Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menkumham Yasonna Laoly Semakin Pantas Dicopot

26 Juni 2015   00:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:33 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus dan telah menegaskan kembali bahwa ia tidak menghendaki adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hal itu perlu ditegaskan kembali, diikuti dengan sebuah langkah kongkrit, dikarenakan setelah pernyataan itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly malah melakukan blunder dengan bersama DPR hendak melakukan revisi tersebut. Bahkan berkat kesepakatan Yasonna dengan DPR, melalui rapat paripurna DPR, rencana revisi itu sudah dimasukkan ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015 ini juga. 

Karena keterlanjuran itu, maka Jokowi menugaskan kepada Yasonna untuk berbicara dengan DPR tentang bagaimana caranya supaya rencana merevisi Undang-Undang KPK tersebut ditarik kembali dari daftar Prolegnas Prioritas 2015 alias dibatalkan. Demikian yang disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Istana Kepresidenan, Kamis (25/06/2015).

 

"Menkumham itu telah mengirimkan surat kepada DPR, tapi saya belum lihat. Jadi nanti dicek saja. Jadi kami di sini mau menyampaikan adalah, Presiden tidak ada niatan untuk merevisi undang-undang KPK," ujar Pratikno.

 

Dia menuturkan, Presiden menghendaki agar pembahasan undang-undang sebaiknya difokuskan pada revisi UU KUHP dan UU KUHAP yang sudah menjadi agenda pemerintahan sejak lama. Namun, lantaran revisi UU KPK sudah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2015, Presiden pun menyayangkannya.

 

"Jadi oleh karena itu, Bapak Presiden meminta kepada Menteri Hukum dan HAM untuk membicarakan di DPR. Nah yang makanya kaitan dengan itu, surat yang disampaikan oleh Pak Menteri Hukum dan HAM barangkali juga tadi terkait dengan itu," ucapnya (Kompas.com).

 

 

Wajar, Presiden menugaskan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly untuk menghubungi DPR untuk mengupayakan bagaimana caranya supaya rencana revisi Undang-Undang KPK itu ditarik kembali (dibatalkan). Bukan karena semata-mata dia adalah menteri yang membidangi hukum, tetapi lebih karena dialah yang paling bertanggungjawab sebagai wakil pemerintah sehingga rencana revisi Undang-Undang KPK itu dimasukkan ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2015 itu.

 

Berhasil tidaknya Yasonna atas nama pemerintah menarik kembali keluar rencana revisi Undang-Undang KPK dari Prolegnas Prioritas 2015 itu, tetap saja ia merupakan salah satu menteri yang paling layak diprioritaskan ditarik kembali keluar dari Kabinet Kerja Presiden Jokowi alias dicopot dan diganti jika waktu reshuffle kabinet pun tiba.

 

Sebelum revisi Undang-Undang KPK ditetapkan masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2015 itu, Jokowi sudah menyatakan pemerintah tidak menghendaki adanya revisi Undang-Undang KPK, tidak seperti hasrat yang kian menggebu dari DPR, yang memang sejak lama punya tekad kuat untuk melemahkan KPK dengan segala cara.

 

Namun, seolah-olah pura-pura tidak tahu, dan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Presiden, dalam sebuah rapat dengan Badan Legislasi DPR, Selasa, 16 Juni lalu, Yasonna malah menyatakan niat pemerintah untuk mendukung rencana revisi Undang-Undang KPK tersebut. Bahkan hendak dipercepat dengan memasukkannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2015, yang artinya harus segera dibahas di tahun 2015 ini juga, dari yang sebelumnya hanya masuk dalam daftar Prolegnas jangka panjang (2014-2019).

 

"Keinginan pemerintah merevisi Undang-Undang KPK tersebut sudah masuk dalam prioritas jangka panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Oleh karena itu, perlu didorong untuk masuk prioritas Prolegnas 2015," kata Yasonna sendiri (Kompas.com).

 

 

Dari situlah kemudian dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 23 Juni 2015, DPR pun memutuskan rencana revisi Undang-Undang KPK itu dimasukkan di dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2015.

 

Tidak hanya sekadar menyatakan dukungan pemerintah terhadap rencana revisi Undang-Undang KPK itu, Yasona pulalah yang mengusulkan mengenai apa saja yang harus direvisi pada Undang-Undang tersebut, semuanya ada lima poin yang disebutkannya.

 

Kelima poin revisi terhadap Undang-Undang KPK yang disebut oleh Yasonnah itu adalah:  Pertama, kewenangan penyadapan oleh KPK, dengan alasan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM, yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Padahal justru penyadapan inilah senjata andalan KPK dalam menangkap tangan para koruptor saat menjalankan aksinya.

 

Kedua, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung. Padahal jika hal ini ditetapkan, maka konsentrasi dan pengawasan KPK terhadap proses hukum tersangka koruptor di pengadilan Tipikor berpotensi terganggu dan melemah, karena harus “berbagi tugas” dengan Kejaksaan Agung. Padahal salah satu pertimbangan didirikannya KPK adalah karena selama ini kinerja Kejaksaan Agung selalu tak sesuai dengan harapan masyarakat dalam tindakan pemberantasan korupsi.

 

Ketiga, dewan pengawas perlu dibentuk untuk mengawasi KPK dalam menjalankan tugasnya.

 

Keempat, perlu ada pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan.

 

Kelima, mengenai penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.

 

Beberapa jam setelah tersiar kabar tentang itu (Selasa, 16 Juni 2015), Teten Masduki dari Tim Komunikasi Presiden, menyatakan,  Presiden Jokowi tidak tahu-menahu tentang rencana Menkumham Yasonna dengan DPR untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK itu.

 

Jangan sampai langkah yang dilakukan Menkumham Yasonna untuk merevisi UU KPK seolah-olah menjalankan instruksi Presiden Jokowi, kata Teten. "Iya, hal seperti itu jangan ditafsirkan seolah-olah perintah Presiden," katanya ketika itu.

 

Apalagi, menurut Teten, jika rencana revisi UU KPK akan memperlemah KPK karena akan menghilangkan kewenangan penyadapan lembaga anti rasuah tersebut di tingkat penyelidikan. "Terlalu riskan kalau revisi UU KPK (dilakukan) sekarang," ucap Teten (Kompas cetak, Rabu, 18/06/2015)..

 

Setelah muncul kontroversialnya, banyaknya kecaman, dan pernyataan Presiden Jokowi tersebut, bahkan sudah dipanggil Jokowi, Yasonna berupaya mengelak dari tanggung jawabnya dengan menuding DPR-lah yang berinisiatif melakukan revisi tersebut, bukan dia (pemerintah).

 

Padahal, jika benar demikian, tentu saja dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR itu, Yasonnah sudah menyatakan penolakan pemerintah atas inisiatif DPR tersebut sesuai dengan apa yang sudah dinyatakan Presiden Jokowi sebelumnya, bukan menyatakan dukungannya dengan mengatasnamakan pemerintah dan malah  mengajukan lima poin usulan revisi tersebut di atas.

 

Setelah dipanggil Presiden Jokowi pada 17 Juni lalu (kemungkinan besar mendapat teguran keras), dan ditugaskan untuk berbicara dengan DPR tentang rencana menarik kembali rencana revisi Undang-Undang KPK itu dari daftar Prolegnas Prioritas 2015 itu, kini, Yasonna lain lagi bicaranya.

 

Kata dia, pemerintah selalu satu suara dengan Presiden Jokowi untuk menolak revisi Undang-Undang KPK itu. Seolah-olah pemerintah dengan Presiden Jokowi itu beda.

 

Yasonna juga mengatakan, percuma DPR ngotot mengajukan revisi jika Presiden menolak hal tersebut.  "Kalau presiden menolak, ya tidak jalan dong. Tidak bisa," ujarnya di Gedung Kemenkumham, Jakarta, Kamis (25/6/2015), seolah-olah dia sama sekali tidak punya tanggung jawab dalam masalah ini.

 

Jika Presiden Jokowi benar-benar konsisten dengan sikap tegasnya, maka percuma pulalah upaya Yasonna untuk lari dari tanggung jawabnya itu, karena dari perilakuknya ini saja, sekali lagi, ia adalah salah satu menteri yang sangat direkomendasikan untuk dicopot Jokowi. Karena jika dipertahankan terus, ia akan menjadi batu sandungan, yang bisa mengganggu dan merusak program-program kerja pemerintahan Jokowi, khususnya di bidang pembangunan hukum, yang juga merupakan bagian dari Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi.

 

Apalagi, bukan sekali ini saja menteri yang satu ini bikin ulah dengan blunder itu. Sebelumnya, di saat Jokowi tak mau melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, Yasonna bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, lewat beberapa pernyataannya malah mendukung Budi sebagai Kapolri, demikian juga saat akhirnya Budi dilantik sebagai Wakil Kapolri.

 

Kedua, niatnya menghilangkan aturan pengetatan pemberian remisi bagi terpidana korupsi dengan alasan hak asasi manusia (bagi para koruptor itu).

 

Ketiga, gegabahnya ia sebagai Menkumham, yang memutuskan penetapan dualisme kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Golkar.

 

Terhadap dualisme kepemimpinan PPP, Yasonna dengan Surat Keputusannya mengesahkan kepemimpinan PPP versi Munas Surabaya (Romahurmuziy), dan dalam kasus dualisme kepemimpinan Golkar, Yasonna dengan Surat Keputusannya mengesahkan kepemimpinan Golkar versi Munas Jakarta (Agung Laksono).

 

Akibatnya ia digugat di PTUN, masing-masing oleh kepemimpinan PPP versi Munas Jakarta (Djan Faridz) dan kepemimpinan Golkar versi Munas Bali (Aburizal Bakrie). Dua gugatan tersebut dikabulkan PTUN, dengan membatalkan dua Surat Keputusan Menkumham Yasonna tersebut.

 

Yang keempat adalah yang sekarang ini, yakni mengatasnamakan pemerintah bersama DPR untuk rencana merevisi Undang-Undang KPK, yang sebenarnya merupakan kamuflase untuk melemahkan KPK, yang sekarang ini saja sudah lemah (demi kejayaan para koruptor). Padahal Presiden Jokowi sudah menyatakan kebijakan pemerintah yang sebaliknya.

 

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Presiden Jokowi sangat menyayangkan karena rencana revisi Undang-Undang KPK itu sudah terlanjur masuk Prolegnas Prioritas 2015, oleh karena itu ia sudah menugaskan Menkumham Yasonna untuk berbicara dengan DPR tentang pembatalannya.

 

Seharusnya, Jokowi tidak cukup menyayangkan hal itu sampai terjadi dengan pemberina tugas kepada Yasonna tersebut, tetapi juga harus diikuti dengan langkah berikutnya untuk melakukan tindakan tegas kepada Yasonna. Apalagi, kalau bukan mencopotnya dari Menkumham saat waktunya reshuffle kabinet tiba?! *****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun