Dari definisi di atas jelas pria dituntut untuk kuat baik secara fisik maupun emosi. Maskulin sendiri merupakan satu identitas yang dikaitkan dengan gender yaitu pria.Â
Hal-hal yang berkaitan dengan maskulin seperti kuat, tangguh, mandiri, dan sebagainya harus disematkan pada pria. Akan tetapi, definisi itu sendiri dianggap sudah kuno.
Tidak sedikit juga lelaki yang mempunyai sifat lemah lembut penuh kasih sayang. Begitu juga sebaliknya tidak sedikit juga perempuan yang mempunyai sifat maskulin.Â
Di sinilah tuntutan pada kaum pria bahwa semua sifat maskulin harus dimiliki pria untuk bisa disebut pria sejati. Sifat-sifat lemah lembut seperti menujukkan emosi dianggap tidak cocok bagi pria.Â
Akibatnya, ketika ada seorang pria yang mengeluh dianggap cengeng atau lemah. Begitu juga ketika pria menangis sering dikatakan cengeng.Â
Padahal, baik laki-laki dan perempuan mempunyai emosi negatif yang perlu untuk dilepaskan. Toxic masculinity menuntut pria untuk menghilangkan emosi negatif.
Padahal itu hal naluriah dan tidak bisa dihilangkan. Jadi, ketika ada lelaki menangis, curhat dan sebagainya itu adalah hal biasa. Menagis bukan hanya milik perempuan saja tetapi setiap manusia.Â
Sayangnya, budaya toxic seperti itu sudah mengakar di masyarakat bahkan dalam lingkungan keluarga. Didikan keluarga menuntut lelaki untuk tangguh tidak cengeng dan sebagainya.Â
Ketika anak laki-laki menangis karena satu hal, biasanya dituntut untuk tidak menangis, harus kuat. Padahal menangis bisa membuat perasaan menjadi lebih baik.Â
Tentu saja hal itu berbahaya, jika seorang laki-laki tidak bisa memenuhi tuntutan seperti itu apa yang akan terjadi? Biasanya mengisolasikan diri.Â