Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kuntilanak: Simbol Feminisme dan Perlawanan terhadap Kaum Patriarki

10 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 11 Agustus 2021   09:12 12515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dendam tersebut jelas dialamatkan kepada mereka yang memerkosanya. Nah di sinilah sang kuntilanak menjadi simbol feminisme. Sang kunti tidak segan untuk meneror orang yang memerkosanya.

Bahkan ketika melihat film Suzana, sang kunti tertawa melihat orang-orang yang menyakitinya menderita. Selain menjadi simbol feminisme, kutilanak juga menjadi simbol perlawanan pada kaum patriarki.

Sang kunti tidak hanya balas dendam pada orang-orang yang mencelakainya. Tetapi, sang kunti juga meneror warga yang membuatnya menderita. Warga-warga yang membuatnya menderita adalah para patriarki yang membuat sang kunti menderita.

Itu sebabnya, teror tersebut tak ubahnya sebagai simbol dari feminisme dan perlawanan terhadap kaum patriarki. Miris sekali memang, untuk mendapatkan keadilan sekalipun harus berevolusi terlebih dahulu menjadi hantu.

Jika kita terapkan konsep itu pada masa kini jelas masih relevan. Bedanya sulit untuk membuktikan apakah ada korban kekerasan seksual menjadi hantu atau tidak. 

Kesamaan tersebut adalah dalam hal memandang perempuan bukan sebagai korban pelecehan seksual. Perempuan justru dianggap sebagai sumber dari pelecehan atau kekersan seksual itu sendiri.

Dengan kata lain, budaya partiarki tersebut masih belum hilang. Ketika ada seorang perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak senonoh sering dicap sebagai perempuan tidak baik. Mungkin, pelecehan dan kekerasan seksual adalah kejahatan di mana korban dianggap bersalah.

Ditambah lagi, hukum yang ada tidak mengakomodir kepentingan korban. Harus diakui, di dalam KUHAP hanya mengatur mengenai hak-hak terdakwa saja. Sementara itu, hak-hak korban masih belum terakomodasi dengan baik.

Selain itu, beban yang diemban dari korban pelecehan adalah adanya beban pembuktian ketika hendak melapor. Tentunya ini menyulitkan, bagaimana untuk membuktikan bahwa seorang perempuan pernah diraba-raba bagian vitalnya oleh orang lain.

Jelas sulit bukan? Terkecuali ada rekaman yang mendukung untuk itu. Bagaimana jika kejadian itu di tempat sepi? Ini menjadi masalah tersendiri bagi korban.

Untuk itu, diperlukan suatu undang-undang yang bisa memenuhi kebutuhan korban, khususnya korban pelecehan dan kekersan seksual. Salah satunya adalah RUU PKS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun