Mohon tunggu...
Daniel Kairupan
Daniel Kairupan Mohon Tunggu... Dosen - Cuma sekedar ingin mencurahkan sedikit kegalauan yang pastinya kalian juga sudah banyak tahu. Lha trus ngapain nulis? Hahahaha...

Mantan banker yang senang berbagi pemikiran melalui tulisan dan masih harus terus belajar..

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Covid-19 Spill Over ke Krisis Ekonomi, Mungkinkah?

13 April 2020   23:35 Diperbarui: 14 April 2020   11:01 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua berduka. Semua was-was. Yang awalnya hanya China, keganasan virus Covid 19 kini sudah bisa dirasakan siapa saja. Termasuk kita sebagai warga Indonesia. Dan mimpi buruk itupun akhirnya datang juga dengan tiba-tiba seperti perampok. Tidak ada satupun yang siap menghadapinya, termasuk pemerintah kita. 

Usulan untuk lockdown pun sering diusulkan kepada pemerintah. Namun tentunya untuk melakukan lockdown tidak semudah yang kita ucapkan. Pemerintah perlu mempersiapkan banyak hal untuk dapat menerapkan lockdown secara maksimal.

Beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah menyatakan mengenai strategi yang akan dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Covid 19 yaitu dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). 

Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Semua sektor terkena imbas penyebaran Covid 19 yang dinilai sangat cepat. Dari sektor riil sampai sektor non-riil, semua terkena imbasnya. Beberapa sektor seperti pariwisata dan perdagangan terus mengalami penurunan yang signifikan karena terinfeksi virus corona. 

Penurunan ini tentu menjadi dilema bagi pelaku bisnis didalamnya. Lantas apakah pengaruhnya bagi pelaku bisnis saat ini? Oke saya akan coba bahas satu per satu ya. 

Bagi Pekerja/Karyawan

Suatu ketika saya harus keluar rumah untuk membeli sesuatu. Di toko itu saya menjumpai seorang karyawan yang berasal dari salah satu daerah di Jawa Tengah.

Awalnya kami berbincang mengenai sebuah produk yang akan saya beli. Kemudian saya sedikit melakukan pembicaraan di luar dari jobdesk-nya sebagai karyawan. 

Dalam pembicaraan itu dia sangat berharap agar pemerintah dapat segera menemukan obat penangkal virus ini. Karena ia khawatir jika toko tempat dia bekerja harus ditutup maka dia tidak bisa lagi mengirimkan uang untuk keluarganya yang ada di rumah.

Jika belum menikah dan tidak memiliki tanggungan apapun mungkin tidak akan terlalu terasa. Tapi jika sudah menikah dan memiliki banyak tanggungan?

Untuk melewati masa krisis tentu bukan sebuah perkara yang sangat mudah. Dari kisah di atas, saya belajar bahwa masih banyak warga yang menggantungkan hidupnya pada satu sektor. 

Apalagi jika tidak memiliki keahlian tertentu. Dan kenyataannya pada saat ini banyak cafe atau toko yang berskala lokal memilih tutup entah karena anjuran pemerintah atau menurunnya demand dari konsumen.

Tentu saja kondisi ini menjadi sebuah hal yang tidak menyenangkan bagi pekerja. Mereka seolah-olah berada di dalam uncertainty condition. Kondisi mereka semua bergantung pada pemilik modal perusahaan asal mereka. 

Bagi Pemilik Usaha/Pemodal

Sebagai seorang pengajar, saya sangat senang apabila mahasiswa saya ingin menjadi seorang pengusaha jika nanti sudah lulus. Mengapa demikian?

Setidaknya dia bisa menghidupi orang lain yang bekerja untuknya. Dia bisa mandiri, dan tentunya bisa berinovasi sesuai dengan yang menjadi minat serta keahlian yang dimilikinya.

Namun yang saya khawatirkan adalah seberapa kuat mereka akan mampu bertahan dalam kondisi krisis seperti ini?

Sebagai pemilik usaha, mereka memiliki tanggungan yang cukup besar. Tanggungan mereka tidak sedikit lho. Harus membayar biaya karyawan adalah salah satu kewajiban yang harus mereka penuhi.

Selain itu biaya utang juga harus diperhatikan. Jangan sampai agunan anda hilang begitu saja. Terutama bagi perusahaan-perusahaan yang baru saja berdiri dan belum memiliki track record yang kuat dalam sebuah industri. 

Dalam obrolan saya dengan beberapa teman dalam sebuah grup WA, menceritakan bahwa banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan karyawan dengan alasan efisiensi dalam masa virus Covid 19 ini.

Alasan yang banyak terjadi adalah tingkat demand yang rendah. Dan menjadi hal yang wajar bagi perusahaan untuk melakukan efisiensi. Daripada terus melakukan aktivitas operasional yang malah menjadi beban perusahaan.

Chaos 98 akankah terulang lagi?

Saya menemukan betapa chaos-nya kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 1998 ketika harus menghadapi masa krisis ekonomi yang cukup besar. 

Terutama dari sektor riil. Dari buku Panangian Simanungkalit "Bisnis Properti Menuju Crash Lagi?" menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia yang hancur pada tahun itu. 

Perbankan dan properti menjadi beberapa sektor industri yang sangat terpukul dengan kondisi krisis tersebut. Lantas apakah hubungannya dengan kondisi saat ini? Padahal kasusnya berbeda. Dan apakah kejadian tersebut dapat terjadi kembali pada saat ini? Jawaban saya, iya.

Dari kondisi yang saat ini terjadi bagi karyawan ataupun pemilik modal dapat menjadi gambaran awal mengenai siklus krisis. Penyebaran Covid 19 yang sangat cepat menjadi suatu hal yang menakutkan bagi siapapun. Termasuk bagi pemilik usaha.  Terutama bagi mereka yang bergerak di sektor pariwisata dan jasa hospitality. 

Mau tidak mau dan cepat atau lambat mereka harus menutup gerai mereka untuk satu periode tertentu. Disinilah dilema itu muncul. Siapapun pasti berharap agar dapat terhindar dari virus ini. 

Namun disisi lain mereka harus tetap bekerja agar tetap bisa hidup. Begitupun juga dengan pemilik usaha. Urusan kantong wajar jika masih menjadi prioritas mereka, namun untuk saat seperti ini urusan keselamatan tentu menjadi sesuatu yang harus terus diprioritaskan.

Namun pertanyaannya adalah sampai kapan mereka harus menutup usahanya?

Sebagai masyarakat awam kita mungkin dapat menjawab sampai wabah ini dinyatakan selesai dan kondisi sudah pulih seperti sediakala. Jawaban yang sangat simpel. 

Namun dari jawaban tersebut tidak ada satupun yang dapat memberikan kepastian kapan kondisi ini akan kembali normal. Inilah yang dimaksud uncertainty condition. 

Kondisi yang penuh ketidakpastian karena belum adanya jaminan kapan semuanya akan kembali ke masa-masa seperti dulu. Tentu saja ini akan menjadi ancaman baru bagi karyawan. Akan ada ancaman layoff secara masif. Ini adalah contoh kesulitan pertama dari kasus ini. 

Oke saya lanjutkan lagi untuk kesulitan kedua. Jika kondisi ini akan terus menerus terjadi, maka tidak mungkin akan banyak usaha di Indonesia yang akan gulung tikar.

Pemilik modal tidak dapat lagi membayarkan utang dan kewajibannya kepada debitur. Apalagi mengingat nilai rupiah terhadap US dollar juga terus meningkat. 

Jika memang terjadi pailit, mungkin pihak kreditur akan menyerahkan jaminan atau agunannya kepada debitur untuk dilakukan proses lelang.

Namun permasalahannya untuk melakukan proses lelang tidaklah mudah.. Jika agunan susah dilelang, malah akan menjadi beban bagi debitur. Sehingga ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi pihak debitur dan kreditur. 

Apakah akan sampai berhenti disini? Tidak. Apabila kesulitan tersebut hanya terjadi pada 1 perusahaan saja, saya rasa tidak masalah. Namun bagaimana jika terjadi pada banyak perusahaan? Tentu akan berpengaruh pada industri lainnya. Dan inilah yang akan menjadi sebuah ancaman terbesar dari kasus ini. 

Seburuk-buruknya pemikiran saya, jika kondisi ini tidak segera teratasi maka tidak mungkin akan terjadi chaos yang cukup besar pada masyarakat. Dan pemerintah pun akan mengalami kesulitan untuk menenangkannya. Tentu saja hal ini sungguh tidak menyenangkan. 

Karena jika kondisi suatu negara terus akan chaos maka tidak mungkin akan banyak investor yang mencabut modal usaha nya dari Indonesia. Dengan kata lain perusahaan akan menutup produksinya dari sini dan akan terjadi layoff yang cukup besar. 

Tentunya saya tidak menyalahkan siapapun. Saya yakin bahwa pemerintah jauh lebih memahami cara penanganan krisis kesehatan ini agar tidak berpindah ke krisis keuangan dan ekonomi. Kondisi ini tidak hanya saja dialami oleh Indonesia saja. 

Namun juga oleh negara-negara lainnya. PBB melalui laman resmi International Labor Organization memberikan prediksi akan ada 24 juta orang terancam kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini.

Tidak bisa dipungkiri, pandemi COVID 19 telah membuat banyak sekali bisnis tertekan, bahkan pemerintah di beberapa negara telah berjanji akan mengambil langkah-langkah untuk mencegah adanya PHK.

Dalam laporannya bahwa efek pandemi COVID 19 akan membuat 8,8-35 juta orang bekerja di bawah status kemiskinan di akhir tahun 2020.

Meskipun masih menjadi prediksi dari ILO, namun tentunya angka ini jauh meningkat dibandingkan dengan perkiraan asli untuk tahun 2020 jika tidak ada pandemi COVID 19, yang memproyeksikan adanya penurunan sebanyak 14 juta di seluruh dunia. 

Hilangnya pekerjaan juga berarti hilangnya pendapatan bagi para pekerja. Terkadang menjadi sebuah dilema bagi siapapun yang sampai saat ini harus tetap bekerja diluar rumah. Disatu sisi, siapapun pasti berharap agar dapat terhindar dari pandemi ini. 

Mari bersatu agar semua permasalahan ini segera berakhir. Covid 19 bukan hanya sekedar menjadi ancaman di sektor kesehatan saja. Kita tidak sedang berbicara mengenai krisis kesehatan saja. 

Jika dibiarkan akan dapat menimbulkan spill over ke krisis ekonomi, sosial, dan sektor keuangan. Bahkan tidak menutup kemungkinan krisis ekonomi pada 1998 atau minimal seperti 2008-2009 akan terjadi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun