Dia memakai jaket hodie berwarna abu-abu dengan tas ransel yang di pangkuanya berwarna abu-abu bergaris biru laut. Aku sejenak terdiam. Untuk apa aku memerhatikannya?
Kuperbaiki port yang menguhubungkan ke ponsel agar tertancap dengan benar. Kemudian kembali mendengarkan musik klasik yang sangat kusuka. Sore ini begitu cerah. Langit yang mulai berwarna oranye, jalanan yang tidak terlalu padat, semilir angin sore ketika aku buka jendela bus.
Bus berhenti tepat di halte yang kutuju. Halte ini satu-satunya yang terdekat dengan rumahku. Aku pun turun dari bus dan segera berjalan kaki menuju rumah. Melihat ada tempat sampah di dekat halte aku langsung membuang bekas wadah kopiku tadi.
Saat kubuka pintu rumah terkunci. Menandakan di rumah tak ada orang. Lagi-lagi seperti ini...
Kurebahkan tubuhku seusai mandi tadi. Kopi yang kubuat tadi menguar aroma pahit yang sangat kusuka. Yang ketika kuhirup semua lukaku akan kembali mengoyak dadaku. Membuka semua luka yang belum pernah kering. Yang manakala aku merasa sesak setiap hari bahkan detik.
 Kopi ini sehitam malam. Segelap kenangan dimasa lalu namun begitu sakit hingga sulit terlelap. Aku beranjak dari kursi dan segera mengambil hodieku di lemari. Kutelusuri jalan malam disekitarku menuju halte. Aku akan menunggu seseorang. Seseorang yang entah tibanya kapan. Namun aku berharap akan muncul di pemberhentian terakhir.
Aku duduk seperti biasa di halte. Menikmati hiruk pikuk jalan raya yang tiada henti. semua berlari tiada henti. Terkadang terdengar suara klakson yang tak ada rasa sabar, orang-orang yang berlalu lalang di penyebrangan. Hingga suatu bus datang di jam terakhir pemberhentiannya. Lagi-lagi aku seperti ini. Melakukan hal yang membuang-buang waktuku. Ponselku berdering. Setelah itu mati lagi. Hanya sebentar. Kurasa tak sengaja menelponku. Lalu disusul sebuah pesan singkat
       'pulanglah, ini sudah larut malam' hanya itu.