanda tanya adalah kebijakan pemerintah lewat Kementerian Pertanian yang melakukan Impor beras dari Vietnam, Thailand, dan Pakistan dengan alasan stock CBP (Cadangan Beras Pemerintah) di gudang Bulog semakin menipis, maka harus dilakukan impor beras.

Idealnya Bulog harus memiliki cadangan beras sebesar 1,2 juta ton, tetapi berdasarkan data Bulog hanya berhasil memperoleh 300 juta ton dari hasil pasokan dalam negeri.

Bulog mengalami kesulitan atau gagal menyerap beras dari petani lokal untuk memenuhi stok cadangan di gudang karena alasan soal harga atau HPP (Harga Pokok Pembelian) Pemerintah tidak terpenuhi.

Maka kekurangan itu harus diatasi dengan melakukan impor beras. Karena CBP atau Cadangan Beras Pemerintah sangat penting terpenuhi untuk kepentingan operasi pasar, stabilisasi harga, bantuan bencana, hingga bantuan beras untuk orang miskin.

Kondisi ini merupakan sebuah ironi, dan anomali, bertentangan dengan kenyataan. Disatu sisi memperoleh predikat swasembada pangan, tetapi disisi lain dilakukan impor beras.

Merupakan sebuah tanda besar sebagai sebuah negara yang masuk kategori salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia justru harus melakukan impor beras.

Sepanjang tahun periode 2017 - 2022, Indonesia merupakan produsen beras terbesar ke tiga di dunia, dengan rata-rata hasil produksi tahunan sebesar 34,96 juta ton pertahun. Angka ini berada sedikit dibawah Bangladesh, dan berada diatas Vietnam.

Oleh karena itu wajar timbul pertanyaan, "Ada apa sebenarnya yang terjadi di dunia perberasan kita?"

Rabu, 25/1/2023, Wakil Presiden, K.H. Ma'ruf Amin saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian Tahun 2023, meminta Kementerian Pertanian agar fokus dalam upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras, dan giatkan program diversifikasi pangan lokal secara masif. Sehingga masyarakat Indonesia tidak terlalu tergantung kepada beras sebagai sumber makanan pokok.

Kementan diharapkan mampu menargetkan penurunan jumlah konsumsi beras, yaitu menjadikan konsumsi beras sebanyak 85 kg per kapita per tahun, turun dari sebelumnya yang konsumsinya 92 kg per kapita per tahun.

Target penurunan jumlah konsumsi ini dilakukan sebagai upaya mempertahankan posisi tetap sebagai negara swasembada pangan, dan memperkecil impor beras.

Wapres K.H. Ma'ruf Amin juga mengingatkan bahwa benar Bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir mampu sebagai negara swasembada beras, tetapi angka atau jumlahnya mengalami penurunan dari tahun ke tahun, maka karena itu perlu pendekatan antisipatif.

Selain melakukan impor beras sebagai upaya menjaga Cadangan Beras Pemerintah di gudang Bulog, sebenarnya kita juga kini tengah menghadapi kecenderungan semakin naiknya harga beras.

Kenaikan harga beras yang di luar perkiraan ini sangat riskan terhadap ketahanan pangan dan perekonomian masyarakat. Padahal Bulog di tahun lalu telah melakukan kenaikan harga pembelian beras dari Rp. 8.300 jadi Rp. 8.800 sebagai upaya mengantisipasi ulah para spekulan.

Tetapi fleksibilitas harga yang dilakukan Bulog ini kemudian dicabut karena justru terjadi inflasi. Dan Bulog kemudian menyampaikan bahwa kenaikan harga beras terjadi karena efek kenaikan harga BBM, fleksibilitas harga pembelian oleh Bulog tidak efektif, Stok Pemerintah semakin menipis, dan Operasi Pasar tidak masif.

Oleh karena salah satu jalan yang dipilih untuk mengantisipasi gejolak harga dan kekurangan stok cadangan beras pemerintah adalah melakukan impor.

Maka karena itu terjadilah sebuah pemandangan yang anomali, yaitu negara yang disematkan nama sebagai negara swasembada beras justru harus melakukan impor beras.

Itulah salah satu kondisi kontradiktif sedang menimpa negara dan petani Indonesia saat ini, dan sangat menarik diperbincangkan untuk mengurai dimana sesungguhnya akar masalahnya.

Bicara tentang beras memang sangat sensitif, bahkan bagaikan dua pilihan berbentuk buah simalakama.

Di satu sisi, kenaikan harga beras semestinya sebagai berkah bagi petani kita, dan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

Namun di sisi lain, kenaikan harga beras yang tidak normal jutsru berpengaruh terhadap ketahanan pangan dan ketersediaan konsumsi beras oleh masyarakat.

Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan pemerintah untuk menghasilkan kebijakan dengan pendekatan multidimensional, bahkan perlu untuk mengembalikan beras sebagai produk yang selalu membutuhkan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar.

Jangan biarkan beras jadi komoditi sumber rent seeker oleh para spekulan maupun mafia beras, atau jangan jadikan beras jadi lahan mencari kekayaan oleh para pemburu rente.

Foto Dokumen Pribadi
Foto Dokumen Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun