Semenjak pengukuhan 2 hari 1 malam yang telah aku ikuti di Balai desa Ledug Kec. Kembaran Purwokerto-Banyumas pada acara perekrutan kader baru organisasi KAMMI Komsad Purwokerto.Â
Aku jadi sering meluangkan waktu untuk hal yang begitu dekat dengan Allah. Kegiatan baruku ini telah aku dapatkan dari keputusanku bergabung dengan keluarga besar KAMMI. Dan aku begitu menyukai kegiatan baruku ini seperti mengikuti kajian, silaturohmi dengan tokoh agama, liqo, dan menyempatkan waktu untuk menghafal alqur'an sebagai pegangan untuk berdakwah. Semua itu begitu mudah untuk aku jalani. Meski terkadang aku terhambat oleh keadaan. Keadaan yang selalu memaksaku untuk mengikuti semua permainan Aya dan Bulan dalam mencari kesenangan yang tidak ada harganya. Akan tetapi, Allah pun selalu memberi kemudahan disetiap niat baikku yang telah tertanam di qolbu.
Sore itu, aku sedang berikhtikaf  di masjid kampus sambil menanti magrib. Selang beberapa menit  suara jimbe, gitar, dan histeria manusia kian menggelegar keluar ruangan. Hingga semua orang yang berada diluar maupun di dalam masjid  mendengar suara gaduh tersebut. Termasuk diriku yang semakin risih mendengar suara musik berpadu histeria manusia yang semakin berdendang. Mataku pun terpanah pada dentang jarum jam dinding yang menghiasi kutbah. Waktu menunjukan dalam hitungan sepuluh menit lagi muadzin akan mengumandangkan alunan perintah rukun iman yang kedua.
Keajaiban terasa merasuk tubuh  mungil ini. Bergegas aku beranjak dari duduk Rahmat-Nya. Langkah kecil ini tertuju pada Unit Kegiatan Mahasiswa yang terletak di samping kiri masjid. Kegaduhan itu semakin menjadi. Suara yang pecah tidak begitu asing ditelinga. "Sepertinya aku mengenali" prasangkaku.Â
Aku terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dugaan ini tak meleset. Kegaduan ini dibuat oleh anak-anak teater. Adzan magrib mulai berkumandang dari arah utara yang kemudian disusul oleh muadzin dari masjid kampus. Kesenangan serakah pun tak kunjung henti.Â
Aku terus melangkah dengan mempercepat langkah kecil ini agar bisa memberitahu anak-anak teater bahwa adzan telah berkumandang. Tepat di depan pintu. Jantung ini merasa bergemuruh miris ketika melihat Bulan sedang duduk bermesraan dengan Arjuna selaku ketua teater. Seketika pula aku mengalihkan pandangan ini sambil membatin "Astagfirllahaladzim waatubuilaik" dan segera membentengi diri dengan membaca basmalah.
"Afwan.." Â berdiri tegak di depan pintu unit kegiatan mahasiswa teater.
Anak-anak teater tercengang melihat kedatanganku berdiri tegak di pintu. Begitu pula dengan  wajah Bulan yang tadinya merona cinta kini telah berubah pucat pasih akibat malu. Kegaduan ini pun memberi jawaban atas gosip heboh percintaan Bulan dan Arjuna yang  selama ini tidak pernah aku percayai kebenarannya karena, pernyataan yang diucapkan Bulan padaku bahwa dia tidak mempunyai hubungan special dengan Arjuna seperti yang dikabar burungkan di kampus.Â
Pernyataan itu membuatku lebih mempercayai Bulan sebagai sahabat karibku daripada gosip yang beredar di kampus. Begitu pula dengan ketidakjujuran Bulan terhadapku tidak menjadikan aku berhenti untuk memberitahu anak-anak teater akan kumandang adzan yang sedang terlantunkan.
Aku melanjutkan perkataan tanpa memperdulikan Bulan dan anak-anak teater yang seketika  menghentikan aktivitas musik dan histeria suara manusia. Dalam sekejap seluruh pandangan bola mata Bulan dan anak-anak teater tertuju pada arah tegak di pintu.
"Berhubung adzan sedang berkumandang ijinkanlah muadzin menyuarakan perintah Allah dengan indahnya. Bila kalian masih ingin bersenang-senang. Bersenang-senanglah dalam sepi karena, ini bukan ajang perlombaan antara kalian dengan muadzin." Pintaku
Ucapanku tidak terhenti sampai disitu. Akupun tidak melupakan Bulan sahabat karibku begitu saja.
"Dan kau Bulan. Ikutlah denganku ke masjid??" tegasku
"A..kuu..aku..ehmm"
Mulutnya terasa kaku untuk menjawab pertanyaan. Aku yang menyadari akan hal ini dengan tega meninggalkan Bulan tanpa mendengar alasan kebohongannya yang sering kali diungkapkan. Demi menjaga pandangan dari kaum adam aku segera membelokan tubuh ini selesai mengutarakan kata pada Bulan dan anak-anak teater. Hentakan langkah kaki terasa ringan menuju panggilan Allah. Gantungan kunci dari kain fanel  bertulis "KAMMI UMP" yang menghiasi tas punggung kian bergoyang-goyang. Serapah tak terima pun sempat terlontar mengiringi langkah kaki menuju anak tangga.
"Blagu banget sayang temanmu" lontar  kata mesra Arjuna pada Bulan yang kemudian diikuti celotehan kata pedas dari anak-anak teater lainnya. Bulan yang mendengar sahabatnya dicaci maki hanya  bisa menundukan kepala dengan diam.
"Sembayangan tinggal sembayang koh  ribut. Tidak sembayangan saja kita masih bisa makan"
"Sok berjilbab pula. Padahal sama saja dengan perempuan lainnya. Sama-sama binal"
"Terlalu munafik itu lan temanmu. Jika mengetahui nikmatnya dunia pasti bakal ketagihan." Ha ha ha ha. Tawa dari seorang anak teater.
Aku tak hiraukan cercaan dan tawa-tawa gila dari anak-anak teater yang selalu bikin onar. Aku bungkam semuanya dengan ketegaran hati sebagai langkah awal seorang pejuang yang telah berani mengingatkan.
Pada perenungan dzikir yang terus menerus aku lakukan usai menuaikan sholat wajib dan menjalankan sunah. Terlintas bayangan Bulan yang kian memprihatinkan. Ternyata selama ini aku belum bisa menjadikan dia seperti ibundanya yang muslimah. Lagi-lagi batin ini meneteskan kepedihan. Bayangan Bulan disela-sela dzikir seketika pecah oleh suara seorang dibelakangku pada perkumpulan semacam mentoring sedang menjelaskan sosok Ar Ruhul Jadid.Â
Mendengar makna dari sosok Ar Ruhul Jadid yang berarti "Semangat Baru". Tiba-tiba saja kepala ini tersungkur di lantai. Tersentak kerongkongan ini terasa kering dengan hiasan raga yang semakin penuh Rahmat dari Allah. Air mata jatuh begitu mudahnya. Desakan nafas pun kian terdengar oleh manusia yang sedang berikhtikaf di masjid.
"Ya Rabb..inikah jalan-Mu yang sungguh agung Engkau tunjukan pada hamba, dengan memberikan hidayah Ar Ruhul Jadid pada rumah suci-Mu. Jika memang makna semangat baru ini merupakan langkah awal perjuangan hamba dalam mendatangkan ridho-Mu maka ijinkanlah hamba senantiasa mempertahankan semangat keimanan baru ini dalam naungan-Mu Ya Rabbi. Akan tetapi, bila nantinya hamba akan berpaling dari Rahmat-Mu, lebih baik Engkau hentikan peredaraan darah raga hamba detik ini juga. Laillahailllah Muhammadurrosulullah" desah tangisku.
Laju waktu kian berotasi. Ar Ruhul Jadid telah melekat pada raga ini. Aku berusaha bungkam untuk peristiwa kemarin. Biarpun Bulan telah mengadukan peristiwa kemarin kepada Aya tentang hubungan asmaranya dengan Arjuna yang telah diketahui olehku.
Aku menyadari betul. Sekarang aku jarang meluangkan waktu bersama Aya dan Bulan. Semua itu aku lakukan demi aktivitas baruku yang telah memutuskan bergabung dengan keluarga besar KAMMI. Dan ini konsekuensi yang harus aku pertanggungjawabkan. Meski begitu aku tidak pernah absen sms Aya dan Bulan setiap waktu panggilan kewajiban datang untuk bersujud.
Seperti biasanya Aya menghampiriku untuk berangkat kuliah bersama. Pada perjalanan mengenakan motor metik, Aya sempat menanyakan peristiwa terbongkarnya hubungan asmara Bulan dengan Arjuna padaku. Aku malas sekali untuk membicarakan ini. Bagiku semuanya telah selesai karena, telah mendapatkan jawaban atas ketidakjujuran dia. Dan bagiku tidak ada guna lagi untuk dibicarakan.
"Apa benar ta, kemarin kau telah melihat Bulan dengan Arjuna di sekre??" Tanya Aya
Aku hanya diam. Tidak ingin memberi jawaban lebih. Hingga Aya berkali-kali mengeluangkan kata.
"Kau marah dengan Bulan karena, dia telah membohongimu??"
"Kenapa kau diam??"
