Mohon tunggu...
Muhammad Kasman
Muhammad Kasman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir pada 11 Desember 1979 di sebuah dusun kecil bernama Pajjia Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sempat sekolah di SDN No. 226 Pakkasalo, SMPN Pattirobajo dan SMAN 2 Watampone.\r\n\r\nSelama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam. Menjadi gelandangan dan kerja serabutan selama dua tahun sebelum menjadi jurnalis di sebuah media online nasional di akhir 2007.\r\n\r\nAwal 2008, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan bergiat di Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Mengisi waktu luang dengan seorang istri dan dua orang anak, sambil sesekali menulis puisi.\r\n\r\nMenyukai hujan dinihari dan embun pagi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Antri, Oh Antri...

23 Februari 2012   01:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:18 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda antri dan tiba-tiba ada yang menyalip antrian tanpa merasa berdoa? Semoga anda tidak pernah mengalami kejadian yang seringkali kualami dalam berbagai situasi, tempat dan kondisi ini. Sebab bila anda juga pernah mengalaminya, maka betapa tidak menariknya hidup ini. Berikut ini beberapa kisahku ketika disalip di antrian.

#1


Pagi itu, aku berangkat ke kantor dengan membonceng seorang kawan. Berhubung ada tugas kantor untuk memperbanyak sebuah surat, aku menyempatkan diri ke kios fhotocopy sebelum sampai di kantor. Kios masih sepi, baru satu orang konsumen yang dilayani, di kios tersebut ada dua orang karyawan. Jadi, tanpa harus menunggu, aku langsung dilayani.


“Tolong digandakan sebanyak limabelas lembar ya”, tak lupa aku membumbuinya dengan senyum termanisku, maklum karyawan perempuan itu cukup manis. Lumayan, masih pagi sudah dapat pemandangan segar, hehehehe....
“Iya pak, silahkan tunggu ya”, jawabnya dengan senyum kecut. Aku membatin, waduh aku disapa bapak, mukaku ketuaan kali ya?

Tak lama, tiba-tiba datang seorang lelaki bergaya parlente menyodorkan selembar KTP dan Kartu Keluarga untuk digandakan. Karyawan perempuan itupun menyambutnya dengan sumringah, suratku yang sebelumnya sudah digandakan beberapa lembar disingkirkan dari mesin fotocopy dan digantikan oleh KTP dan Kartu Keluarga dari si bapak bergaya parlente itu.


Sontak aku protes keras, “Kok suratku disingkirkan?”. Karyawan perempuan itu berkilah, “Ini cuma selembar kok Pak, tak akan lama”. “Tapi aku kan lebih dulu, kalau semua yang bawa selembar begitu didahulukan, surat aku kapan selesai digandakan?” Ujarku ketus. Karyawan itu cuma diam, tapi terus juga melayani si bapak parlente tersebut.


Melihat protesku, si lelaki parlente berkomentar, “Aku terburu-buru pak, lagian cuma sebentar kok”. Aku makin gondok, “Tahu dari mana kalau aku tidak terburu-buru?”. Dengan muka bloon dia cengengesan, menerima KTP dan Kartu Keluarganya yang digandakan, dia membayar ongkosnya lalu berlalu tanpa merasa berdosa.


#2


Selepas sholat maghrib di masjid, aku mampir di sebuah mart untuk membeli popok anak yang sudah menipis. Setelah memilah-milih dan mengisi keranjang belanjaan dengan barang kebutuhan, aku bergegas menuju kasir. Berhubung konsumen yang banyak dan kasir cuma dua, terciptalah dua baris antrian menuju kasir, dan aku berada di salah satu barisan.


Antrian perlahan bergerak seiring makin berkurangnya jumlah konsumen yang dilayani. Ah, senangnya hati ini ketika tinggal seorang ibu paruh baya yang berdiri dihadapanku, berarti sebentar lagi giliranku. Namun begitu si ibu paruh baya selesai dilayani dan giliranku telah tiba, kesabaranku pun diuji.


Seorang gadis bertubuh sintal, berambut panjang tergerai, dan berajah lumayan imut muncul dari arah kiri, sekitar 45 derajat, dia tiba-tiba menyalip. Rambut hitamnya sempat menyerempet mukaku dan menebarkan aroma sebuah shampo yang cukup familiar. Beberapa jenak aku terpana, tak sadar apa yang terjadi. Ternyata, dia menyodorkan belanjaannya ke kasir, mendahului sodoran belanjaanku. Ternyata, dia menggunting antrian.


Dengan upaya menahan amarah setengah mati, aku memasang mata melotot dan menantap tajam ke arah kasir. Kasir yang masih belia itu mengkerut, tapi tetap saja dilayaninya gadis ayu itu. Sontak dari mulut aku keluar celetukan, “Di sini tidak harus antri ya?” Si Kasir terdiam sebentar, lalu menjawab santai, “Ke kasir sebelah saja pak”.


Mendengar jawaban kasir tersebut, aku menjadi kaget dan kecewa dengan pelayanan ini. Belum lagi dengan respon dari si gadis ayu atau sok ayu yang menyalip antrian di hadapanku itu, dia cuma tersenyum manis. Mungkin dia pikir aku akan memaklumi tindakannya bila dia memberiku senyum termanisnya.


Begitu dia selesai membayar belanjaannya, dia kembali melempariku senyum manis. Tapi sayang, senyum itu malah terasa seperti penghinaan kepadaku. Tak kubalas senyumnya, kubayar belanjaanku dan saya berlalu dengan hati yang sangat dongkol.


#3


Dengan terburu-buru, kupacu mobil memasuki SPBU. Petugas SPBU mengarahkan aku ke counter satu, di sana cuma melayani seorang konsumen yang mengendarai motor. Dengan hati lega, aku pun mengarahkan mobil ke sana, aku memang lagi berlomba dengan waktu. Dengan menikmati alunan musik dari handphone, saya melipat waktu penantian dilayani.


Tak tahunya, sebuah pengendara muncul dari belakang dan memarkir motornya di hadapan mobil yang aku kendarai. Dengan santainya, begitu pengendara yang dilayani berlalu, dia langsung mengajukan permintaan jumlah premium yang dia hendak beli. Dan parahnya, petugas SPBU pun melayaninya dengan sopan santun yang memadai.


Kehadiranku terabaikan, dia yang jelas-jelas menyalip dilayani dengan begitu sempurna. Lebih parahnya lagi, ternyata dia bukan mau membeli premium untuk motornya saja, dia membawa jerigen kapasitas 10 liter. Aku makin jengkel dibuatnya.


Melihat kejadian itu, kupencet klakson mobil berkali-kali. Aku memencetnya sampai petugas SPBU dan si pengendara menatap ke arahkku dengan sinis. Melihat hal tersebut, aku sengaja kembali memencet klakson. Si pengedara yang membawa jerigen itu menatapku dengan muka bingung, sementara petugas SPBU kelihatan emosional.


Perlahan, petugas itu berjalan ke arahku dan bertanya, “Ada apa pak? Kok membuyikan klakson berkali-kali begitu? Tidak bisa sabar ya?”. Emosiku hampir saja meledak mendengar pertanyaannya, untung saja ditenangkan oleh istri yang duduk di sampingku. Dengan nada ketus kugertak petugas itu, “Yang datang duluan, dilayani duluan dong!” Kalimat ini kuucapkan dengan berteriak sehingga terdengar juga oleh si pembawa jerigen.


Perlahan, di pembawa jerigen meminggirkan motornya dan mempersilahkan petugas SPBU melayaniku lebih dahulu. Sampai mobil yang kukendarai beranjak pergi, si petugas SPBU tak pernah tersenyum ke arahku. Sebelum beranjak, aku masih sempat mengingatkan petugas itu untuk melayani dengan baik kalau tak mau aku laporkan pada pihak manajemen SPBU.


Ini ceritaku, mana ceritamu?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun