Saya tidak tahu, kalau semua perlakuan tersebut merusak saya. Saya menjadi penjahat sejak kecil.
Saya tidak tahu untuk apa, tapi saya mulai mencuri uang dirumah bibi. Seringkali saya dihukum ketika kelakuan saya tersebut tertangkap. Mencuri dirumah bibi tidak memuaskan hasrat, saya mulai melakukannya dirumah tetangga.
Sampai - sampai waktu itu saya terkenal akan kenakalan saya, dan tidak ada satupun orang tua yang mengizinkan anaknya untuk membawa saya bermain kerumah mereka.
Hal yang baru saya sadari belasan tahun kemudian, bahwa waktu itu saya sedang mencari perhatian dan sedang ingin diajak untuk berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kejadian tersebut juga membawa trauma mendalam, yang membuat saya akhirnya enggan untuk menikah. Khawatir kalau - kalau suatu saat nanti saya tidak dapat melindungi anak - anak saya dari mendapatkan perlakuan sama seperti yang pernah saya alami.
Kejadian yang (mungkin) pada akhirnya membuat saya lebih memilih untuk berhubungan dengan sesama pria tanpa resiko harus melahirkan anak suatu saat nanti.
Bukan hanya itu, trauma lain yang saya alami cukup mengerikan. Terakhir kali saya bertemu dengan sepupu saya sekira delapan atau sembilan tahun lalu.
Saat itu, ketika melihatnya, yang saya bayangkan hanyalah dia membuka celananya dan memberi perintah yang sama seperti ketika masih terlalu kecil untuk memahami bahwa itu adalah sebuah kesalahan.
Peran Orang Tua
Setelah mempelajari kembali apa yang saya alami, ternyata peran orang tua dalam tumbuh kembang anak tidak sebatas memberi makan atau mengajarkan hal - hal baik dan buruk.
Orang tua (dalam kasus saya paman dan bibi) adalah sekolah pertama bagi anak - anaknya. Ketika terjadi perubahan yang signifikan pada sang anak, maka sudah sepantasnya orang tua memanggil dan mencoba mengajak anak untuk mengobrol tentang apa yang sedang terjadi.