Ketika Presiden Prabowo menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada September 2025, publik menyambut dengan beragam ekspektasi. Purbaya dikenal sebagai ekonom yang kerap menyuarakan optimisme: bahwa Indonesia memiliki kekuatan domestik luar biasa besar sehingga tidak perlu terlalu khawatir dengan gonjang-ganjing global. Baginya, pasar domestik yang masif bisa menjadi penyangga utama agar Indonesia tetap aman.
Optimisme ini tentu membawa energi positif, terlebih ketika dilontarkan oleh seorang menteri yang memegang kendali fiskal negara. Namun, seberapa jauh keyakinan tersebut bisa diandalkan? Dan apa implikasinya bagi arah kebijakan ekonomi Indonesia?
Pasar Domestik: Fondasi Optimisme
Kekuatan konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) adalah modal utama Indonesia. Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia memiliki basis permintaan domestik yang stabil.
Bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia membuat jumlah penduduk usia produktif melimpah. Ini berarti tenaga kerja tersedia, dan sekaligus pasar konsumen terus tumbuh. Ditambah lagi, pembangunan infrastruktur yang masif --- baik jalan tol, pelabuhan, maupun jaringan digital --- membuat distribusi barang dan jasa semakin lancar.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah juga mendorong hilirisasi sumber daya alam. Jika berhasil, strategi ini akan mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah, meningkatkan nilai tambah, dan memperkuat daya tahan terhadap gejolak harga komoditas dunia. Semua ini menjadi dasar kuat bagi keyakinan Purbaya bahwa Indonesia bisa berdiri tegak di atas kakinya sendiri.
Realitas Global yang Tak Terhindarkan
Meski demikian, Indonesia tidak sepenuhnya bisa lepas dari dunia luar. Setidaknya empat faktor utama menunjukkan keterkaitan itu.
Pertama, ekspor komoditas. Batu bara, minyak sawit, dan nikel masih menjadi andalan penerimaan devisa. Fluktuasi harga global langsung berdampak pada APBN dan cadangan devisa.
Kedua, ketergantungan pada impor. Industri manufaktur kita masih membutuhkan bahan baku dan barang modal dari luar negeri. Lonjakan harga minyak dunia atau gangguan rantai pasok bisa dengan cepat menaikkan inflasi domestik.
Ketiga, arus modal internasional. Kebijakan suku bunga Amerika Serikat atau Eropa kerap memicu capital outflow dari pasar keuangan Indonesia. Imbasnya, rupiah tertekan dan biaya impor naik.