Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memoar Siskamling: Dari Lampu Senter ke Grup WhatsApp

16 September 2025   06:30 Diperbarui: 16 September 2025   06:04 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1985, saya membeli rumah sederhana di kawasan Antapani melalui fasilitas KPR dari bank pemerintah dengan pengembang Perumnas. Setahun setelah akad kredit, barulah rumah tersebut saya tempati. Saat itu saya masih bujangan, sehingga tinggal di lingkungan baru bukanlah masalah besar.

Konon, kawasan Antapani sebelumnya merupakan hamparan persawahan yang subur. Lokasinya hanya berjarak sekitar tiga hingga lima kilometer dari pusat keramaian, namun akses jalan masih terbatas dan belum memadai untuk kendaraan bermotor. 

Rumah yang dibangun kala itu sudah ratusan bahkan ribuan, tetapi jumlah penghuni masih sangat sedikit. Akibatnya, suasana komplek cenderung sepi dan penerangan minim, sehingga pada malam hari suasananya terasa mencekam.

Deretan rumah kosong kerap menimbulkan kerawanan. Tidak jarang dimanfaatkan untuk berjudi, pesta miras, atau bahkan tempat persembunyian pencuri. Cerita-cerita horor pun ikut mewarnai kehidupan warga saat itu.

Siskamling: Dari Jaga Malam ke Ruang Kebersamaan

Demi menjaga keamanan, para penghuni yang sudah menempati rumah berinisiatif membentuk ronda malam untuk melaksanakan siskamling. Poskamling dibuat di lahan kosong yang berada di sekitar perumahan warga. Tujuan utamanya sederhana: menciptakan lingkungan yang aman.

Seiring waktu, siskamling berkembang menjadi semacam neighborhood watch berbasis swadaya. Ia bukan sekadar kegiatan jaga malam, tetapi juga wadah interaksi sosial. Warga yang awalnya asing satu sama lain, lambat laun menjadi akrab. Dari kegiatan ronda, tumbuhlah rasa kebersamaan dan persaudaraan yang mengubah suasana sepi menjadi penuh keakraban.

Saya masih ingat, setiap warga mendapat giliran ronda sekali dalam seminggu. Perlengkapan utama hanyalah lampu senter, ada yang kecil, ada yang besar dan panjang. Menjaga di tengah malam ketika jalanan lengang sering memunculkan rasa tegang. Apalagi jika berpapasan dengan orang asing di jalan gelap, jantung pun berdebar kencang.

Ada satu pengalaman yang tak terlupakan. Suatu malam, seorang ibu datang ke pos ronda dengan panik karena menantunya akan melahirkan, sementara suaminya sedang dinas di luar kota. 

Setelah musyawarah singkat, saya yang saat itu paling muda dan dianggap memiliki ketajaman mata menembus kegelapan, ditugaskan mengantar ke rumah sakit terdekat. Rasanya menggelikan memang, belum beristri tetapi sudah mengantarkan istri orang melahirkan.

Fungsi ronda malam ternyata jauh lebih luas daripada sekadar menjaga keamanan. Poskamling menjadi semacam pusat layanan darurat warga. Ada pasangan suami-istri yang bertengkar, kehilangan ayam, sepeda, bahkan kehilangan kucing kesayangan, semua dilaporkan ke poskamling. Petugas ronda dianggap serba bisa, layaknya unit 911 versi lokal.

Dari Siskamling ke Satpam Profesional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun