Mohon tunggu...
Burdani Dani
Burdani Dani Mohon Tunggu... Insinyur - Sastra Mengubah Dunia

Saya senang membaca, saya juga berusaha menuliskan sesuatu yang berguna bagi orang. Boleh jadi menjadikannya hiburan atau penggugah inspirasi bagi orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nonton Film Ancika

15 Januari 2024   17:27 Diperbarui: 16 Januari 2024   09:59 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar : www.jawapos.com


Aku di kota Bandung kini, dingin malam dengan hembusan angin sejuk temaniku di teras rumah malam ini. Pikiranku harus kubawa sesantai mungkin nikmati malam minggu yang entah ke berapa kali dalam hidupku, malas aku hitung. Setengah abad usiaku kini, sudah tak sekuat tahun 1995 dahulu waktu aku masih kuliah. Waktu itu kakiku sangat kuat mendaki gunung, teriakku lantang dan berani mengkritik kebijakan pemerintah saat seminar nasional mahasiswa bersama para Menteri ORBA saat itu. Seakan lelah tak pernah hampiri hati dan pikiranku, maklum anak mahasiswa yang dipercaya memimpin sebagai Ketua Kemahasiswaan, malu kalau aku terlihat tak bersemangat. Predikatku anak Perwira Tentara yang kalem namun pantang diganggu. Lumayan kala itu Kampus memberikan potongan biaya kuliah bagi anak-anak Tentara, Kami anak-anak Tentara yang biasa hidup disiplin dan kerasnya didikan orang tua sangat ditegaskan kuliah selesai pada waktunya oleh orang tua kami. Nakal dikit boleh tapi kalau kuliah “ngaco” bakal dapat “tembakan” dari bapak kami…..heheh.

Tahun 1998 pecahnya bom politik negeri ini, sebelumnya 1995 sudah banyak letupan-letupan kecil dari demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan kebenaran yang harus ditanam di negeri ini. Jika tanaman kebenaran itu berbuah maka rakyatlah yang akan menikmatinya. Buah itu harus manis dimulut orang miskin dan jangan hanya dinikmati mulut orang kaya saja. Kami mahasiswa secara nasional terus berusaha memberikan masukan politik pada pemerintah yang berkuasa, memberikan pemahaman nalar politik pada masyarakat agar mereka terbuka pula pemikirannya untuk lebih maju dan mahu tahu keadaan negara ini !

Waktuku kurang jika satu hari hanya 24 jam seharusnya 36 jam. Aku harus kuliah dengan tugas kuliah anak Teknik yang tak masuk di akal banyaknya, pertemuan Senat Mahasiswa, bahas agama dengan anak-anak DKM, cari buku dan data ke perpustakaan jika tidak ada aku harus ke Palasari cari buku baru atau bekas, camping sambil belajar dan “bincang-bincang” dengan kekasihku. Jangan kalian tanya untuk acara yang terakhir itu…..hanya kami berdua dan Alloh saja yang berhak tahu….heheh.

Masih 1995, Embun masih bergelayut manja di ujung rerumputan, dibelai mesra mentari pagi kota Bandung. Aku tergaget suara keras ketukan pintu “Bangun, kamu kuliah gak hari ini ?” Bapakku lantang membangunkanku. Aku menggeliat, merentangkan otot dan syarafku, masih agak pegal kakiku bekas mendaki Gede Pangrango 2 hari yang lalu. Aku berjalan gontai ke ruang tengah rumah, koran pagi telah tergeletak di meja, seperti biasa ujung-ujungnya agak basah, tukang koran langganan sering main lempar koran ke teras rumah yang masih basah oleh embun pagi.


Headline tertulis besar seorang Lady Rocker ternama sekitar subuh lalu telah meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan tengah kota. Aku baca sekilas dengan cepat, kasihan sekali dia, cantik dan masih muda dan dikenal sangat ramah oleh semua orang. Aku pun tertegun sejenak, inilah masalah batasan usia seseorang yang tak bisa diketahui oleh semua manusia. Maut akan datang tanpa mengenal waktu dan keadaan, kala tenar dan sukses maut datang menghapus segalanya. Setiap “Hamba Alloh” yang beriman wajib mempersiapkannya dengan baik.

Otakku masih agak pusing mengembara pada rumus-rumus teknik, baru 5 menit aku keluar ruang kuliah duduk bersama teman-teman di pelataran gedung, riuh rendah obrolan mahasiswa membahas rumus angker tadi, dosen killer, waktu yang semakin dekat dengan UAS.

Tiba-tiba aku merasa ada tangan yang melingkar hangat di pinggangku dari arah belakang, sempat aku sedikit terkejut sambil refleks menoleh ke belakang, kekasihku rupanya. Senyum ranum mengembang dari cahaya hatiku membuat puisi-puisi cinta itu kembali datang.

“Kamu datang juga, gak ada jadual shooting sampai kamu rela datang ke kampus ?” Tanyaku.

“Rela dong, sang putri rindu pada pangerannya !” dia tertawa renyah sembari menggandeng tanganku mengajak beranjak dari gedung perkuliahan anak teknik.

Aku tahu, siswa SMA sedang libur sehabis ujian. Mungkin kekasihku tak mau habiskan waktu di rumah, makanya dia mengejarku ke kampus.

“Kita akan jalan kemana ?” Aku bertanya sembari memperhatikan pakaian yang dia kenakan saat itu.

Kaos oblong Beneton maroon, celana cream dan sepatu kets maroon Naff. Semakin cantik dia.

“Aku ingin ke kebun teh yang ada danaunya, ada kabut, dingin dan sepi.” Jawabnya.

Pukul 12.00 siang, benar saja…kabut masih belum beranjak pergi dari celah perbukitan. Hujan 30 menit yang lalu membasahi secara adil setiap pucuk-pucuk teh sekitar danau Situ Patenggang. Pepohonan Pinus bergoyang-goyang kompak tertiup angin seakan senang dengan kedatangan kami.

Kami duduk di tepi danau, hening dan mencerahkan pikiran.

Sejurus kemudian kekasihku berkata “Aku senang datang ke sini, percis yang aku mau.”

“Oh, ya ? alam memang tempat merenung yang baik karena manusia terbuat dan tergantung pada alam ini. Bohong jika manusia tak perlu alam dan merusaknya, manusia akan kesulitan bahkan kelaparan.”

“Seperti Cinta, cinta adalah kekuatan besar yang membuat alam ini tetap indah dan bisa kita manfaatkan. Tanpa cinta aku, kamu dan orang di muka bumi ini akan sedih dan sengsara hati !”

“Bukannya sedih dan sengsara hati itu sama ?” Mata indah kekasihnya agak melotot namun bibir ranumnya tersenyum padaku.

“Sengsara hati itu lebih luas maknanya, bisa galau, malu, rendah diri, kecewa dan sebagainya. Sedangkan sedih itu dampak dari sengsara hati.” Aku tersenyum sembari mengacak-acak rambut kekasihku.

“Waduh aku sudah dikuliahi 5 menit oleh pujangga kampus !” Kekasihku mengomel dan cubitan yang keras telah mendarat di perutku dan aku berteriak kesakitan.

Melihat aku kesakitan dia malah tertawa dan tangannya seperti pesawat tempur menukik dan menghujamkan cubitan lagi. Aku beranjak dan berlari, “ampun….ampun” tuan putri.

Kami berjalan pada jalan setapak di sela-sela rimbunnya pepohonan Teh, pemandangan bak karpet hijau raksasa nan indah menutupi lekukan bentang Bumi.

“Kata orang-orang kalau sepasang kekasih mengunjungi Situ Patenggang maka cinta mereka akan putus !”

“Ah, itu kan hanya mitos, kita gak boleh mempercayainya !” Aku berusaha menjelaskannya, meski hatiku juga bertanya darimana berita itu, aku baru mendengarnya.

“iya ini hanya cerita mitos, namun sedikit bergetar di hatiku,….hehehe” Kata dia sembari mengusap perlahan dadanya dengan nafas sedikit tertahan.

“Oh, iya kak, aku ditawari sebagai artis pengganti dari artis yang meninggal karena kecelakaan itu. Ada sebuah sinetron Teve swasta yang harus berlanjut ceritanya meski pemeran utamanya sudah meninggal.”

Kekasihku memang artis baru saat itu. Aku memangdang dari samping sisi wajahnya, memang ada sedikit kemiripan dari artis yang telah meninggal tersebut.

“Wah, kamu semakin terkenal dong !” Celotehku padanya.

“Kamu harus hati-hati juga dan jaga pergaulan di Jakarta nanti ya. Pengaruh lingkungan yang kuat kadang bisa meruntuhkan iman kita !”

Kekasihku sedikit terdiam dan menunduk, dia genggam lembut tanganku, hanya itu tak ada jawaban dan kata-kata.

Hujan gerimis tiba-tiba datang, kami berlarian menuju pondok tempat istirahat para pemetik Teh. Kami berteduh di bawah atap seng yang sudah banyak lubangnya. Sesekali bulir hujan lolos pada lubang itu membasahi kami. Tak pelak kabut yang menutupi bukit bergerak perlahan di atas hamparan kebun teh. Angin bertiup kencang bergandengan suhu dingin perbukitan.

***

Sorak-sorai suara mahasiswa bersautan memenuhi aula besar di sebuah kampus swasta. Debat antar mahasiswa tak terelakkan lagi saat itu. Saresehan Mahasiswa Tingkat Nasional membahas pembangunan dan strategi politik pasca bersatunya Timor-Timur. Meski ada beberapa Menteri yang datang namun penjagaan ketat aparat sungguh terasa. Pasti banyak mata yang mengawasi semuanya. Aku duduk di baris kedua dari depan, dibelakang tamu undangan khusus. Ada wanita paruh baya dengan berpakaian rapi yang sangat mengamati saat ada mahasiswa yang kebagian untuk bicara. Sesekali dia mencatat sesuatu pada sebuah buku kecil. Di pangkuannya ada tas jinjing berwarna hitam. Entah kebetulan atau sengaja tas itu sedikit terbuka, aku melihat sedikit bagian dari sebuah pistol.

Aku hafal betul bagian pistol, maklum anak Tentara. Waktu kecil aku nonton bapakku membesihkan pistol jika akan berangkat tugas.

Aku faham bahwa mungkin ibu itu bagian dari team rahasia pengamanan yang menyamar. Aku justru senang dan tidak takut. Artinya kami dijaga full 100% oleh aparat. Ini bahasa anak tentara…heheh.

Tiba bagianku untuk bicara lantang, agitasiku rupanya membuat semua teman mahasiswa hening mendengarkanku. Aku tahu betul masalah yang sedang dibahas, referensiku cukup lengkap dan ditambah saksi hidup Bapakku sendiri yang bercerita tentang Operasi Seroja beliau tahun 1975. Aku menggiring pemikiran mahasiswa untuk berfikir secara sistematis bagaimana negara kita bisa membangun Timor-Timur dengan baik dan bijaksana.

***

Sudah seminggu aku berada di kampus kembali, banyak hal yang aku lupakan dan lewati. Seorang teman menyampaikan pesan bahwa saat aku hadiri kegiatan nasional mahasiswa yang lalu kekasihku datang dan mencariku. Bagai tersengat tawon aku seperti terbangun dari pingsan lama. Lupa aku punya orang yang aku sayangi….ya aku amnesia kemarin terbius urusan bangsa ini yang pelik. Aku berlari tinggalkan temanku yang bengong dan memanggil-manggilku. Aku pergi ke wartel terdekat, perasaan bersalahku membuncah di dadaku. Di ujung telpon seorang pembantu anak kost putri berbicara terbata-bata.

“Iya, bibi panggilkan sekarang, tunggunya jangan ditutup telponnya !”

Tak lama nada suara yang sangat kukenal, “Hai….kamu kemana aja ihh selama ini, tak khabari aku !” Kekasihku berkata dengan intonasi sedikit meninggi.

“Maaf aku banyak kegiatan di kampus dan Seminar Nasional !”

“Apa tidak ingat sedikitpun padaku ? boong kamu ahh…..!” Dia mengeluh dengan nada marah.

“Masa aku boong, dosa besar itu….betul aku lupa, maafin aku ya ! Aku hanya hamba Alloh yang penuh dengan kekurangan, pikiranku kadang lemah, otakku tak stabil menjabarkan masalah di dunia ini !”

“Kamu sibuk memikirkan negara ini, tapi tidak memikirkan negara cinta kita !”

Aku berusaha menjelaskan seadanya, di luar hujan begitu deras dan petir bersautan, kadang aku kurang bisa mendengarkan kata-kata yang sedang dilanda amarah di sana.

Hingga itu berlanjut, aku sangat sulit menemuinya lagi. Jika aku hubungi sejuta alasan terlontar darinya tak bisa temui aku. Sudah 3 bulan berlalu purnama, aku galau menata cintaku, aku pusing menata jadual penyelesaian tugas-tugasku.

Kadang halusinasiku bergentangan bebas, aku melihat wajah amarah kekasihku di bagian halaman tugas perkuliahan tersulit. Membuatku dihimpit dua kekuatan besar, amarah kekasih dan dosen killer.

***

Besok Minggu ada jadual film-film baru di bioskop, aku lihat deretan waktu main Film Ancika. Lanjutan film Dilan yang lalu rupanya. Daripada di rumah, menonton bersama keluarga asik juga sepertinya, sembari mengenang masa-masa tahun 1995 dahulu. Tak seperti waktu aku mahasiswa dulu kini membeli karcis bioskop dan memilih kursi bisa secara online tak perlu antri depan loket seperti dulu, hanya modal jempol kita atur segalanya di HP kita.

Sekarang musim hujan, hujan rintik menemani kami dengan sedikit dag…dig…dug kemacetan kota Bandung bila hari libur. Takut telat maksudku.

Tak lama kami tiba di lantai atas sebuah Mall besar, agak ngos….ngosan…kami berjalan cepat. Wajar kami sudah agak berumur sekarang….heheh. Kami masukkan data pada Mesin Print Karcis, macet itu mesin ternyata….Panik !.

Pengunjung lain juga kesal, sedangkan film sudah saatnya diputar. Salah seorang pengunjung hampiri petugas jaga bioskop dan lolos masuk. Wow, aku ikuti juga dong, hore….kami lolos juga dan langsung hendak masuk ruang biokop 4. Langkahku terhenti seperti mengingat ada yang tertinggal,

“Aku belum beli Popcorn !”

Aku kembali lagi ke bagian depan bioskop dan membeli segalanya pada sarana anjungan makanan ringan. Terburu-buru aku membelinya, hingga tak kuhitung lagi kembalian uang yang kakak cantik berikan padaku.

Kami duduk tepat pada posisi yang sangat baik, kuteguk air mineral hilangkan lelah dan sedikit dahaga sambil amati jumlah penonton yang ada. Cukup banyak rupanya, mungkin film ini baru beberapa hari diputar sehingga antusias masyarakat cukup baik. Tak beberapa lama film pun diputar.

Gedung-gedung lama peninggalan Belanda di kota Bandung melatari setting film Ancika. Gaya berpakaian anak SMA dan anak kuliah tahun 90an. Membuat kami bernostalgia ke masa SMA dan masa perkuliahan dahulu.

Ancika cantik, body tinggi tegap, rambut pendek, putih kulitnya. Zaman itu akan cocok jadi Paskibraka. Sementara Dilan dengan motornya yang seadanya, begitulah cowok mahasiswa kala itu. Berpenampilan unik sederhana namun prestasi nomor satu tentunya.

Kampus dahulu sangat ramai oleh mahasiswa dengan kegiatannya masing-masing. Ruang Senat dan Himpunan selalu diisi dengan diskusi-diskusi santai atau serius. Lucunya saat rombongan mahasiswa baru dan mahasiswa lama berpapasan jalan. Suit-suitah, saling olok atau segala hal yang membuat ramai suasana akan dan pasti terjadi.

Dahulu Anak mahasiswa dekat dengan anak SMA sudah biasa, dekat hubungan asmara atau dekat secara  acara perlombaan-perlombaan anak SMA yang diadakan oleh Senat Mahasiswa. Kebayang kan jika perlobaan Basket Putri, wah mata kakak mahasiwa seperti menemukan oase di padang pasir. Selesai acara bisa kenalan dan canda-canda dengan cewek SMA Bandung yang cantik-cantik.

Alur Film Ancika membuatku mengingat semua lembar-lembar kenangan yang kutulis terpaksa atau senang hati dahulu. Aku coba menata hati dan realitanya kini, semua sudah terjadi. Namun satu yang harus tetap aku pegang. Idealismeku yang dahulu akan tetap sama sejak dulu hingga kini. Zaman telah berubah dan aku berada pada zaman yang berbeda dengan keadaan yang berbeda pula.

Bandung memang kota cantik yang akan selalu diingat siapapun. Sejuta kenangan akan dituliskan meski hanya berada saat di bawah payung di tengah hujan rintik di bawah pohon-pohon besar peninggalan Belanda di sepanjang jalan kota. Udara sejuknya seakan terus memanggil untuk kita rasakan dengan hati yang damai.

Bandung…1995

Kau ada untukku saat itu, menyapa hati dan menuliskan prasasti indah.

Tak ada tabir gelap malam hanya sinar indah yang aku saksikan.

Aku tak risau hujan, hujan akan menemani kita saat jalan berdua lewati celah-celahnya.

Merinduku hanya padamu dengan sifat manusiaku.

Tawaku cerminan tawamu, sedihmu kusulam dengan candaku.

Waktuku bergandengan dengan waktumu dengan janji sakral hasrat kita.

Aku jadi pujangga kesiangan di hadapan cantikmu.

Puisiku menenangkan gundahmu.

Namun waktu melupakanmu, tak lagi setia pada kejujuran hamba Alloh.

Kau terperangkap di padang luas yang berjanji palsu.

Hati emasmu telah kusam dengan amarahmu.

Beningnya hatimu telah keruh dengan prasangkamu.

Kini dan kini,

Aku akan semakin membaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun