Tidak seluruh informasi intelijen diketahui para wartawan, khususnya wartawan perang. Jika memang benar informasi seperti itu, maka itu adalah hal mudah untuk para intelijen mengubah opini, agar informasi sebenarnya tidak perlu harus diketahui masyarakat internasional.
Itulah beberapa catatan untuk wartawan atau seorang wartawan perang. Hal itu pula yang melatarbelakangi kenapa Pemimpin Redaksi Harian " Merdeka," Burhanudin Mohamad Diah (B.M. Diah) mengutus saya ke Irak pada bulan Desember 1992, yaitu ingin mengetahui informasi akurat tentang perkembangan terakhir di "Negara 1001 Malam" itu.
Hal yang sama juga dilakukan wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto. Ia menjadi wartawan perang untuk Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ia pun sudah meninggal dunia pada 14 Oktober 2010. Semasa hidup, saya pernah berkunjung ke rumahnya, dan diberi sebuah buku tulisannya :" Perjalanan Seorang Wartawan Perang," diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta tahun 1998.
Membaca buku setebal 430 halaman ini, kita diajak untuk menyaksikan liku- liku perjalanan seorang wartawan perang Indonesia di Kamboja, Vietnam dan Perang Teluk. Juga di Indonesia yaitu di Timor Timur, penumpasan Kahar Muzakkar, G.30 S/PKI dan penumpasan gerombolan PGRS. Hendro adalah pemegang Penghargaan Piagam Penegak Pers Pancasila dari Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, pemegang anugerah Tanda Kehormatan Satyalencana Seroja dan Satyalencana Bhakti dari Departeman Pertahanan Keamanan RI.
Dari sekian banyak pengalaman wartawan perang Indonesia, Hendro Subroto yang ditulis di bukunya, saya tertarik membaca pengakanannya dalam Perang Teluk di Irak, bahwa Presiden Irak waktu itu, Saddam Hussein memerintahkan menggunakan senjata kimia (halaman 363). Berarti tuduhan bahwa senjata pemusnah massal itu berdasarkan isi buku ini, ya, memang ada.
Awalnya Presiden Saddam Hussein didukung oleh Amerika Serikat (AS) untuk naik ke puncak kekuasaan di Irak. Sejarah telah mencatat hal itu. Itu tidak diragukan. Lama kelamaan sikap AS berubah setelah Irak menyerang Kuwait.
AS berubah sikap terhadap Irak. Bahkan di dua kepemimpinan Amerika Serikat, George Herbert Walker Bush (Ayah) dan George Walker Bush (anak), niat menghancur-leburkan Irak sudah terlihat. Tidak salah jika AS tahu betul kekuatan persenjataan Irak, bagaimana pun sewaktu masih didukung AS, persenjataan Irak banyak dibantu AS.
Anehnya ketika AS mengatakan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, karena dulu memang persenjataan dibantu AS , ternyata tidak terbukti sama sekali. Apakah ini skenario AS untuk mengalihkan isu, yang sebenarnya?
Inggris yang ikut bersama AS menyerang Irak, kemudian lebih mengaburkan informasi keberadaan senjata pemusnah massal Irak. Buktinya, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair meminta maaf atas invasi Irak yang menurutnya merupakan kesalahan besar intelijen. Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN Fareed Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015.
Ujar Tony Blair: "Saya meminta maaf karena intelijen yang kami gunakan ternyata salah, walaupun dia (Saddam Hussein) sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, tapi program (senjata pemusnah massal) itu tidak berada dalam bentuk yang kami kira," kata Blair.
Saya membenarkan, memang Tony Blair merujuk laporan intelijen yang muncul sebelum invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Dalam laporan itu disebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu. Namun belakangan diketahui, laporan intelijen itu salah. Tapi invasi terlanjur dilakukan, pemerintahan Saddam hancur, dan pemimpin Irak itu digulingkan. Saddam dieksekusi mati dengan cara digantung pada hari Idul Adha tahun 2006.