Saya langsung menjawab belum, karena memang demikianlah adanya. Saat itu saya langsung teringat dengan salah satu mata kuliah saya tentang rencana pembangunan, mulai dari rencana kerja pemerintah yang periodenya tahunan, lima tahunan, hingga yang dua puluh lima tahunan, atau yang dulu dikenal dengan GBHN. Di antara masing-masing rencana, tidak boleh bertentangan satu sama lain. Biasanya rencana jangka pendek akan selalu mengacu pada rencana yang lebih panjang. Dengan adanya hal-hal seperti itu, memang pembangunan dapat lebih terukur dan diketahui tingkat keberhasilannya dari waktu ke waktu. Dalam lingkup yang lebih kecil, mungkin seperti itulah yang dimaksudkan Pak Hari.
"Dari sekarang sebaiknya mulai dibuat," Pesannya kemudian. "Karena visi atau rencana hidup inilah yang nantinya akan membingkai perencanaan dan pengelolaan keuangan kita. Kalau Mas Azis tidak punya rencana hidup, maka hidup Mas Azis nanti hanya akan diatur oleh uang. Akan berbeda jika misalnya Mas Azis punya rencana hidup yang jelas, maka akan jelas pulalah rencana keuangan Mas Azis ke depannya dan pengelolaan keuangan pun menjadi lebih rapi dan berjalan lurus sesuai relnya."
Jadi menurut bapak, sebelum merencanakan keuangan kita harus terlebih dahulu mempunyai rencana hidup?
"Iya, hidup kita idealnya bukan ditentukan oleh rencana keuangan, akan tetapi rencana keuanganlah yang seharusnya mengikuti apa tujuan (visi) hidup kita. Percuma jika hanya berkonsentrasi pada utak-atik anggaran, sementara visi hidup  tidak diperbaiki. Karena visi hidup ini yang nantinya turut menentukan perilaku dan kebiasaan hidup sehari-hari kita."
Apa visi hidup bapak kala itu?
"Visi hidup saya adalah hidup tanpa terjerat banyak utang. Harta saya jadi berkah dan  bermanfaat serta kami menjadi lebih tenang karenanya." Ujarnya mantap.
Lalu selain memperbaiki visi hidup, adakah upaya lain yang kemudian juga bapak lakukan?
"Ada. Bisa dikatakan ini merupakan pelaksanaan dari rencana hidup  yang telah kami buat sehingga lebih bersifat teknis." Pak Hadi berhenti sejenak, meminum jahe merah yang malam itu menjadi teman ngobrol kami.
"Jadi setiap bulan, kami membagi pendapatan dalam lima pos. Pertama, bayar tagihan (operasional usaha, gaji karyawan, beban bulanan, sewa), kemudian zakat, tabungan (termasuk asuransi pendidikan dan kesehatan), investasi untuk mengembangkan usaha, dan sisanya untuk keluarga."
Urutannya  memang  seperti itu?
"Iya."
Mengapa?
"Karena kalau tidak seperti itu, biasanya akan terlewatkan. Saya sudah merasakannya. Lagipula, urutan tersebut kan menyangkut hak-hak orang lain, jadi harus didahulukan. Prinsipnya, penuhi dulu hak-hak orang lain, barulah untuk diri sendiri."
Saya juga sudah membuktikannya sih Pak. Komentar saya kemudian.
"Nah itu, mulai sekarang harus diubah pola pengelolaan keuangan yang seperti itu."
Kalau boleh saya tahu, persentase dari masing-masing pos berapa pak?
"Zakat 5 persen, tabungan 10 %, investasi 15 persen, keluarga maksimal 50 persen. Sisanya untuk operasional usaha."
"Investasi usaha memang saya sengaja lebih besarkan nilainya untuk berjaga-jaga.  Karena kan pasti setiap usaha diharapkan dapat berkembang  lagi ke depannya. Atau setidaknya, dana tersebut dapat dijadikan sebagai dana cadangan ketika  misalnya harus menghadapi goncangan-goncangan usaha, terutama yang berasal dari luar. "
Seperti misalnya?
"Ya krisis, perubahan tren konsumen, atau yang lainnya. Hal-hal semacam itu harus kita antisipasi sejak dini."
Usaha bapak pernah  terdampak krisis?
"Pernah, tahun 2008 itu kan sempat ada krisis sektor keuangan. Usaha saya sempat goyah juga waktu itu. Ya walau goncangannya tidak terlalu kencang, tapi sempat panik juga. Untunglah, goncangan ekonomi saat itu tidak sampai berlarut-larut dan merembet ke hal-hal lain seperti yang terjadi pada tahun ’98."
Sebagai pengusaha, apa yang akan pertama kali bapak lakukan ketika krisis melanda?
"Sepertinya hal pertama yang akan saya lakukan adalah pergi ke bank untuk memastikan tabungan dan investasi saya akan tetap aman atau tidak."Â Jawabnya ringan dan disusul dengan gelak tawa.