Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Murid Budiman Kian Langka?

3 Februari 2018   11:46 Diperbarui: 3 Februari 2018   11:58 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia pendidikan Indonesia, kembali harus mengibarkan bendera setengah tiang. Para pecinta pendidikan Indonesia selayaknya berkabung setelah salah seorang pengabdi pendidikan, Guru  Ahmad Budi Cahyono,  seorang pendidik mata pelajaran  seni budaya di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur  tewas setelah dianiaya siswanya,  merupakan mantan aktivis Lembaga Seni Mahasiswa Islam (LSMI) Malang Jawa Timur . Wafatnya Guru Ahmad, menambah rentetan panjang nasib mengenaskan yang harus dialami guru di Indonesia. 

Terkait dengan peristiwa ini ada yang mengurai kejadian itu akhibat adaanya masalah relasi guru dengan murid, analisi yang berhenti samapi pada kesimpulan ini tentu hanyalah menngupas sisi superfisial belaka, sebab jika kita gali lebih jauh, maka lahirnya relasi guru-murid tidak lepas dari sistem pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan yang dibangun era "Murid Budiman" yang sangan Indonesia sekali, sangat berbeda bentuk relasi yang dibangun pada sistem pendidikan liberal, yang lebih mengutamakan anak-anak bebas, dan memposisikan guru sekedar sebagai front liner dalam artian sebagai costumer service,. 

Guru banyak dituntut bagaimana  harus bisa membuat peserta didik di kelas merasa puas dalam makna senang, meski dalam teorinya guru ada tupoksi idesalnya, namun tuntutan liberalisme pendidikan menjadikan guru sekedar berusaha "costumer satisfacion" jika dia ingin terus ekist di hadapan para peserta didik dan orang tua. "Kerewelan" guru yang sudah pasti bertujuan positif dalam mendidik generasi penerus bangsa, mengingatkkan, menegur, ataupun sedikit dituntut keras menghadapi peserta didik yang "seenaaknya sendiri" yang sudah terdidik oleh sistem yang memanjaannya, dapat mengaancam eksistensinya di sekolah bahkan mengancam jiwanya. 

Sebagai guru yang sudah melalui pengabdian sebagai pendidik puluhan tahun, penulis merasakan, semakin liberal sistem pendidikan yang diterapkan, semakin berat dalam mengharapkan murid-murid budiman dalam interaksi pembelajaran. Hampir teman-teman guru merasakan betapa sikap "saenake dewe" dari peserta  dalam proses pembelajaran. Berbagai alasan banyak disampaikan oleh peserta didik dalam menunjukan perilaku "saenake dewe ini", yang ujung-ujungnya menambah tekanan kepada guru, apalagi guru dituntut oleh beban kurikulum dan administrasinya yang sangat rigid. 

Melalui tulisan berjudul " Pasti Bisa, Pembelajaran Berkarakter Nusantara" (kompasiana, 7 Aprik 2015)  penulis sampaikan " Menjadi Indonesia melalui pendidikan bukan berarti disediakan materi husus Menjadi Indonesia dalam kurikulum pendidikan formal kita, seperti materi Wawasan Nusantara dulu, atau muatan moralnya melalui PMP (pendidikan Moral Panca Sila), namun ; lbih diintegrasikan dalam proses pembelajaran sebagai upaya pembudayaan langsung pembentukan karakter bangsa yang toleran. 

Bijak dan santun.  Penekanan pada karakter Nusantara yang demikian dilandasi oleh kenyataan munculnya berbagai tragedy bangsa yang diakhibatkan oleh tidak diterapkannya karakter unggul bangsa Indonesia akhibat pendidikan cenderung menyeret pada euphoria kebebasan berpendapat dan bersikap yang tidak sepenuhnya sejalan dengan pesan-pesan luhur para pendiri bangsa bahkan dari fenomena yang Nampak pada outcome pendidikan kita yang justru lebih "liberal" dari mereka yang hidup di Negara liberal." 

Terkait dengan pembentukan karakter bangsa dengan pembudayaan melalui interaksi pembelajaran antara murid-dengan murid, murid dengan guru, bahkan antara guru dengan guru melalui tulisan ini kami paparkan konsep Pembelajaran Berkarakter Nusantara, dengan tujuh pilarnya yakni ; Proaktif, Antuasias, Saintifik, Toleran, Inspiratif, Bijak dan Santun yang diakronimkan menjadi Pembelajaran PASTI BISA. Karena karakter memang harus ditanamkan day by day secara terus menerus, maka model pendekatan Pembelajaran Pasti bisa ini harus diterapkan sejak pendidikan dini. 

Dengan mengutup   lagu Murid Budiman yang  seakan merupakan salah satu "lagu wajib" untuk dinyanyikan siswa TK  hingga SD di masa lalu, penulis mencoba memaparkan perubahan paradigma pendidikan kita melalui tulisan berjudul "Pendidikan Keluarga, Modal Utama Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional" (Kompasiana, 24 Mei 2016).  Berikut sedikit cuplikan  liriknya untuk kita camkan :

Murid : Oh Ibu dan Ayah selamat pagi, ku pergi belajar sampai kan nanti

Ibu     : Selamat belajar nen penuh semangat. rajinlah selalu  tentu kau dapat

             Hormati gurumu sayangi teman, itulah tandanya kau murid budiman

Lagu pendek tersebut mengisyaratkan makna mendalam tentang proses pendidikan. Secara eksplisit kita dapat melihat bagaimana seorang ibu, orang tua, berperan dalam menjadikan peserta didik siap belajar. Soul, ruh pendidikan pada jiwa anak telah hidup dibangunkan dari rumah, oleh orang tua, sehingga  peserta didik menjadi "murid Budiman" murid yang berakhlaqul karimah, yang senantiasa menghormati guru dengan mematuhi nasihat, perintah dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. 

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kurikulum berkarakter nusantara, adalah kurikulum yang benar-benar memperhatikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kebinekaan. Melalui tulisan berjudul "Kembali ke KTSP Berbasis Kebinekaan" (Kompasiana, 10 November 2014) dimana penulis mengungkapkan tentang kelemahan Kurtilas (K2013) sebagai berikut " Menurut hemat penulis, memang Kurtilas memiliki kelemahan jika dilihat dalam konteks idealisme pendidikan suatu bangsa. Kurtilas yang lebih berorientasi menjawan tantangan eksternal terutama responssif terhadap Globalisi tentu belum mengakomodir visi kejayaan maritim bangsa Indonesia sebagai sebuah kesadaran baru erkait potensi negeri bahari ini. 

Kelemahan idealisme itu akhirnya juga harus dilengkapi dengan kelemahan pendekatan, dimana pemenuhan untuk menjawab tantangan globalisasi yang lebih bersifat "pragmatis' sesuai penilaian kebutuhannya (Need Assasment), menuntut penyesuaian dengan pendekatan "copy paste dari sononya". sehingga kita lupa bahwa ada beda signifikan antara Andragogy dan Pedagogy,pada pendidikan dasar dan menengah (untuk pendidikan tinggi Andragogy lebih tepat). Kurikulum 2013 benar benar menunjukan KESILAUAN kita kepada para PESOHOR DUNIA hingga kita lura peserta didik kita lebih butuh apa. 

Hal itu sekali lagi dilandasi oleh pertimbangan relaitas Indonesia  Dengan berbagai keanekaragaman, berarti proses, pendekatan dan penilaian/evaluasi sudah barang tentu bisa beragam, yang terpenting adalah tetap ada di jalur penilaian/evaluasi pendidikan. Hal ini berkosekuensi tidak diperlukannya Ujian Nasional yang terkait dengan penenrtuan kelulusan. 

Walau demikian Ujian Nasional dalam konteks kendali mutu untuk bidang-bidang tertentu (MIPA, SOSEK, SOSBUD dll) masih dapat diakomodir. Demikian juga pendekatan Andragogy dan Pedagogy dapat diaplikasikan secara berjenjang dan bertahap. Pada Pendidikan Dasar awal (Kls 1 - 3) mutlak Pedogogy, Pada Kelas 4 - 6, mulai diperkenalkan Andragogy secara selektif dengan dominasi Pedagogy. Andragogy terus ditingkatkan hingga 25 % pembelajaran di kelas 7 - 9. Sedangkan pada pendidikan menengah (SMA) Porsi andragogy ditingkatkan dari 50 % (Kls X), 60 % (Kls XI) dan 75 % (Kls XII), sedang pada Pendidikan Tinggi tentu 100 % Andragogy. 

Sejak kurikulum  dengan pendekatan CBSA, pada dasarnya kita telah memaksa penerapan pendidikan untuk orang dewasa (Andragogy) kepada anak-anak usia dini, dan melupakan pendidikan yang lebih memberi contoh, jswah hasanah, teladanan dalam segala hal pada tunas-tunas muda bangsa sehingga nilai-nilai bdaya Indonesia yang sopan, santun, ramah, menghormati yang lebih tua, menyayangi, hilang dari jiwa generasi Indonesia, yang tumbuh adalah kebebasan dan keberanian, termasuk keberanian melawan guru dan orang tua. Akankah hal ini terus dijalankan ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun