Dengan market share besar yang dimiliki, mereka bisa mengatur pasar secara leluasa. Inilah alasannya mengapa kenaikan harga beras tidak serta-merta dinikmati oleh petani sebagai produsen.
Kebijakan pemerintah menjadi salah satu faktor kunci untuk menjaga kestabilan harga beras tersebut. Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan telah meminta pelaku usaha untuk mengikuti Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk komoditi beras mulai tanggal 1 April 2018.
Seluruh pedagang beras di pasar tradisional wajib menjual beras dengan HET di wilayah masing-masing. Namun apakah langkah pemerintah dengan menetapkan HET ini akan efektif untuk menjaga kestabilan harga beras dalam jangka panjang?
Penetapan HET tersebut hanyalah mengatur harga di tingkat pedagang eceran sebagai mata rantai paling akhir dalam perdagangan beras. Diperlukan upaya-upaya lainnya yang harus dilakukan, mengingat perdagangan beras memiliki rantai pasok yang cukup panjang mulai dari petani sebagai produsen hingga sampai ke tangan konsumen. Pola distribusi beras melalui 4 hingga 6 titik distribusi sebelum bahan pokok tersebut sampai ke tangan konsumen.
Petani padi menjual hasil panennya kepada tengkulak yang akan mengeringkan padi tersebut. Selanjutnya tengkulak akan menjual padi kering kepada pemilik penggilingan. Pemilik penggilingan akan menjual beras hasil giling kepada pedagang berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan berkapasitas besar.
Pedagang berskala besar menjualnya kepada pedagang berskala kecil di tingkat provinsi atau antar pulau (seperti pedagang di pasar induk Cipinang). Pedagang berskala kecil menjualnya ke pedagang eceran, dan akhirnya pedagang eceran menjual ke konsumen.
Dalam rantai pasok atau rantai distribusi tersebut, margin laba terbesar akan dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi, atau pedagang grosir di mana margin yang didapatkan mencapai 60-80%. Sementara margin yang diperoleh pedagang eceran hanya sebesar 1,8% hingga 1,9% saja.
Penetapan HET beras yang hanya mengatur harga di tingkat pedagang eceran yang hanya menikmati margin laba kurang dari dua persen tersebut tentunya bukanlah langkah signifikan dalam usaha menjaga stabilitas harga beras. Langkah lain yang sangat perlu dilakukan adalah bagaimana mengendalikan rantai pasok dalam hal ini penikmat margin laba beras sebesar 60-80%.
Ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah , yang pertama yaitu memotong rantai tersebut. Pilihan kedua adalah dengan mengatur berapa harga tertinggi di tiap-tiap rantai distribusi.
Langkah untuk memotong rantai distribusi yang terlalu panjang bukanlah perkara mudah, namun tetap perlu diambil untuk menjaga kestabilan harga beras. Titik atau tahapan yang selama ini dipegang oleh tengkulak, pemilik penggilingan padi, dan pedagang berskala besar bisa diambil alih oleh pemerintah.
Bulog dengan gudang-gudang berasnya berskala besar perlu dilengkapi dengan penggilingan padi, yang menerima beras secara langsung dari koperasi yang menampung hasil panen petani. Koperasi tersebut tentunya juga secara langsung berada di bawah kendali pemerintah atau Bulog. Perlu investasi yang cukup besar untuk melakukan hal ini.