“Jadi memang kopi membuat melek, jadi juga harusnya membuat melek juga identitas keindonesiaan kita bahwa kopi sudah 300 tahun ditumbuhkembangkan di Indonesia.” — Saky Septiono
[caption id="attachment_327383" align="aligncenter" width="524" caption="Goodie Bag Gala Premier "][/caption]
APA yang terlintas ketika kita mengingat Jawa? Sebuah pulau dengan penduduk paling banyak? Suku Jawa? Atau jawawut — varietas padi yang dulu banyak ada — yang disinyalir menjadi asal kata “Jawa”? Atau Yava, bahasa sansekerta yang berarti gandum?
Tentang Jawa dan jawawut itu orang bisa membacanya pada buku The History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles selama menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda (1811-1815) dengan dibantu oleh dua asistennya, James Crawfurd dan Colin Mackenzie. Raffles inilah orang Inggris yang pernah jumawa menulis demikian: “I believe there is no one possessed of more information respecting Java than myself…”
Jawa yang dimaksud Raffles adalah Jawa di awal tahun 1800-an, ketika Badan Usaha Belanda (maksudnya VOC) terus mengalami kerugian drastis dan masa transisi masuknya pemodal swasta. Juga Jawa pada masa itu yang dimaksud oleh Raffles ternyata terbagi antara “Jawa besar” dan “Jawa kecil”. Ada dua tafsir atas atas keterangan itu. Pertama, “Jawa besar” merujuk pada Sumatra. Sedang “Jawa kecil” merujuk pada pulau Jawa itu sendiri. Tapi ada lagi yang menafsir, “Jawa besar” itu pulau Jawa, sedang “Jawa kecil” itu Bali, Madura, dan sekitarnya. Kartografi pada masa itu memang belum lengkap, sehingga hanya beberapa pulau saja yang punya penamaan.
Sudah begitu sajakah ingatan kolektif kita tentang Jawa? Ternyata kita semua lupa, Jawa pada suatu ketika berarti kopi. Alih-alih mengatakan “let’s have a cup of coffee“, bangsa Barat lazim mengatakan “Let’s have a cup of Java“. Lebih lanjut tentang hal ini, orang bisa membaca buku karya Gabriella Teggia dan Mark Hanusz berjudul A Cup of Java yang bicara begitu banyak tentang sejarah panjang kopi di Indonesia sejak 300 tahun lalu.
Abainya orang pada fakta “Jawa adalah kopi” adalah satu hal yang segera menancap di kepala penonton saat menyaksikan film “Biji Kopi Indonesia” yang ditulis, disutradarai, diproduksi oleh Budi Kurniawan. Film dokumenter sepanjang 65 menit ini mampu mengangkat hal substantif yang dilupakan bangsa Indonesia ini, yang sibuk memandang keluar daripada melihat ke dalam dirinya sendiri, ke dalam kekayaan kisah dan budaya di dalam biji kopi yang ditanam di banyak daerah di Indonesia, termasuk di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Papua, tetapi kita sendiri asing dengan semua itu dan bahkan menyangsikannya.
Padahal kisah tentang kopi ini sudah ada sejak lama, bahkan terlalu lama. Ia ada dalam Serat Centhini Tembangraras – Amongraga yang menjadi ensiklopedi persoalan agama, kebatinan, karawitan dan tari, serta cerita-cerita kuno mengenai pertanian dan adat istiadat di tanah Jawa, kopi punya kaitan budaya yang erat. Ia ada dalam lagu-lagu daerah yang dinyanyikan para pemetik kopi di Ruteng.
Ia pun ada dalam mantra Gayo ini, teks yang menurut Mustafarun, petani kopi Desa Gele Wih Ilang, Kabupaten Bener Meriah, dibacakan para petani kopi saat memulai menanam kopi :
“Bismillah / Siti Kawa / kunikahen ko orom kuyu / wih kin walimu / tanoh kin saksimu / Lo kin saksi kalammu” yang artinya: Bismillah, Siti Kawa, Kunikahkan dikau dengan angin, Air walimu, Tanah saksimu, Matahari saksi kalammu.
Bahkan ia pun juga dijadikan latar kisah dalam buku berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda yang ditulis Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah yang kecewa di Hindia Belanda, dengan menggunakan nama pena “Multatuli” pada 1859. Dengan buku berisi penindasan pada petani kopi inilah, kolonialisme Hindia Belanda berakhir. Tak heran bila Pramoedya Ananta Toer mengatakan inilah “buku yang membunuh kolonialisme”.