Mohon tunggu...
Dadan Hidayat
Dadan Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Travel Journalism

Situs Web Berita & Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Keindahan Alam dengan Karya Sastra Puisi

5 Juni 2020   16:40 Diperbarui: 5 Juni 2020   17:58 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikan kerapu (Epinephelus howlandi) di Taman Laut Bunaken, Sulawesi Utara | Wikimedia Commons

Pada cekungan karang, Kerapu sedang menanti, persis di batas tampak dan tidak tampak
arus tubir, melompatlah ikan, yang dikirim arus utara dalam pusaran semalam
Sepagi ini telah masuk ke dalam bubu
Kau mungkin tidak percaya kakekku adalah karang yang menghimpun bayi Kerapu


Puisi tersebut bagian dari buku puisi berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" yang berisi 100 puisi karya Ibrahim Gibra - nama pena dari Prof Gufran Ali Ibrahim. Puisi itu sejatinya, cara memahami pengarang tentang keindahan alam Maluku Utara di masa lalu, saat ini dan apa yang diimajinasikan nanti. Imajinasi itu bisa juga tentang kota yang punya tol, resto, kereta Argo Parahiyangan, tiang tiang atau tentang cinta yang memeluk rindu.

Gaya menulis puisi tersebut menurut pandangan Sutarjo Adisusilo, disebut sebagai filsafat sejarah spekulatif yang menuliskan semua tentang masa lalu, sejarah, yang pernah terjadi, direkam dalam memori lalu dihubungkan dengan hidup saat ini. Ujungnya adalah tentang kemungkinan yang akan terjadi nanti.

Masa lalu diwujudkan lewat magori. Ini sumber hidup yang berasal dari Ibu dan keluarga bahkan tentang laut, karang, ikan dan pasir. Inilah magori kita anak-anak di Maluku Utara yang lahir dan besar bersama laut atau juga bersama hutan yang isinya pohon sagu, kenari, kelapa, cengkih dan pala.

Semuanya serba pertama. Ada realisme bertutur di situ. Ibrahim Gibra menulis romantisme yang kini mulai hilang tergusur modernitas dalam bait-bait puisi yang tajam. Sebuah historical responsibility yang lepas. Di mana kita hari ini? Di kota yang bising penuh tipu muslihat. Kita jadi lupa dengan magori. Lupa bagaimana caranya membuat bubu, lalu merayu ikan dengan daun Tagalolo

Landmark Ternate merupakan daya tarik tersendiri dari Kota Ternate memiliki kesan bahari yang sangat kental dan menjadi ciri khas Pulau Ternate | Wikimedia Commons
Landmark Ternate merupakan daya tarik tersendiri dari Kota Ternate memiliki kesan bahari yang sangat kental dan menjadi ciri khas Pulau Ternate | Wikimedia Commons
Buku berjudul "Karang Menghimpun Bayi Kerapu" ini dibedah langsung Hasan Aspahani, pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016. Menurutnya, Imaji laut yang ada dalam karya ini berbeda dengan imaji laut yang ada pada karya-karya lain. Laut dalam karya Ibrahim Gibra ini sangat personal, kesannnya, pengalamannya.

Peluncuran dan bedah buku ini sendiri dibuat oleh Kantor Bahasa Maluku Utara bersama Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate. Hasan, yang juga penerima Anugerah Sastra Badan Bahasa 2018 itu mengatakan puisi-puisi yang berada di dalam buku sebagian besar bertema laut dan masa lalu seorang Ibrahim Gibra.

Ibrahim Gibra, bahkan disebut Hasan sebagai penyair yang menyamar menjadi profesor. Ia sangat metaforis menulis masa kecilnya. "Puisi-puisi ini membuat saya berhak menikmatinya dengan sepersonal mungkin. Dan setiap orang saat menemukan puisi-puisi ini mereka juga berhak menikmatinya," ucap Bang Acang, sapaan akrab yang disematkan Ibrahim kepadanya.

Sebagai seorang penulis puisi beliau juga mempersembahkan puisi nya untuk Ibrahim Gibra.

Tuhan, Manusia dan Air Guraka
untuk Ibrahim Gibra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun