Kemerdekaan kita atas penjajahan Eropa Barat, baik Portugis, Inggris, maupun yang terlama yakni Belanda, tidaklah lepas dari peran para ulama dan santri-santrinya. Belanda dan Portugis yang mengawali visi imperialisme dengan semangat 3G (Gold, Glory, Gospel) ini mendapatkan perlawanan dari para ulama dan santri-santrinya yang bersumber pada ajaran Islam dan Baginda Nabi Muhammad ﷺ.
Salah satu tokoh ulama Indonesia yang tidak boleh diabaikan adalah Hadratussyaikh K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari. Beliau adalah mahaguru bangsa Indonesia dalam berbangsa, bernegara, dan khususnya dalam ber-Islam.
Ucapan dan tindakan beliau bagaikan samudra keteladanan bagi bangsa Indonesia. Ucapan dan tindakannya pun yang mendasarkan semangat syiar dan awal dari berkibarnya panji perjuangan untuk mengangkat senjata, mengganyang Belanda, dan meraih kemerdekaan.
Perjuangannya yang besar dalam Resolusi Jihad, dukungannya terhadap Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, ditambah dengan perannya dalam mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, merupakan bagian dari pengabdian beliau kepada NKRI dan kemerdekaannya. Segala sumbangsih dan pengabdiannya ini tidak didapatkan beliau secara cuma-cuma, tetapi diraih dengan perjuangan beliau yang cukup panjang.
Beliau pernah menuntut ilmu pengetahuan di Masjidil Haram pada tahun 1308 Hijriah atau 1890 Masehi. Bahkan, beliau menetap di Mekah Al-Mukaramah selama beberapa tahun untuk terus mendalami ilmu pengetahuan Islam dan mengaji dengan beberapa tokoh dan guru besar di sana.
Setelah masa studinya, beliau pun sempat menjadi guru di Masjidil Haram. Murid-muridnya tak tanggung-tanggung, banyak sekali muridnya yang berasal dari Asia Tenggara—seperti Burma (sekarang Myanmar), Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya), Malaysia, Indonesia, dll.
Kepulangannya ke negeri kampung halaman, yaitu Indonesia, beliau tidak membawa gelar-gelar yang banyak dan harta benda yang melimpah. Beliau kembali ke Indonesia hanya membawa segenap hati dan jiwanya, yang penuh dengan ilmu agama Islam yang sangat bermanfaat. Ilmu inilah yang diajarkan beliau kepada murid-muridnya, anak-anak bangsa, untuk menjadi petunjuk sampai yaumil qiyamah sekaligus menghidupkan jiwa mereka dengan spirit Islam yang luhur.
Berbekal ilmu yang dipelajarinya di dua kota suci—Madinah dan Mekah—Kiai Hasyim Asy’ari pun segera melaksanakan perbaikan dan pengembangan pada sistem pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan setempat. Ia mendirikan berbagai lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan sekolah-sekolah di Nusantara. K. H. Hasyim Asy’ari berkata,
“Tidak ada kebaikan bagi suatu umat, suatu bangsa, jika putra-putranya dalam keadaan [yang] bodoh, dan tidak akan menjadi baik, kecuali dengan menguasai ilmu pengetahuan.”
Petuah di atas bukan hanya sekadar ucapan beliau, melainkan juga benar-benar dilakukannya. Saat Kiai Hasyim Asy’ari pulang dari dua tanah suci pada tahun 1314 H, Kiai Hasyim langsung memulai kegiatan dalam bidang pendidikan dan pengajaran di kota kelahirannya. Kemudian, beliau meneruskan pengelolaan pesantren yang sebelumnya telah didirikan oleh ayahnya.
Pesantren yang ada di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur ini kemudian dirapihkan pengelolaannya. Dengan dirinya sebagai pimpinan pesantren, banyak peraturan-peraturan yang dirombak dan bangunan-bangunan yang diperluas. Dengan demikian, tercatatlah dalam sejarah bangsa, berdirilah pesantren yang hingga sekarang masih bertahan dan dikelola oleh keturunan-keturunan beliau ini.
Asad Shahab mencatat, pada tahun 1317 H, umat Islam di Jombang langsung menyelenggarakan perayaan (selametan) di pesantren baru yang telah dirapihkan itu.
“Perayaan itu untuk menyambut hari berdirinya pesantren yang cemerlang dan merupakan [peletakkan] batu pertama bagi terlahirnya banyak ulama besar dan [berdirinya cakrawala berupa] menara ilmu pengetahuan serta perjuangan umat,” terang Asad Shahab.
Pengelolaan pesantren tersebut bukan tanpa tantangan. Penjajah Belanda—atau pemerintah kolonial—sangat tidak mengiginkan umat Islam atau rakyat Indonesia untuk memiliki kecerdasan, mereka hanya ingin umat Islam Indonesia untuk tetap dalam ketertinggalan dan keterbelakangan, supaya umat Islam Indonesia tidak memberikan perlawanan kepada Belanda. Namun demikian, walau rintangan dan tantangan penjajah kepada beliau begitu berat dan kompleks, Kiai Hasyim Asy’ari tetap mampu dan gigih untuk menghadapinya.
Tercatat pula oleh Asad Shahab, ketka Belanda mengalami kegagalan dalam menjegal K. H. Hasyim Asy’ari secara “politis”, pemerintah kolonial Belanda pun mengubah “taktiknya” tersebut. Pemerintah kolonial menjadi lebih agresif dengan beralih kepada pendekatan kekerasan dan penggunaan kekuatan.
“Mereka [pemerintah kolonial] mengirim kekuatan dari angkatan bersenjatanya untuk menguasai pesantren Tebuireng dan menghancurkan serta merusak segala sesuatu yang ada di dalamnya sehingga memberikan kerugian materiel yang besar,” terang Asad Shahab.
Kekuatan besar yang dikerahkan oleh pemerintah kolonial tersebut ditujukan hanya untuk satu target utama dalam dua pilihan, yakni menculik K. H. Hasyim Asy’ari secara hidup-hidup atau menghabisi nyawanya di tempat. Santri-santri dan kiai-kiai di pesantren pun tak tinggal diam, mereka dengan jerih payah berusaha sekuat tenaga, melawan sebagai mujahid, untuk melindungi K. H. Hasyim Asy’ari dan mempertahankan pesantren Tebuireng. Maka, pertumpahan darah pun tak terelakkan.
Dengan berbagai dalih, pemerintah kolonial selalu berupaya untuk membenarkan tindakan mereka dalam penyerangan tersebut. Mereka menggunakan dalih bahwa Pesantren Tebuireng sebagai “sarang pemberontak,” “sarang perusuh,” dan, “sarang bagi kaum Muslim fanatik yang ekstrem.”
Penyerbuan ini pun tidak mengakhiri spirit Kiai Hasyim Asy’ari untuk tetap berjuang demi negerinya, demi agama, dan berjihad di jalan Allah. Beliau tetap teguh pada perjuangannya untuk mendidik bangsa dan membangunkan kesadaran umat Islam di Indonesia supaya semakin berani untuk melawan pemerintah kolonial.
Beginilah kisah dari Kiai Hasyim Asy’ari yang penuh dengan samudra keteladanan. Beliau selalu dapat menjadi teladan dalam keteguhan beliau untuk selalu menggenggam kebenaran dan menegakkannya.
Beliau selalu menitikberatkan hidupnya pada umat dan bangsanya, selalu berusaha mengangkat derajat bangsa, dan selalu berjuang pada ketidakadilan. Sebagai penutup, bolehlah kiranya, kita teriakkan kembali, “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”
Referensi
Shahab, M. Asad. Al-’Allaamah M. Hasyim Asy’ari: Peletak Dasar-Dasar Kemerdekaan Indonesia. Disunting oleh Supriyadi. Diterjemahkan oleh Nabiel A. Karim Hayaze’. Jakarta: Forum, 2019.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI