Mungkin saya masih "terselamatkan" apabila waktu itu bibi saya yang ironisnya adalah seorang guru, bisa memahami gejala perubahan dalam diri saya.
Bagaimana mungkin dua anak yang dididik oleh bibi saya (yaitu anaknya -sepupu saya- dan saya) sejak kecil, memiliki dua tabiat yang perbedaannya terlalu jauh. Sepupu saya dikenal sebagai anak baik - baik, sedangkan saya melenceng terlalu jauh dari jalur yang ditetapkan.
Mencoba Sembuh Sendiri
Saya tidak pernah memaafkan apa yang sudah terjadi, apalagi untuk melupakan. Sehingga hal - hal buruk yang saya lakukan setelah kejadian itu, saya anggap sebagai pembalasan saya terhadap hidup yang mendidik saya begitu kejamnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya bosan. Bosan untuk terus menatap kebelakang, dan berucap seandainya. Karena saya tahu, sekalipun saya berteriak tentang kejadian tersebut, orang - orang hanya akan mendengar dan prihatin. Tapi mereka tidak akan pernah benar - benar merasakan apa yang saya lalui untuk bertahan dari kejadian tersebut.
Satu - satunya yang saya miliki sebagai sandaran adalah diri sendiri. Walaupun pada akhirnya, saya memiliki keinginan kuat untuk menemui sepupu saya, dan membicarakan kejadian dua puluh tahun silam sebagai dua pria dewasa.
Saya tidak mengharapkan sebuah permintaan maaf, karena saya tahu saya tidak akan pernah bisa memaafkan kejadian tersebut. Saya hanya ingin menunjukkan padanya, bahwa perlakuannya tidak hanya merusak hidup seorang anak manusia. Tapi kerusakan itu menjadi sesuatu yang tidak dapat diperbaiki.