Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta || Nasionalis-marhaenis || Adil sejak dalam pikiran..

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pascawafatnya Nabi Muhammad: Krisis Kepemimpinan Umat, Pemilihan Khalifah, dan Munculnya Teori Politik Islam

16 Februari 2025   17:28 Diperbarui: 16 Februari 2025   17:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: iStock)

Banyak di antara para sarjana era modern menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus penguasa atas komunitas Islam. Misalnya saja, William Montgomery Watt---sarjana ilmu sejarah kenamaan asal Eropa---menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang juga sekaligus sebagai "negarawan".

Meskipun pandangannya tentang Nabi sekaligus penguasa tidak sepenuhnya salah, tetapi sesungguhnya Nabi Muhammad hanyalah diutus oleh Allah sebagai seorang Nabi dan Rasul yang menyampaikan risalah dari Allah . 

Oleh karena itu, tugas Nabi Muhammad sebagai seorang penguasa hanyalah alat tambahan saja untuk membantu tugasnya dalam menyampaikan dan mendakwahkan risalah dari Allah di Semenanjung Jazirah Arab.

Singkat cerita, pascawafatnya Nabi Muhammad pada bulan Juni 632 M, posisinya sebagai penguasa yang efektif atas sebagian besar wilayah di Semenanjung Arab menyebabkan krisis konstitusional di tengah komunitas Islam yang telah meluas. Krisis ini diakibatkan oleh "kebingungan" yang disertai dengan "ketegangan" mengenai siapa yang menjadi penguasa atas wilayah komunitas Islam selanjutnya.

Ketegangan ini semakin terlihat ketika penguburan jasad Nabi Muhammad terlambat dilakukan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya krisis pergantian kekuasaan yang menjadi polemik di tengah komunitas Muslim. 

Oleh karena itu, umat Muslim awal---para sahabat Nabi Muhammad ---harus melakukan pencarian cara yang efektif untuk menggantikan kepemimpinan serta mengupayakan menjaga persatuan umat dengan cara yang masuk akal dan efektif.

Fazlur Rahman menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebenarnya pernah melakukan tindakan untuk mengatasi masalah ini sebelum beliau wafat, yaitu dengan melakukan perimbangan kekuatan politik antara kaum Muhajirin dan Anshar sebagai penduduk Negara Islam Madinah. Namun demikian, setelah wafat, Nabi Muhammad tidak memiliki kesempatan lagi untuk melakukan itu.

Akhirnya setelah diskusi panjang yang berlangsung di antara kaum Muhajirin dan Anshar di Tsaqifah Bani Saidah, para peserta rapat berhasil menetapkan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. sebagai Khalifah pertama pengganti Rasulullah Muhammad . 

Menurut catatan sejarah Islam, tanpa kehadiran Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar bin Khattab r.a., tentunya tidak akan terjadi persatuan umat saat itu. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwasanya kehadiran dua sahabat Nabi yang paling berpengaruh ini telah dikehendaki oleh Allah untuk tetap mempertahankan persatuan di antara komunitas Islam pascawafatnya Nabi Muhammad . 

Helmut Gatje dalam The Qur'an and Its Exegesis, dikutip dari Islam dan Pancasila, memberikan pandangannya,

"Berkat intervensi yang menentukan dari sahabat Nabi, Abu Bakar dan Umar bin Al-Khattab-lah, krisis berbahaya ini dapat diatasi."

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwasanya konsep dari khalifah atau kekhalifahan secara ketat menunjuk kepada periode sesudah Nabi; begitu juga istilah imamah yang baru dikembangkan oleh para yuris Islam abad pertengahan. 

Namun demikian, istilah imam dapat disandingkan pada posisi Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin politik umat yang efektif pada masa di Madinah. Landasan kesimpulan ini, bukan karena Nabi Muhammad menyatakan demikian, tetapi karena ini sudah berlandaskan pada fakta sejarah.

Pertemuan di Balai Bani Saidah berlanjut kemudian menjadi titik tolak yang sangat penting dalam sejarah politik Islam pada masa awal. Pertemuan ini adalah pelaksanaan konsepsi syura yang pertama kali di kalangan umat setelah wafatnya Nabi Muhammad . 

Sehari setelahnya pun merupakan titik awal dari penggunaan konsep 'ijma (konsensus), di mana 'ijma inilah yang menjadi landasan politik Islam sunni.

Pertemuan di Balai Bani Saidah ini punya dua konsekuensi penting dan berakibat jauh bagi teori politik dalam ajaran Islam. 

Pertama, para yuris Islam sunni abad pertengahan dan para teolog telah membawa peristiwa sejarah ini ke dalam teori konstitusional. 

Kedua, sejalan dengan perkembangan sejarah selanjutnya, para yuris memusatkan teori politiknya pada masalah kekhilafahan-imamah, terutama sebelum jatuhnya kekuasaan Baghdad, pusat imperium Kekhalifahan Abbasiah, ke tangan pasukan kekuasaan Mongol pada 1258 M.

Setelah malapetaka politik yang dialami oleh kekuasaan Baghdad, posisi yuris Islam abad pertengahan mulai berubah ke arah teori-teori yang hanya berkaitan dengan syari'ah, atau syari'at Islam

Oleh karena itu, teori kekhalifahan dan ketatanegaraan politik dalam Islam menjadi dikesampingkan, sebab kelembagaan ini memang telah ditelan oleh fakta sejarah. Dengan kata lain, para yuris Islam akhirnya menyesuaikan dengan kondisi ummat yang saat itu sedang membutuhkan berbagai pemikiran kesyariatan, daripada perpolitikan. 

Baru kemudian, mereka memutar otak untuk mencari prinsip syariah yang sedang dihadapi oleh ummat. Fauzi M. Najjar di dalam The Islamic State: A Study in Traditional Politics menjelaskan,

"... agama dipakai untuk memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan kehidupan politik."

Bertolak dari kenyataan ini, sekalipun kekhalifahan telah menjadi suatu institusi politik dalam sejarah Islam, ia tidak punya dasar dalam Al-Qur'an atau Sunnah, sebagaimana telah disebut sebelumnya. Sementara itu, cukup penting untuk diingat bahwa lebih dari tiga abad setelah Nabi mendirikan tatanan sosio-politik Islam di Madinah, teorinya baru disusun oleh para yuris Muslim setelah Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah mengalami kemunduran. Najjar kembali melanjutkan,

"Keadaan semacam inilah yang menjelaskan sifat apologetika yang berat pada umumnya atas teori-teori Islam tentang negara."

Terdapat dua faktor dominan yang melatarbelakangi teori politik dari golongan Sunni tentang masalah politik kekhilafahan dan imamah.

Pertama, terjadinya kemunduran politik dari Kekhalifahan Abbasiyyah, di mana kemunduran politik yang terjadi semakin kentara ketika para yuris Muslim mulai berspekulatif dengan teori-teorinya. Mereka ada di fase "asal mengambil" atau "asal mengutip" hadis-hadis untuk disesuaikan dengan teori spekulatif politik mereka. Sungguh, menurut Buya Syafi'i Ma'arif, mereka sama sekali tidak pernah menggunakan Al-Qur'an sebagai rujukan atas teorinya.

Tujuan teori-teori yang disusun kemudian tidak lagi mengambil spirit dalam Al-Qur'an untuk tidak membeda-bedakan ras, latar belakang, dan bahkan adanya persamaan darah (keturunan) dari Nabi Muhammad . Mereka malah mengabaikan spirit etik dalam Al-Qur'an berupa prinsip-prinsip syura, persamaan bagi semua ummat Islam, dengan tidak membeda-bedakan SARA, asal-usul, dan keturunan Nabi Muhammad .

Misalnya, teori yang bersandarkan pada hubungan darah dengan Nabi melalui Sayidah Fatimah dan Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a. yang dilakukan oleh yuris Islam syiah. Dari sisi etik Al-Qur'an, teori ini jelas gagal dan tidak mencerminkan spirit Al-Qur'an sama sekali. 

Dalam Al-Qur'an dan ajaran Islam, pertalian darah tidak memiliki tempat, sebab pertalian agama telah meniadakan pertalian darah dalam Islam. Oleh karena itu, doktrin utama dalam Islam adalah aksioma tentang persamaan manusia dengan manusia lainnya atau persamaan antarmanusia. Dengan demikian, kepemimpinan umat adalah bebas untuk dijalankan oleh siapa pun, asal ia punya kualifikasi untuk itu.

Kedua, faktor kedua bagi sifat apologetika teori politik dalam Islam ini adalah karena banyaknya serangan dan kritik oposisi terhadap kekuasaan Abbasiyyah dan Umayyah. Intelektual dari golongan syiah, khawarij, dan mu'tazilah yang melakukan kritik terhadap kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyyah menjadi landasan bagi para yuris Muslim sunni untuk mengembangkan teorinya. Oleh karena itu, kita tak perlu heran apabila ada teori tentang Khalifah sebagai hak dari Suku Quraisy dari kalangan Islam sunni pada abad itu.

Referensi

Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

Ma'arif, Ahmad Syafi'i. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006. https://books.google.co.id/books?id=s8QeGQAACAAJ.

Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. Depok: Gema Insani, 2022. https://books.google.co.id/books?id=b_ULzwEACAAJ.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun