Mohon tunggu...
Darin Salsabila S
Darin Salsabila S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030079

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Trauma Anak karena Bentakan Orang Tua

2 Maret 2021   23:25 Diperbarui: 3 Maret 2021   12:38 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            

Membentak, inilah hal yang sering dilakukan oleh para orang tua ketika marah atau merasa jengkel kepada sang anak. Baik itu secara refleks karena sang anak berulah ataupun karena sedang banyak masalah lain yang akhirnya berimbas pada anak. Seringnya sih karena anak yang awalnya memancing emosi dahulu.

Sepertinya membentak sudah menjadi adat para orang tua untuk “menasehati” sang anak. Ini juga cara instan orang tua untuk menghentikan aksi anak yang sedang berulah. Seperti ketika anak menangis dan tidak berhenti-henti maka cara paling ampuh adalah membentaknya, dengan seketika anak akan berhenti menangis. Contoh lain juga ketika anak dilarang melakukan suatu hal tapi tetap nekat melakukannya, orang tua pasti akan memperingatkan dengan nada tinggi untuk menghentikan aksinya.

Memang hal ini akan langsung berfungsi pada anak tetapi apakah ini dibenarkan? Jawabannya tentu tidak.

Banyak dampak buruk yang akan terjadi baik dari segi fisiologis maupun psikis anak jika orang tua sering membentak.  Seperti kerusakan pada sel otak dan rasa trauma yang berkepanjangan. Bahkan dalam beberapa artikel disebutkan bahwa satu bentakan dapat merusak beberapa miliar sel otak pada anak. Tentunya ini akan berpengaruh pada perumbuhan sang anak.

Lalu apakah anak akan trauma atau segera melupakan?  Orang tua beranggapan dengan mereka membentak sang anak maka anak akan menyesal dan tidak lagi melakukan hal tersebut. Tapi ternyata tidak hanya sampai disitu, anak justru akan mempunyai rasa luka atau sakit hati yang mendalam terhadap bentakan ini. Jadi tidak menutup kemungkinan anak akan merasa trauma terhadap kejadian tersebut. Yap, dari hal yang dianggap kecil ini dapat mengakibatkan trauma.

Trauma tidak melulu mengenai hal yang besar dan rasa depresi berat. Trauma adalah tekanan emosional dan psikologis yang pada umumnya karena kejadian yang tidak menyenangkan atau pengalaman yang berkaitan dengan kekerasan. Kekerasan dalam hal ini dapat diartikan sebagai kekerasan verbal.

Mungkin jenis trauma ini dapat digolongkan ke jenis Small T trauma, kumpulan kejadian kecil yang berdampak buruk yang menjadi trauma. Dikutip dari situs riliv.co, setiap orang memiliki reaksi yang berbeda terhadap suatu kejadian buruk, bergantung pada pengalaman pribadi. Kejadian tersebut tidak mengancam nyawa, namun memengaruhi emosional dan ketidakberdayaan korban.

Sekitar 5 tahun terakhir ini, saya mulai berpikir tentang rasa trauma saya terhadap suatu makanan atau barang. Trauma ini bukan hal yang besar sampai menimbulkan kengerian dan stres berkepanjangan. Bahkan mungkin ini lebih ke rasa tidak suka saya terhadap suatu hal. Tetapi kadang saya merasa tidak nyaman.

Berawal dari ketidaksukaan saya dengan minyak kayu putih lalu saya mencari tahu sebenarnya apa sih yang membuat saya sampai tidak suka (receh yaa, tapi ini sungguh mengganggu). Pernah suatu ketika saya menonton acara televisi yang menyiarkan mengenai  parenting dan membahas traumatis anak terhadap bentakan orang tua. Dari situ saya mulai flashback dan mengingat kejadian masa kecil saya terkait hal-hal yang tidak saya sukai. Sampai akhirnya saya menemukan bahwa memang benar beberapa rasa trauma yang saya alami itu merupakan dampak dari kejadian yang tidak mengenakan waktu saya kecil.

Trauma yang saya alami lebih kebentuk rasa tidak suka saya terhadap objek yang menjadi penyebab suatu kejadian di masa lalu.

Yang pertama adalah tragedi minyak kayu putih. Waktu itu saya masih berumur 5 tahun, saya masih TK, saya ingat betul itu hari sabtu pagi ketika saya bersiap untuk berangkat sekolah. Karena hari itu saya sedang flu, ibu saya bilang untuk dikasih minyak kayu putih dulu. Saya menolak karena takut nanti panas kalo sampai sekolah karena yang sudah-sudah begitu. Tapi ibu saya tetap kekeh, mau tidak mau saya mengalah dengan syarat tidak usah banyak agar tidak panas dan ibu saya setuju. Nah saat proses eksekusi (ini yang eksekusi bapak), ternyata malah kebanyakan, disitu saya langsung marah, bapak saya juga ikut marah, alhasil malah saya jadi nangis dan bapak saya makin marah deh. 

Rasanya masih keinget sih, panas karena minyak kayu putih, rasa sesak akibat menangis, ditambah wajah marah bapak saya. Sejak kejadian itulah saya jadi tidak suka dengan minyak kayu putih walaupun itu hanya sekedar baunya saja. Sampai sekarang pun kalau dirumah ada yang memakainya dan dekat-dekat dengan saya maka saya akan marah.

Tragedi yang kedua adalah jus wortel. Kejadian ini waktu saya masih TK juga. Dulu, ibu saya sering membuatkan jus wortel. Suatu ketika saat ibu saya membuat jus wortel, air yang digunakan adalah air hangat karena air dingin habis. Awalnya saya tidak mau karena tidak seperti biasanya, tapi tetaplah saya dipaksa untuk minum. Saya minum sedikit, rasanya memang beda dan aneh, dan saya tidak mau menghabiskan. Berikutnya sudah dipastikan ibu saya marah dan saya juga jadi menangis. Sambil menangis saya harus menghabiskan jus itu. Rasa yang awalnya aneh makin menjadi tidak enak dan itu masih membekas sampai sekarang.

Itulah dua kejadian yang membuat saya trauma tidak menyukai hal-hal tertentu. Sebenarnya masih ada lagi seperti trauma saya terhadap minuman susu dan makanan pedas. Saya juga baru menyadari bahwa apa yang tidak saya sukai selalu berkaitan dengan kejadian dulu saat saya dimarahi atau dibentak oleh orang tua saya. Mungkin ini juga karena mental saya yang lemah atau bagaimana saya juga tidak tahu pasti.

Tapi yang pasti, untuk para orang tua harusnya bisa lebih bijak dalam berinteraksi dengan anak. Entah itu ketika mau memberi nasehat, menegur, atau pun yang lain. Tidak dipungkiri bahwa memang para anak ini sering membuat kesalahan dan menguji kesabaran. Maka sebagai orang tua memang harus kreatif dan memberikan perhatian positif kepada anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun