Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Betapa Digdayanya Grup 21 Cineplex: Dua Menteri pun Takluk (bagian 2 dari 2 tulisan)

26 Agustus 2011   18:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 7606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_131683" align="aligncenter" width="640" caption="Kehadiran Blitzmegaplex mengusik hegemoni Grup 21 Cineplex (http://www.flickr.com/photos/paw25694/2253646511/)"][/caption]

Grup 21 vs Blitzmegaplex

Ketika para penggemar Harry Potter dan film-film Hollywood lainnya menikmati (kembali) film-film kesayangannya, apakah hal yang sama juga terjadi di Papua? Jawabannya adalah tidak. Karena tidak ada jaringan bioskop milik Grup 21 di Papua. Tidak ada jaringan bioskop di timur Indonesia. Kecuali hanya satu di kota Ambon dengan hanya dua layar, dan dengan kualitas yang benar-benar standar dan biasanya hanya memutar film-film non-Hollywood (bioskopnya: "21", bukan "XXI" ).

Itulah salah satu dampak buruk dari adanya praktek bisnis perfilman yang sangat monopolistik.

Karena mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari mengimpor film sampai dengan prnguasaan hampir 90 persen jaringan bioskop di Indonesia ada di satu tangan: Grup 21 Cineplex. Dengan menguasai seluruh film Hollywood, dan sebagian besar film asing lainnya, siapakah yang berani berbisnis bioskop di Indonesia? Tanpa khawatir tidak akan mendapat film yang layak untuk diputar di bioskopnya?

Siapapun yang bergerak dalam dunia bisnis perfilman di Indonesia benar-benar berada di bawah kontrol Grup 21. Mulai dari pemilik film sampai dengan pemilik bioskop di luar jaringan mereka. Termasuk Blitzmegaplex, yang kehadirannya dirasakan oleh Grup 21, telah mulai mengganggu hegemoni mereka selama lebih dari dua dekade.

Blitzmegaplex cukup sukses menarik perhatian dan menyedot penggemar film ke bioskop mereka, setelah kehadiran pertamakali mereka di tahun 2006, di Bandung. Blitz yang yang di-back-up oleh perusahaan milik Grup Djarum, jelas cukup membuat Grup 21 pantas khawatir. Oleh karena itulah dengan kekuatan monopoli yang mereka miliki. Keberadaan Blitz pun mulai diganggu, dengan sengaja tidak memberi jatah film-film Hollywood box office, mengendalikan pemilik film nasional untuk tidak membagi film-film nasional tertentu kepada Blitz, atau dibagikan tetapi tidak pada jadwal masa pemutaran perdana, sampai dengan menghalang-halangi Blitz untuk mengembangkan bioskop-bioskop barunya di berbagai kota di Indonesia dengan cara menglobi pengelola mal baru di mana Blitz berencana membuka bioskopnya di sana. Seperti yang pernah terjadi di Surabaya.

Diputarnya beberapa film Hollywood saat ini di Blitzmegaplex, seperti Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2, Trasformers: Dark of the Moon, dan Kung Fu Panda 2, konon dikarenakan atas kehendak dari pihak MPA. Meskipun Kung Fu Panda 2, baru “dijatah” Omega Film setelah lewat masa pemutaran perdana oleh bioskop-bioskop jaringan Grup 21.

Pemilik film nasional tidak berani melawan Grup 21 Cineplex. Karena sampai mereka berani tetap membagi film tertentunya juga ke Blitzmegaplex, maka Grup 21 tidak akan memutar filmnya di semua jaringan bioskop mereka. Dengan memguasai hampir 90 persen jaringan bioskop di Indonesia, pemilik film manakah yang tidak ciut nyalinya dengan ancaman seperti itu?

Blitz bukannya tidak pernah melawan. Sudah beberapakali Blitz mencoba melawan Grup 21 yang telah melanggar ketentuan hukum tentang larangan monopoli dan persaingan usaha secara tidak sehat. Antara lain dengan melaporkannya ke KPPU pada 2009-2010. Kemudian baru-baru ini, ketika PT Omega Film yang ternyata adalah bagian dari Grup 21 diizinkan mengimpor kembali film-film Hollywood. Tetapi respon dan jawaban KPPU tetap saja sama mengambangnya: Sedang dimonitoring dan diselidiki akan kebenaran berita tersebut.

Selengkapnya trik-trik tak terpuji Grup 21 tersebut dapat Anda baca di ulasan dengan judul “Blitz Menggugat Dominasi Grup 21 Cineplex” .

Dengan fenomena demikian, kita bisa melihat dengan jelas betapa jahatnya efek dari monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam bisnis perfilman itu.

*

Sebaiknya Jero Wacik Menjadi “Pahlawan bagi Negara”, bukan “Pahlawan bagi Grup 21

Seandainya saja, misalnya, pemerintah mengizinkan atau mewajibkan pemilik film Hollywood membuka perwakilannya di Indonesia dan melakukan pengdistribusian sendiri langsung ke siapa saja pemilik bioskop, tentu saja hal ini akan sangat menggairahkan bisnis perbioskopan di Indonesia. Jumlah bioskop di Indonesia pasti akan berlipat jumlahnya. Termasuk sampai ke Tanah Papua, yang sampai hari ini masih saja terus tertinggal.

Penggemar film-film Hollywood di Papua pun bisa menikmati film-film kegemaran terbarunya bersamaan waktunya dengan yang di Pulau Jawa, bahkan di seluruh dunia.

Dengan demikian pasti pendapatan pemerintah di sektor pajak ini pun naik tajam, dan pemilik film Hollywood dan film asing lainnya pun dapat memperoleh keuntangan yang jauh lebih besar daripada seperti sekarang ini. Ketika importir film hanya ada di satu tangan, dan mereka hanya mengdistribusikan film-film itu ke jaringan bioskop milik mereka yang terbatas hanya di kota-kota besar saja. Yang jumlah bioskopnya dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk di Indonesia masih sangat pincang.

Konon pihak Kementerian Keuangan pernah memberi saran seperti ini. Mereka bersedia mengrevisi ketentuan tentang Daftar Negatif Investasi, agar memungkinkan pihak pemilik film asing dapat membuka perwakilannya dan menjalankan bisnis distribusi filmnya sendiri di Indonesia. Tetapi entah kenapa, kemudian lenyap tanpa bekas.

Apakah ini karena campur tangan “sang pahlawan” Grup 21 Jero Wacik, yang memang lebih mempunyai wewenang tentang perizinan bisnis di bidang perfilman di Indonesia ini?

Kalau memang sistem ini pasti jauh lebih baik dan menguntungkan bangsa dan negara, kenapa bukan sistem ini yang dipakai? Bukankah lebih baik Jero Wacik menjadi “pahlawan bagi negara” daripada “pahlawan bagi Grup 21”.

Dengan sistem ini pun akan jauh lebih menguntungkan penggemar film Hollywood, yakni mereka yang Jero Wajik pakai namanya untuk alasan mengizinkan Omega Film melakukan impor film Hollywood itu. Bukankah dengan sistem tersebut penggemar film-film Hollywood akanjauh lebih banyak terpuaskan merata di seluruh wilayah Indonesia? Tidak hanya di kota-kota besar saja?

*

Menteri Keuangan pun Takluk di Hadapan Grup 21?

Pengaruh hegemoni Grup 21 pun terasa di Kementerian Keuangan. Terbukti dari akhirnya setelah tarik-ulur mengenai sistem perpajakan yang akan diberlakuan untuk film impor (dengan fokus pada film Hollywood), sepertinya pemerintah memilih mengalah dengan melakukan revisi ketentuan yang sebelumnya membuat pihak Grup 21 Cineplex berkeberatan.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo sendiri telah mengumumkan tentang keputusan revisi dan diberlakukan ketentuan penentuan tarif pajak impor terbaru. Berlaku mulai Juli 2011.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor itu, tarif untuk film impor adalah Rp. 21.450/menit/film.

Menurut klaim pihak Kementerian Keuangan dan Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wajik ketentuan tersebut berarti pemerintah telah berhasil sepakat dengan pihak importir film untuk menaikkan pajak tersebut sebesar 100 persen.

Apakah benar demikian? Kok, aneh ya, kedengarannya? Ketika pemerintah menetapkan besaran tarif pajak yang katanya naik 100 persen itu malah membuat pihak importir film sepakat? Maka selesailah sudah urusan perselisihan mereka dengan pemerintah mengenai perpajakan.

Ternyata, yang terjadi adalah justru sebaliknya. Dengan sistem perhitungan tarif baru ini, sebenarnya malah pajak yang dibayarkan oleh importir film tersebut kelak malah turun. Ini karena kelak bentuk film yang diimpor tidak lagi dalam bentuk kemasan rol, seperti cara konvensional selama ini.

Bagaimana perhitungannya?

Winbert Hutahaean sebenarnya jauh-jauh hari telah menjelaskan kepada kita tentag hal tersebut. Dalam tulisannya di Kompasiana, dengan judul “Benarkah Pajak Film Dinaikkan atau Malah Justru Turun Banyak”, Winbert menjelaskan sebagai berikut:

Satu kabar terakhir yang diterima penulis adalah bahwa pajak film yang semula dihitung berdasarkan per-meter panjang pita film akan diganti menjadi berdasarkan durasi film. Ini hal yang logis karena nantinya film tidak lagi diimpor dalam bentuk pita film tetapi secara digital yang tidak mengenal panjang dalam meter. Namun demikian sekedar mengingatkan pihak Kementerian Keuangan bahwa 1 meter film seluloid 35mm adalah sama dengan 2 detik. Sehingga seadainyapun cara penghitungan berdasarkan durasi ini akan diterapkan, maka kenaikan 100% tersebut harus diterapkan berdasarkan durasi per-2 detik.

Pada pengumuman kemarin disebutkan bahwa “Tarif spesifik itu berdasarkan satuan, yakni Rp 21.000-22.000 per menit per copy film” (http://www.republika.co.id/berita/senggang/film/11/06/17/lmxdzs-ini-tarif-baru-film-impor). Angka berdasarkan durasi (menit) ini untuk menggantikan tarif sebelumnya yang berdasarkan panjang (meter) film sebesar $0.43/meter.  Di sisi lain, beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan menyatakan akan menaikkan tarif tersebut 100%. Mari sekarang kita berhitung dengan terlebih dahulu mengunjungi website KODAK di bawah ini untuk melihat berapa durasi film 35mm yang panjangnya 1m. http://www.kodak.com/US/plugins/flash/en/motion/filmCalculator.swf Isi setiap kolom sbb: Film Format = 35mm (ukuran film bioskop) Frame rate = 24 fps (standard film Hollywood) Film length (meters) = 1.0 Lalu lihat hasilnya di sebelah kanan = 0.00.02 (HH:MM:SS), yang berarti 1 meter = 2 detik (ps: setelah dibulatkan) Sekarang mari berhitung 1 menit = 60 detik, sehingga 1 menit = 30 meter. Dengan tarif lama 1 menit = 30m x $0.43 = $12.9/Rp 110.940 (rate: US$1 = Rp 8600). Sekali lagi saya tulis 1 menit = Rp 110.940. Padahal keputusan terbaru malah TURUN menjadi 1 menit Rp 22.000??. Angka ini sama saja dengan diskon (-) 80% !!! Bagaimana ini…..!!!! Dapatkah seseorang dari Kementerian Keuangan memberikan penjelasan kenapa angkanya malah turun?? *

Tanya Winbert mengakhiri tulisannya itu.

Sekarang ini, entah kenapa masuknya film-film Hollywood itu masih tersendat-sendat. Umumnya film-film tersebut baru masuk setelah film-film box office itu turun peringkat, keluar dari 10 besar box office di Amerika Serikat. Belum ada lagi film-film box office yang jadwal tayangnya bersamaan dengan di Amerika, atau bahkan lebih cepat, seperti ketika “masa-masa normal” dulu.

Contohnya, Captain America: The First Avenger setelah keluar dari daftar 10 besar box office Amerika, barulah masuk jadwal tayang berikutnya di jaringan bioskop Grup 21.

Mungkin karena masalah perhitungan bisnis semata, atau karena masalah dana berkaitan dengan masih tersangkutnya dua perusahaan mereka yang lama dalam masalah tunggakan pajak itu.

Atau karena impor film saat ini masih dalam bentuk rol, sehingga ketentuan penentuan tarif pajak baru berdasarkan durasi per 1 menit per film, memang menjadi jauh lebih mahal daripada sebelumnya?

Kalau inilahyang terjadi. Tidak masalah bagi Grup 21. Karena mereka telah antisipasi jauh ke depan. Ketika impor film sudah tidak dalam bentuk rol film, melainkan dalam bentuk kopi digital, yang tidak mengenal satuan meter lagi. Di situlah mereka justru akan membayar pajak jauh lebih murah. Seperti yang diuraikan oleh Winbert tersebut di atas.

Di sinilah terlihat lagi, betapa buruknya efek dari bisnis monopoli itu. Ketika pemegang monopoli mengalami masalah, semua pihak terkena dampaknya. Penonton film Hollywood pun tidak bisa menyalurkan hobbinya secara maksimal. Pemasukan di bidang pajak film impor pun menjadi minimal.

Dan, tahukah Anda siapa yang punya usul cara penghitungan tarif pajak film impor tersebut (berdasarkan durasi per 1 menit/film), yang kemudian diterapkan Menteri Keuangan itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun