Hal itu karena biasanya setiap satu pembantu memiliki tugas khusus. Ada yang bertugas khusus di dapur, di kebun, mengasuh anak, hingga urusan keamanan. Bahkan, ada juga yang bertugas khusus memayungi majikan.Â
Setelah transportasi masuk ke Hindia Belanda, maka orang Belanda yang royal tersebut akan menambah satu kursi pembantu lagi yaitu untuk posisi sopir.Â
Lalu, bagaimana kehidupan para pembantu itu? Apakah sejahtera atau tidak? Â Mengutip dari tirto.id, kondisi ART pada saat itu jauh dari kata sejahtera.Â
Rodolf Mrazek dalam bukunya Engineer of Happy Land menuliskan, kondisi para pembantu yang tinggal di perkampungan pribumi di kota besar dan kota kecil Hindia Belanda pada tahun 1937.Â
Para pembantu yang tinggal di sana mendapatkan gaji begitu kecil. Para majikan pun terpaksa membayar ongkos mereka untuk naik bus, jitney atau dokar ke tempat kerja.
Jika tidak begitu, para pembantu itu akan terkuras tenaganya jika disuruh jalan kaki ke tempat kerja. Oleh sebab itu, majikan memberi upah berupa ongkos saja.Â
Kondisi ART saat ini
Meskipun zaman perbudakan sudah tidak ada, akan tetapi profesi ART seperti penggantinya. Si tuan seakan mempunyai kekuasaan penuh atas para pembantunya.Â
Para ART ini harus melayani keinginan majikan. Bahkan hanya untuk memberi minum jika si majikan haus. Si majikan terkadang menyuruh ini itu pada ART tanpa batasan waktu dan pekerjaan yang jelas.Â
Tidak jarang si majikan justru melakukan sikap diskriminatif pada ARTnya. Bahkan ada juga majikan yang membayar rendah ART hingga menjadi objek kekerasan seksual.Â
Selain itu, sampai saat ini tak jarang banyak yang menyebut ART sebagai pembantu. Padahal sebutan pembantu begitu merendahkan martabat seseorang.Â
Konotasi pembantu begitu negatif, profesi ini dianggap sebagai pekerjaan rendahan, pekerjaan ini hanya cocok bagi mereka yang berpendidikan rendah dan tidak memiliki keahlian khusus.Â