Mohon tunggu...
Dafa Ramadhani
Dafa Ramadhani Mohon Tunggu... Lainnya - Content Marketing

Things never change; we change

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Halte

21 September 2022   10:41 Diperbarui: 21 September 2022   10:48 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Aku akan menunggumu, bahkan hingga bis terakhir sekalipun'

Aku sama sekali tak menyukai kopi. Apapun bentuknya jika rasanya kopi aku akan langsung menolak. Namun kini kopi seakan candu bagiku. Penghilang penat dalam hati yang terus membelenggu. Hampir setiap hari kopi selalu kucari untuk menemani gelisahku. 

Saat aku bangun, aku membutuhkan aroma kafein untuk memberiku semangat. Kuseduh kopi hitam tanpa gula dengan sepiring wafle dengan lelehan coklat diatasnya. Karna siang aku makan di kantin sekolah jadi aku akan membeli kopi di kedai sepulang sekolah. 

Di malam harinya biasanya aku minum setelah makan malam dan saat aku belajar. Terkadang jika aku tidak bisa tidur, aku akan menyeduh kopi dan membuka jendela untuk menikmati angin malam yang semakin dingin. Begitulah aku menikmati malam-malamku.

Sebelum sakit ini menjalar dalam hati, aku sama sekali tak berminat dengan si hitam ini. Aku akan mencari alternatif minuman lain seperti susu misalnya. Setelah tak sengaja meminum seteguk espreso milik ayah, aku jadi menyukainya. Bagiku pahitnya kafein mengurangi rasa sakitku. Yang lama-lama berubah menjadi candu. Dan terkadang aku mengalami sakit lambung.

Pernah suatu kali ibu menyuruhku berhenti meminum kopi karna lambungku ini. Masa-masa kelamku tiba-tiba muncul dihadapanku. Aku tak bisa berhenti menangis. Aku selalu teringat pada orang itu. orang yang meninggalkanku dalam diam. Aku pun diam-diam menangis dalam keheningan. Esoknya aku kembali lagi meminum kopi. Ibu yang hampir setiap hari menasehatiku lama-lama jengah.

 Setelah membayar segelas kopi di kedai, aku langsung pergi ke halte. Takut jika aku tertinggal bis dan terlambat sampai ke rumah. Aku tak mau ibu terus-terusan mengomel padaku. Sembari menunggu, aku menyeruput es kopi hitam itu. Cukup sepi juga di halte ini. 

Akhirnya, bisku datang juga. Aku memilih bangku paling ujung sebelah kiri. Bosan dengan suasana bis yang hanya empat orang saja membuatku mengeluarkan headset dan menyetek musik klasik. Teman-temanku sering berkata jika selera musikku sangat kuno. Aku tak mau ambil pusing dengan perkataan orang lain. bagiku, itu hanya angin yang sedang membuat gaduh di taman pada musim gugur.

            'hh, kuno sekali'

 Kudengar seseorang seperti bergumam dibelakang. Entahlah, aku bingung padahal volumenya sudah kunaikan. Namun aku masih bisa mendengar bising-bising di luar. Kulihat colokan yang ada di ponselku ternyata tidak sepenuhnya masuk. Kulepas headsetku dan menoleh ke samping kananku. 

Terlihat seorang laki-laki sedang menghadap ke jendela. Kenapa dia begitu menyebalkan dengan mengomentari selera musik orang yang sama sekali dia tak kenal? Tetapi aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Dia memakai jaket hodie berwarna abu-abu dengan tas ransel yang di pangkuanya berwarna abu-abu bergaris biru laut. Aku sejenak terdiam. Untuk apa aku memerhatikannya?

Kuperbaiki port yang menguhubungkan ke ponsel agar tertancap dengan benar. Kemudian kembali mendengarkan musik klasik yang sangat kusuka. Sore ini begitu cerah. Langit yang mulai berwarna oranye, jalanan yang tidak terlalu padat, semilir angin sore ketika aku buka jendela bus.

Bus berhenti tepat di halte yang kutuju. Halte ini satu-satunya yang terdekat dengan rumahku. Aku pun turun dari bus dan segera berjalan kaki menuju rumah. Melihat ada tempat sampah di dekat halte aku langsung membuang bekas wadah kopiku tadi.

Saat kubuka pintu rumah terkunci. Menandakan di rumah tak ada orang. Lagi-lagi seperti ini...

Kurebahkan tubuhku seusai mandi tadi. Kopi yang kubuat tadi menguar aroma pahit yang sangat kusuka. Yang ketika kuhirup semua lukaku akan kembali mengoyak dadaku. Membuka semua luka yang belum pernah kering. Yang manakala aku merasa sesak setiap hari bahkan detik.

 Kopi ini sehitam malam. Segelap kenangan dimasa lalu namun begitu sakit hingga sulit terlelap. Aku beranjak dari kursi dan segera mengambil hodieku di lemari. Kutelusuri jalan malam disekitarku menuju halte. Aku akan menunggu seseorang. Seseorang yang entah tibanya kapan. Namun aku berharap akan muncul di pemberhentian terakhir.

Aku duduk seperti biasa di halte. Menikmati hiruk pikuk jalan raya yang tiada henti. semua berlari tiada henti. Terkadang terdengar suara klakson yang tak ada rasa sabar, orang-orang yang berlalu lalang di penyebrangan. Hingga suatu bus datang di jam terakhir pemberhentiannya. Lagi-lagi aku seperti ini. Melakukan hal yang membuang-buang waktuku. Ponselku berdering. Setelah itu mati lagi. Hanya sebentar. Kurasa tak sengaja menelponku. Lalu disusul sebuah pesan singkat

            'pulanglah, ini sudah larut malam' hanya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun