Mohon tunggu...
Daud Farma
Daud Farma Mohon Tunggu... Penulis - Pribadi

Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI RRI 2019 Khusus Siaran Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Panti Asuhan ke Dayah Perbatasan

26 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Abang pergi dulu ya, Bunga, Melati, Mawar?, jaga diri kalian baik-baik. Belajar yang rajin dan nurut sama ayah dan ibuk?"

"Ya, Bang." jawab mereka hampir serempak. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di atas atap becak. Tas ransel kukenakan di punggungku dan sepatu merah yang masih mengkilat di kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja merah yang kupakai, kemeja dari abangku, karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat di badanku sekarang ini. Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukan ke Pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri!

Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku yang mencucinya. Ibu tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung. Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa kugunakan lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda kotoron tanah lapangan, bergulig-guling saat jam istirhat.

Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah, aku memakai kuning untuk jumat-sabtu, kuning dan coklat, pramuka.

Perlahan becak itu bergerak pergi dari halamam rumahku. Suara becak itu hampir memecahkan gendang telingaku, karena aku duduk di belakang pengemudinya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesukanya, tidak memikirkan rasa sakit hati orang yang mendengarnya. Aku tidak dengar lagi apa yang diobrolkan ayah dan ibuku di dalam becak ini padahal jaraknya hanya beberpa senti meter dariku.

Tidak lama kemudian, becak melaju di atas aspal jalan Engkran Buah Duku-Salim Pinim, kemudian ia belok ke kiri mengarah ke jembatan Pantai Dona. Ya kan? Sudah kuduga, oragtuaku pasti ikut mengantarkanku ke luar daerah dengan becak reot ini. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata, "Alhamdulillah, aku ke Medan Sumatera Utara!" pekik hatiku tanpa ragu-ragu. Kulihat ke dalam bak becak itu, dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang berbincang-bincang dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang dengan pilihanku yang mau masuk pesantren? Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di Pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata Pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa Pesantren itu seperti hidup dalam penjara, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua. Aku tidak pernah peduli apa kata orang, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orangtuaku sangat mendukung untuk menuruti kata hatiku ini. Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh.

 Tidak lama, becak yang kami naiki sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat dan semacamnya. Becak itu begitu semangat mengantarkanku ke luar daerah, padahal jarak yang kami tempuh sudah lumayan jauh, sudah hampir satu jam perjalanan. Kuperhatikan Bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang becak itu penuh dengan rasa tangggung jawab atas keselamatan penumpangnya. Becak belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane. Tuh kan? Sudah kuduga. Aku akan jadi anak Pesantren yang tinggal di luar daerah, jauh menuntut ilmu. Becak berlari dengan kecepatan enam puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang kedua kalinya melewati tempat ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang baru kedua kalinya kulihat dengan mata kepalaku. Aku lihat gedung-gedung sekolah di pinggir jalan, kupandangi ke kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca.

 Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Ar-Rahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqamah dan Kampung Bakti. Tak lama setelahnya becak itu melambat lajunya. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih,

  "Pesantren Modern Dayah Perbatasan Darul Amin. Desa Tanoh Alas, Kec. Babul Makmur, Kab. Aceh Tenggara. Jl. Medan-Kuta Cane, Km 31."

Becak yang kami naiki berhenti di depan gerbang. Seorang bapak-bapak bertubuh kekar berkulit agak hitam memakai seragam warna hitam membukakan palang pintu gerbang, kubaca yang tertulis di topi yang ia kenakan, "Scurity", aku tidak tahu apa arti dan maksudnya. Aku juga tidak tahu itu bahasa apa, aku membacanya seperti ejaan bahasa indonesia, tanpa gagap sedikitpun: skuriti!

"Terima kasih pak, Satpam." kata Bambkhu-ku. Ya, sekarang aku mengerti bahwa orang yang membukakan palang gerbang tadi ialah Satpam. Pak Satpam itu hanyak mengangguk mendengar ucapan terima kasih itu. Lalu becak diparkirkan di tempat parkir. Ayah dan ibuku turun dan aku pun ikut turun. Ibu meraih tanganku dan menuntunku masuk ke dalam sebuah gedung yang cukup besar, gedungnya tidak jauh jaraknya dari pamplek yang kubaca tadi. Kami bertiga masuk ke dalam ruangan setelah mengucapkan salam dan dipersilakan masuk. Sebuah ruangan yang sejuk, di dalam ruangan itu sedang duduk seorang pria yang berbadan kekar dan tinggi, rambut belah dua. Beliau tersenyum kepada kami lalu mempersilakan kami untuk duduk di atas kursi yang telah disediakan, kursi warna coklat, kursi roda. Jujur, ini adalah kali pertama aku duduk di atas kursi roda, wah empuknya! Kubaca yang tertulis di potongan kardus yang mejeng di atas meja beliau, yang bertuliskan, "Ustadz, Taqwa. Bagian Pendaftaran." Kali ini aku diam saja. Beliau memberikan brosur kepadaku. Kulihat dengan saksama, di dalam brosur itu ada orang yang sedang terbang dan kepalanya kebawah, ada yang memakai seragam kuning dan coklat berbaris rapi di lapangan, ada yang berada di dalam kelas dikelilingi orang yang memakai jas dan dalam lingkaran itu adalah para kurcaci yang memakai baju putih peci warna hitam dan di depan para kurcaci itu berdiri seorang pria yang juga memakai jas belagak profesor, ada yang memakai pakaian api berikat pinggang warna kuning membentuk lingkaran sambil duduk di atas rumput yang hijau, ada yang sedang berbaris memanjang saling berhadapan di atas jalan batako, ada yang sedang duduk di dalam sebuah ruangan yang cukup luas dan di depan mereka ada seorang anak kecil seusiaku yang memakai baju koko, sorban di bahu, mengangkat tangan kanannya, mengancungkan jari telunjuk dan ia menghadap ke orang ramai yang duduk di depannya, sungguh hebat bocah itu! Dan di dalam brosur itu ada yang sedang membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang banyak dan mereka semua membuka al-Quran. Tak lama, tak sampai lima menit brosur itu kupegang, beliau mengulurlan sebuah kertas. Kubaca, "Formulir Pendaftaran."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun