Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuntilanak: Simbol Feminisme dan Perlawanan terhadap Kaum Patriarki

10 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 11 Agustus 2021   09:12 12515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film Suzzana Bernapas dalam Kubur, salah satu film yang dibintangi oleh Luna Maya. Sumber: detik.com

Berbicara tentang hantu, tentu setiap daerah mempunyai kepercayaan masing-masing. Sebut saja di daerah saya, di Bandung ada yang disebut dengan jurig jarian, hantu yang mendiami tempat-tempat kotor.

Keberadaan makhluk tak kasat mata tersebut justru menjadi ilham bagi para kreator film. Banyak film mengangkat cerita hantu yang dipercayai oleh masyarakat Indonesia seperti, pocong, kuntilanak, hingga jelangkung.

Nah, ada satu hantu yang begitu ikonik di Indonesia, bahkan di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yaitu kuntilanak. Apalagi dalam film ketawa sang kuntilanak begitu khas. Hal tersebut membuat semakin seram saja.

Kuntilanak sendiri digambarkan sebagai hantu wanita yang memakai baju putih, rambut panjang, di sekeliling matanya ada bulatan hitam ditambah lagi ketawanya yang khas. Sang kuntilanak juga dikatakan bisa terbang. 

Lalu bagaimana asal usul kuntilanak itu sendiri? Ada satu kota di Indonesia yang dipercaya berkaitan erat dengan kuntilanak, yaitu Kota Pontianak di Kalimantan Barat.

Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri dan sultan pertama Kerjaan Pontianak berencana mencari tempat bermukim baru. Ketika tengah menyusuri Sungai Kapuas, sang sultan dan rombongan menemukan sebuah pulau yang kini bernama Batu Layang.

Di masa sekarang, pulau tersebut merupakan tempat pemakaman Syarif Abdurrahman beserta keluarganya. Di pulau tersebut juga, sang sultan seringkali mendapat gangguan dari hantu Pontianak atau kuntilanak.

Pada 23 Oktober 1771, sultan dan rombongan sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah beberapa hari menerobos daratan, sultan kemudian mendirikan sebuah balai dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak.

Tetapi asal usul dari kuntilanak sendiri seperti apa? Jika kita melihat asal muasal sang hantu dalam sebuah film, kuntilanak merupakan manusia yang berevolusi menjadi hantu.

Gambaran umum dari kuntilanak dalam film kurang lebih seperti ini. Dikisahkan ada seorang perempuan desa yang mempunyai paras cantik dan memesona. Perempuan tersebut menjadi primadona di kampung tersebut.

Suatu hari, si perempuan tengah bersiap untuk pergi ke ladang sebagaimana biasa. Ketika hendak pergi ke ladang, ada segerombolan bandit desa yang tengah mabuk parah. 

Gerombolan bandit tersebut kemudian berusaha untuk memerkosa si perempuan. Si perempuan biasanya dibawa ke hutan lalu diperkosa di sana. Tidak ada perlawanan dari sang perempuan karena tidak kuasa melawan gerombolan bandit.

Biasanya, untuk kematian perempuan sendiri ada dua versi. Versi yang pertama adalah si perempuan langsung dibunuh saat itu juga. Versi kedua dibuat lebih kejam lagi, si perempuan biasanya hamil dan mengalami depresi hebat.

Tentu saja karena kehamilan tersebut tidak diinginkan sama sekali. Selain itu, perempuan yang seharusnya menjadi korban justru menjadi bulan-bulanan warga.

Seorang perempuan yang hamil tetapi belum bersuami pasti akan menjadi bahan pergunjingan warga, meskipun kehamilan tersebut karena diperkosa. Bukannya mendapat simpati, si perempuan justru mendapat stereotip jelek dari masyarakat.

Mulai dianggap sebagai perempuan murahan, perempuan jalang, hingga aib bagi kampung itu sendiri. Padahal, sejatinya si perempuan tersebut adalah korban.

Masalah akan semakin runyam apabila salah satu yang memerkosanya adalah anak dari orang terpandang. Jika sudah berbicara itu, seperti yang diketahui hukum pun sulit untuk menyentuhnya. 

Di sinilah keadilan tidak berpihak pada si perempuan. Akhirnya si perempuan stres karena masalah tersebut. Belum lagi jika anak yang dikandung tersebut lahir, maka akan menjadi bulan-bulanan yang tidak ada habisnya.

Maka, untuk mengakhiri itu si perempuan memutuskan bunuh diri. Nah, biasanya ketika si perempuan tersebut mati atau bunuh diri, maka akan berubah menjadi sosok kuntilanak.

Bahkan, dalam beberapa film, sang kuntilanak sering digambarkan sedang menggendong bayi, hal tersebut menjadi bukti bahwa si perempuan meninggal bersama dengan janinnya.

Dari kisah ini pun maka muncul ide film seperti beranak dalam kubur. Ada yang unik dari kejadian tersebut. Biasanya, dalam film digambarkan sang kuntilanak yang dulunya teraniaya kemudian balas dendam pada orang yang mencelakainya.

Dendam tersebut jelas dialamatkan kepada mereka yang memerkosanya. Nah di sinilah sang kuntilanak menjadi simbol feminisme. Sang kunti tidak segan untuk meneror orang yang memerkosanya.

Bahkan ketika melihat film Suzana, sang kunti tertawa melihat orang-orang yang menyakitinya menderita. Selain menjadi simbol feminisme, kutilanak juga menjadi simbol perlawanan pada kaum patriarki.

Sang kunti tidak hanya balas dendam pada orang-orang yang mencelakainya. Tetapi, sang kunti juga meneror warga yang membuatnya menderita. Warga-warga yang membuatnya menderita adalah para patriarki yang membuat sang kunti menderita.

Itu sebabnya, teror tersebut tak ubahnya sebagai simbol dari feminisme dan perlawanan terhadap kaum patriarki. Miris sekali memang, untuk mendapatkan keadilan sekalipun harus berevolusi terlebih dahulu menjadi hantu.

Jika kita terapkan konsep itu pada masa kini jelas masih relevan. Bedanya sulit untuk membuktikan apakah ada korban kekerasan seksual menjadi hantu atau tidak. 

Kesamaan tersebut adalah dalam hal memandang perempuan bukan sebagai korban pelecehan seksual. Perempuan justru dianggap sebagai sumber dari pelecehan atau kekersan seksual itu sendiri.

Dengan kata lain, budaya partiarki tersebut masih belum hilang. Ketika ada seorang perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak senonoh sering dicap sebagai perempuan tidak baik. Mungkin, pelecehan dan kekerasan seksual adalah kejahatan di mana korban dianggap bersalah.

Ditambah lagi, hukum yang ada tidak mengakomodir kepentingan korban. Harus diakui, di dalam KUHAP hanya mengatur mengenai hak-hak terdakwa saja. Sementara itu, hak-hak korban masih belum terakomodasi dengan baik.

Selain itu, beban yang diemban dari korban pelecehan adalah adanya beban pembuktian ketika hendak melapor. Tentunya ini menyulitkan, bagaimana untuk membuktikan bahwa seorang perempuan pernah diraba-raba bagian vitalnya oleh orang lain.

Jelas sulit bukan? Terkecuali ada rekaman yang mendukung untuk itu. Bagaimana jika kejadian itu di tempat sepi? Ini menjadi masalah tersendiri bagi korban.

Untuk itu, diperlukan suatu undang-undang yang bisa memenuhi kebutuhan korban, khususnya korban pelecehan dan kekersan seksual. Salah satunya adalah RUU PKS. 

RUU PKS saat ini masuk dalam prolegnas prioritas tahun ini. Semoga saja pembahasannya lancar sampai disahkan menjadi undang-undang. Harapannya undang-undang ini tidak ditarik kembali seperti tahun sebelumnya. 

Selain itu, kita sebagai masyarakat secara luas sebaiknya meninggalkan budaya patriarki tersebut. Jika melihat ulasan di atas, cukup beralasan menganggap kuntilanak sebagai simbol perlawanan terhadap kaum patriarki.

Hal itu karena selama ini masyarakat kita memang seperti itu. Tetapi, itu hanyalah sebatas simbol saja. Toh ngeri juga kan jika ada kuntilanak betulan datang meneror warga. Meskipun simbol feminisme, tetap seram juga untuk dilihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun