Mohon tunggu...
Dandi Bachtiar
Dandi Bachtiar Mohon Tunggu... Seorang ayah dari tiga putra dan putri

Manusia biasa yang sedang berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Saatnya Mengganti Ketua PSSI

18 September 2025   04:51 Diperbarui: 18 September 2025   04:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erick Thohir (Sumber: Bola.net)

Presiden Prabowo malam tadi telah mengganti Menpora Dito Ariotejo dengan sosok Erick Thohir yang notabene adalah Ketua Umum PSSI. Keputusan ini ternyata membuka ruang polemik tentang status Ketua PSSI menurut FIFA yang berada dalam posisi abu-abu. FIFA sendiri membuat aturan federasi sepakbola harus bebas dari intervensi pemerintah. Posisi baru Erick Thohir sebagai Menpora semakin membuat kondisi PSSI rawan melanggar aturan FIFA. Apakah jabatannya sebagai Ketua PSSI perlu diganti?

Pergantian pucuk pimpinan di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukanlah perkara sepele. Namun, situasi terkini menuntut langkah berani dan cepat agar sepak bola Indonesia tidak kembali tergelincir ke lubang yang sama: sanksi dari FIFA akibat intervensi pemerintah. Fakta bahwa Erick Thohir, Ketua Umum PSSI, kini juga telah resmi menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga membuka ruang besar bagi konflik kepentingan dan menabrak semangat independensi federasi sebagaimana diatur oleh FIFA. Kondisi ini tidak bisa dianggap enteng. Demi masa depan sepak bola nasional, PSSI harus segera mengambil langkah antisipatif dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk memilih ketua umum baru.

FIFA sudah sejak lama menekankan prinsip non-intervensi pemerintah terhadap federasi sepak bola. Pasal 14 dan 19 FIFA Statutes menyebut dengan jelas bahwa setiap anggota harus mengelola urusannya secara independen dan tanpa campur tangan pihak ketiga, termasuk pemerintah. Indonesia pernah merasakan langsung betapa berat akibat pelanggaran prinsip tersebut ketika pada tahun 2015 FIFA menjatuhkan sanksi suspensi. Kala itu, liga domestik lumpuh, tim nasional terhalang tampil di ajang internasional, dan citra sepak bola kita tercoreng di mata dunia. Bukankah pengalaman pahit itu sudah cukup menjadi pelajaran agar jangan sampai diulangi?

Kini, risiko yang sama kembali membayangi. Dengan Erick Thohir merangkap jabatan sebagai Menpora, batas antara pemerintah dan PSSI menjadi kabur. Meski secara formal belum tentu otomatis dianggap intervensi, namun rangkap jabatan ini jelas menimbulkan persepsi yang berbahaya. FIFA tidak hanya menilai berdasarkan hitam di atas putih, tetapi juga dari indikasi adanya pengaruh politik yang bisa memengaruhi kebijakan federasi. Jika publik internasional melihat Menpora sekaligus memimpin PSSI, bukankah itu sama saja membuka pintu bagi tuduhan intervensi? Apalagi, keputusan penting PSSI terkait kompetisi, timnas, hingga tata kelola liga bisa saja dipersepsikan tidak murni lahir dari federasi, melainkan turut diarahkan oleh pemerintah.

Kita tidak bisa mengabaikan betapa rentannya posisi ini. Bayangkan jika suatu saat terjadi kebijakan yang bertentangan antara kepentingan pemerintah dan independensi PSSI. Erick Thohir akan berada dalam dilema, sekaligus menciptakan keraguan publik tentang integritas keputusan PSSI. Apakah keputusan itu murni untuk kepentingan sepak bola, ataukah sekadar melayani kepentingan politik pemerintah? Ketidakjelasan ini akan mengikis kepercayaan, bukan hanya dari FIFA, tetapi juga dari para pelaku sepak bola nasional: klub, pemain, wasit, hingga suporter.

Dalam situasi demikian, langkah bijak adalah melakukan pergantian ketua umum. PSSI tidak perlu menunggu surat peringatan dari FIFA. Justru dengan mengambil inisiatif lebih dulu, kita bisa menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia berkomitmen menjaga marwah independensi federasi. Caranya jelas: segera menyelenggarakan Kongres Luar Biasa. Mekanisme ini sudah diatur dalam statuta PSSI sendiri, sebagai forum tertinggi untuk menentukan arah organisasi, termasuk mengganti kepengurusan jika dibutuhkan.

Tentu saja, pergantian ketua bukan berarti mengabaikan capaian yang sudah diraih PSSI di bawah Erick Thohir. Tidak bisa dipungkiri, ada sejumlah langkah positif yang telah dijalankan, seperti perbaikan tata kelola liga, pembenahan infrastruktur, hingga keberhasilan menggelar event internasional. Namun, justru karena PSSI sedang berada di jalur perbaikan, kita tidak boleh membiarkan risiko konflik kepentingan menghantam perjalanan ini. Jangan sampai reformasi yang sudah mulai terasa harus berhenti di tengah jalan hanya gara-gara kita terlambat mengantisipasi masalah fundamental: independensi federasi.

Maka, solusi terbaik adalah regenerasi kepemimpinan. Sosok yang layak dipertimbangkan adalah Ratu Tisha Destria, Sekretaris Jenderal PSSI yang kini dikenal luas memiliki rekam jejak profesional, berintegritas, dan dihormati di level internasional. Ratu Tisha bukan nama asing di dunia sepak bola global. Ia pernah dipercaya sebagai wakil sekjen AFC dan memiliki pengalaman panjang dalam mengelola federasi dengan standar tata kelola modern. Dengan latar belakang seperti itu, Tisha bukan hanya figur yang bisa melanjutkan reformasi, tetapi juga diyakini mampu menenangkan keraguan FIFA terhadap independensi PSSI.

Mengangkat Ratu Tisha melalui KLB akan memberi banyak keuntungan. Pertama, ia bukan pejabat pemerintah sehingga tidak ada celah tuduhan intervensi. Kedua, ia sudah memahami dapur PSSI, sehingga transisi kepemimpinan bisa berjalan mulus tanpa harus mengulang dari nol. Ketiga, keberadaannya sebagai tokoh perempuan dengan reputasi internasional akan menghadirkan wajah baru PSSI yang lebih modern, transparan, dan berorientasi prestasi.

Sebagian mungkin berpendapat bahwa langkah mengganti ketua terlalu terburu-buru. Namun, kita harus mengingat bahwa sepak bola adalah olahraga dengan eksposur publik yang sangat tinggi. Sedikit saja celah pelanggaran statuta FIFA, dampaknya bisa langsung berlipat ganda. Kita tidak bisa bermain-main dengan risiko sanksi. Apalagi, momentum sepak bola Indonesia sedang menanjak dengan berbagai agenda penting, termasuk persiapan tim nasional menghadapi turnamen besar dan pengembangan liga domestik. KLB justru akan memperkuat fondasi agar semua agenda itu bisa berjalan tanpa gangguan isu intervensi.

Sebagai bangsa, kita tentu ingin melihat sepak bola menjadi salah satu simbol kebanggaan nasional. Namun, kebanggaan itu harus dibangun di atas fondasi yang kokoh, bukan di atas kompromi yang rapuh. Rangkap jabatan Menpora dan Ketua PSSI adalah kompromi yang berisiko tinggi. Kita boleh saja menutup mata sejenak, tetapi cepat atau lambat FIFA bisa mengetuk pintu dengan sanksi yang merugikan semua pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun