Mohon tunggu...
Dadan Hardian
Dadan Hardian Mohon Tunggu... Jurnalis

Menyenangi healing dan mencintai keluarga serta menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Api yang Tak Terlihat

3 Agustus 2025   13:21 Diperbarui: 3 Agustus 2025   13:21 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam dinding di pos pemadam kebakaran  berdentang pelan. Jam 03.00 pagi. Udara dingin membalut kota kecil itu, tapi di dalam pos, beberapa petugas masih terjaga. Salah satunya adalah sebut saja. Damar, pria berusia lima puluhan dengan mata yang selalu tampak tenang, seolah sudah terbiasa melihat segala jenis kekacauan.

Baru saja ia menuang kopi ke cangkir, telepon di meja depan berdering keras. Ia menoleh dan segera mengangkatnya.

"Pak, maaf... anak saya... tangannya nyangkut di pagar... tolong, Pak... tolong..."


Tanpa banyak tanya, Pak Damar menyambar jaketnya dan memberi isyarat ke dua rekannya. Mobil tanpa sirine meluncur menuju  rumah si penelpon. Seorang ibu muda berdiri panik sambil memegangi tangan putrinya yang mungil.

Tangan si bocah terjepit di antara besi pagar rumah. Wajahnya merah menahan tangis.

Dengan alat pemotong, dan sarung tangan tebal,  Damar bekerja dengan sabar. Besi dipotong perlahan agar tidak menyentuh kulit anak itu. Lima menit yang terasa sejam bagi sang ibu, berakhir dengan suara potongan logam yang terlepas dan tangis anak yang berubah jadi pelukan.

"Terima kasih... Terima kasih banyak, Pak..."

Damar hanya tersenyum.

"Sudah tugas kami, Bu. Tapi lain kali, jangan biarkan anak main sendiri di depan rumah ya..."

Ia menepuk kepala si bocah, lalu kembali ke pos tanpa sorotan kamera, tanpa berita. Tapi di hati sang ibu, ia jadi pahlawan.

Seminggu kemudian, warga RT 5 dihebohkan oleh seekor ular piton besar yang masuk ke kamar mandi seorang warga.

Damar dan timnya datang tanpa gentar. Ular sepanjang dua meter itu melingkar di bawah bak mandi. Warga menjerit dari luar rumah, tapi para petugas tetap tenang. Dengan penjepit khusus, ular diangkat dan dimasukkan ke karung tanpa luka.

Seorang remaja bertanya polos,

"Pak, kenapa nggak dibunuh aja ularnya?"

Damar menoleh dan berkata pelan,

"Karena dia juga cuma makhluk yang nyasar. Kita selamatkan, bukan hancurkan."

Musim hujan datang lebih cepat tahun itu. Kali meluap, air merendam rumah-rumah di bantaran. Malam itu, Damar dan timnya bukan hanya menyelamatkan warga, tapi juga ikut mengangkat kasur, membopong nenek-nenek, bahkan membangun dapur umum bersama karang taruna.

"Kita bukan cuma padamkan api, kita hidupkan harapan," katanya, sambil membagikan nasi bungkus pada anak-anak yang duduk menggigil di sudut tembok.

Kisah ini bukan sekadar fiksi. Di banyak tempat, petugas pemadam kebakaran memang menjadi garda terdepan dalam kemanusiaan---melampaui tugas utama mereka.

"Mereka adalah simbol keberanian, kepedulian, dan harapan di tengah ketidakpastian," ungkap Ari Sumarto Taslim, warga Jakarta Timur yang juga pernah minta tolong petugas Damkar mengevakuasi sarang tawon yang bersarang di rumahnya.

Karena api bukan satu-satunya ancaman, dan cinta kasih bukan sesuatu yang hanya dimiliki oleh pahlawan super di layar kaca---tapi juga oleh mereka yang berseragam oranye, di ujung jalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun