Sebagaimana lazimnya seorang ulama di Minangkabau, disapa banyak orang dengan sapaan Buya. Sama dengan Buya Hamka, ketokohannya tentu menjadi nilai tersendiri dalam membangun sebuah peradaban Islam di tengah masyarakat.
Disebut ulama dan bapak bangsa yang sempurna Muhammadiyah-nya, Buya mengawali titik kisar pertamanya di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Balai Tangah Lintau.
Lalu, titik kisar kedua seperti ditulis dalam pengantar buku Memoar Seorang Anak Kampung, adalah Madrasah Mu'allimin Yogyakarta.
Seperti sebutan familiar di kalangan organisasi ini, Muhammadiyah itu lahir di Yogyakarta besar di Sumbar.
Tentu orang menyebut itu punya alasan dan fakta yang terjadi di lingkungan Muhammadiyah itu sendiri, yang memang seperti demikian adanya.
Kini, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 ini telah tiada. Dia meninggal di salah satu rumah sakit amal usaha Muhammadiyah Yogyakarta, dan kabarnya akan dimakamkan di daerah itu.
Dia telah banyak meninggalkan warisan persatuan dan kesatuan, pentingnya nilai-nilai pluralisme kepada generasi bangsa.
Tak hanya Muhammadiyah dan bangsa ini yang berduka, dunia Islam bersedih. Tak ada lagi bapak bangsa "kapai tampaik batanyo, kapulang tampaik babarito".
Kehadirannya diterima semua kalangan. Dia mampu dan berhasil menyemai nilai-nilai Minangkabau kepada dunia, lewat identitas Buya.
Terlalu banyak kontribusi Buya untuk bangsa ini, sampai-sampai dia tak begitu mempedulikan ketidak-sukaan sebagian orang kepadanya.
Baginya, berdakwah juga diliputi suka duka. Tak ada yang mulus jalan kebenaran yang disajikannya, kecuali ada kontroversinya juga, menurut sebagian orang.