Sama seperti yang saya lakukan, ketika saya tidak bisa memenuhi rasa tangguh saat menghadapi masalah, saya selalu menyendiri atau bermain game.Â
Harapannya ketika bermain game menjadi lupa dengan segala persoalan. Memang benar, tetapi ketika sudah selesai bermain game, saya jadi ingat kembali.Â
Itu artinya pelarian semacam itu tidak efektif dan tidak menyelesaikan apapun. Butuh ruang bagi lelaki untuk mengekspresikan emosi negatifnya termasuk menangis.Â
Tuntutan kepada lelaki agar tidak mengeluh bahkan sampai menunjukkan kesedihan memberi beban tersendiri. Hal itu karena identik dengan feminisme.Â
Begitu juga ketika lelaki curhat atau konsultasi pada ahli, hal itu juga diidentikan dengan perempuan. Tentu saja ini tidak baik bagi kesehatan mental dan hanya bisa membuat depresi.Â
Adanya bias gender tentang maskulin itu sendiri membuat para lelaki memilih memendam semua emosi negatifnya. Akibatnya ya sters, menimbun emosi negatif seperi bom waktu yang bisa meledak kapanpun.Â
Tentu saja hal itu tidak baik apalagi dari sisi mental. Setiap orang baik itu lelaki maupun perempuan bebas mengekspresikan emosi negatifnya tanpa dibatasi oleh gender.Â
Efek lain dari perilaku ini tidak hanya untuk lelaki, tetapi pada wanita. Deifisi maskulin sendiri begitu mengindikasikan bahwa lelaki harus lebih tangguh dan lebih bernilai dari wanita.Â
Laki-laki dianggap lebih unggul, dan lebih kuat. Sedangkan perempuan dianggap sebagai kaum lemah. Inilah yang terjadi, sehingga kata kesetaraan gender sendiri tidak tercapai.Â
Mengagungkan toxic masculinity hanya membuat lelaki lebih superior daripada perempuan. Bahkan, budaya patriarki bisa saja muncul karena ini.Â
Misalanya dalam dunia politik, yang cocok menjadi seorang pemimpin adalah lelaki sedangkan perempuan tidak. Begitu juga dengan lelaki yang hobi masak akan dianggap tidak maskulin.