Kesukaran lain adalah saya menemukan banyak masyarakat pindahan tidak pernah lapor sama sekali. Padahal sudah jelas 1x24 jam tamu wajib lapor. Tapi, aturan itu hanya disadari oleh segelintir orang.Â
Akibatnya, si pindahan itu tidak terdata dan tidak jelas meskipun sudah pindah. Akibatnya ketika ada bansos, si warga pindahan itu tidak pernah mendapatkan bantuan, kemudian ia protes karena tidak pernah dapat.Â
Bapak saya hanya bisa menjelaskan, "Saya tidak tahu jika bapak adalah warga saya karena tidak pernah lapor." Jadi, bagaimana bisa tahu jika ada warga baru, jika si warga itu tidak lapor.Â
Akibatnya ya tidak terdata, ketika ada bansos seperti itu mereka-mereka itu yang selalu protes terdepan. Saya hanya bisa diam saja melihat mereka.Â
Karena kesukaran itulah membuat ketua RT sepi peminat. Tapi, saya kira menjadi pemimpin mempunyai konsekuensi seperti itu. Katakanlah untuk posisi di atas kades.Â
Mengapa laku? Mungkin saja posisi itu bergengsi karena wilayah yang dipegang begitu besar. Tapi, untuk RT sebaliknya. Soal gaji? Jangan berharap gaji RT besar, tidak sama sekali.Â
Gaji RT di tempat saya kecil, itu pun jika gajian selalu dipotong untuk patungan gaji limnas. Sudah kecil, dipotong pula. Mungkin, karena gaji sedikit, ribet mengurus masyarakat membuat jabatan RT sepi peminat.Â
Toh ada juga jabatan yang jauh lebih sulit tapi jadi rebutan oleh orang banyak. Ya jabatan itu bergengsi dan mempunyai pengaruh lebih besar terutama dari sisi politik.Â
Jadi, itulah yang membuat posisi RT tidak dilirik sama sekali. Ini hanyalah gambaran ketua RT di daerah saya yang kebetulan bapak saya adalah RT.Â
Salam.Â