Ketika saatnya membaca teks Proklamasi itu tiba, juga tidak pakai segala macam protokol, tidak ada yang berlangsung menurut susunan acara, karena memang tidak ada acara, selain membaca teks Proklamasi.
Soekarno berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri para pejuang muda dari stasiun-radio-Jepang, dan dengan ringkas membacakan pernyataan kemerdekaan Indonesia, detik itu juga Indonesia telah merdeka.
Setelah teks Proklamasi dibacakan, bendera Merah-Putih untuk pertama kali dikibarkan, di tiang bendera yang berupa sebatang bambu kasar yang tidak tinggi, salu lagu Indonesia Raya dinyanyikan.
Bendera itu, yang kini menjadi Bendera Pusaka dan disimpan di Istana Negara, dijahit oleh Fatmawati dengan menggunakan mesin jahit tangan. Yaitu mesin jahit yang digerakkan dengan tangan, bukan dengan kaki.Â
Menurut Fatmawati, di dalam bukunya, "Catatan Kecil Bersama Bung Karno" (1978), mengatakan kain bendera pusaka itu diberikan oleh seorang perwira Jepang bernama Hitoshi Shimizu, pada Oktober 1944 sebagai bentuk janji kemerdekaan Jepang kepada Indonesia.
"Yang satu blok berwarna merah, sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai," tulis Fatmawati di bukunya itu.
Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Dan tidak seorang pun berpikir sampai ke situ. Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di antara beberapa gelintir orang berpakaian seragam berada dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan mengibarkannya, seorang diri, dengan kebanggaan, yah, untuk pertama kali setelah tiga setengah abad.
 Tidak ada musik. Tidak ada pencaraga. Setelah bendera naik melambai-lambai, kami menyayikan lagu Indonesia Raya.
 Selesai itu kudengar anggota PETA di kamar-kerjaku berteriak melalui telepon: "Ya, sudah selesai!"
Kemudian ia meletakkan telepon, dan aku masuk ke dalam dan terus ke belakang menuju kamarku. Hari jam sepuluh. Revolusi sudah dimulai.