"Maafkan aku juga yang tidak memberitahukan ini padamu. Padahal aku sudah mengetahui ini sebelummnya"
Aku turun dari motor metik dan mendahului Aya melangkah menuju ruang kelas. Aya segera menyusulku setelah menaruh motor metiknya diparkiran. Kami duduk di depan ruang kelas. Semuanya bungkam. Lama-lama Aya merasa jenuh denganku. Dia megenggam tangan kiriku. Dan terus menerus meminta maaf dengan nada memelas.
"Maafkan kami ta...please" melirik ke arahku
Aku tidak kuasa dengan ini. Hidup Aya dan Bulan terancam olehku. Pikiranku melayang pada sosok Ar Ruhul Jadid. Mungkin ini langkah yang harus aku jalani untuk selalu mengingatkan Aya dan Bulan pada kebenaran. Kami saling beradu pandang. "Aya..dengarkan aku. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkan kalian"
Aya yang mendengar perkataanku yang belum selesai semakin lemas dengan raut wajah yang hilang harapan. Aku terus melanjutkan perkataan. "Mengapa?? Karena, kalian berdua tidak punya salah padaku. Jadi tidak ada sesuatu yang perlu aku maafkan!" tegasku
Mendengar perkataan itu. Aya langsung memelukku dengan erat. Dan aku terus melanjutkan perkataan. "itu hak kalian untuk memilih. Aku tidak berhak untuk melarang. Aku hanya ingin kalian terus menjaga sholat dan tingkahmu seperti dirumah."
Aya menganggukan kepala. Kami pun tersenyum. Seketika Aya mengangkat ibu jari kepada Bulan yang datang dari arah padangnya. Bulan pun yang melihat adegan pelukan menebar senyuman saat menghampiri kami.
Perkuliahan pun dimulai.
Pada selembar kertas. "teman-teman Trinity A'US nanti pulang kuliah  hunting film yuuuks. yussss habis ntu nonton di kos ku" Lebay
Lembaran kertas yang telah dikotori tulisan oleh Bulan mulai bergeser dari arah Bulan menuju Aya dan mendarat kepada ku. Lalu aku kembalikan selembaran kertas berisi kata-kata itu pada Aya dan Bulan dengan metode estafet.
Aya menjawab "boleh juga tuh ta." Ndutt
Lain halnya denganku. Aku bertolak belakang dari Aya dan Bulan.
"Afwan ukhti. Aku tidak bisa memenuhi keinginan kalian."
Sedikit demi sedikit kata-kata arab sering aku gunakan baik pada tulis maupun lisan. Meski hanya afwan perkataan maaf yang sering aku gunakan. Panggilan cinta pun yang sering disingkat "ta" aku hindari pada ucapan maupun bahasa sms. Meski terkadang aku masih terpengaruh dengan pelafalan dan tulisan cinta oleh situasi.
Perkuliahan telah berakhir tidak seperti biasanya. Hal ini disebabkan karena dosen pengampuh akan menghadiri rapat. Aya dan Bulan merasa senang sekali menerima ini. Begitu juga denganku dapat liqo lebih awal dari biasanya yang sering telat karena terhimpit kuliah.
"Hayuukk cabut" sahut Aya
"Afwan. Aku ada liqo. Lain kali saja"
"Ehmm...mulai nih aliran ahmadiyah." Sindir Bulan
"Ahmadiyah??? NII mbok ta" sahut Bulan lantang dengan logat khas Purwokerto yang diakhiri dengan kata "mbok". Aku hanya tersenyum tanpa menanggapi sindiran dari Aya dan Bulan.
Perasaan ini seketika terasa bergemuruh gelisah saat meninggalkan Aya dan Bulan.
Tidak seperti biasanya. Gemuruh gelisah jiwa ini berpacu kencang berbisik pada Aya dan Bulan. Aku semakin tidak tenang untuk mengikuti kegiatan keagamaan. Berjuta-juta konsentrasi terus aku pusatkan agar gelisah ini tidak menghampiri tubuh ini. Doa pun tak luput aku panjatkan pada ilahi. Allah memberi ketenangan padaku melalui gerak langkahku menuju air wudlu.
Ketenganan itu pun tidak berselang lama dengan deringan handphone. Aku tidak terpengaruh untuk segera mengangkatnya karena aku harus menyelesaikan dzikir dan doa siangku setelah menjalankan sholat dhuzur.
Aya mendangiku dengan raut wajah yang hilang harapan. Aku yang telah  menyelesaikan sholat mempersilahkan duduk dengan sapa salamku. Dia mendekatiku yang masih mengenakan mukenah. Dia menatapku dengan serius seperti ada hal ingin dibicarakan. Seketika dia memelukku begitu erat. Air mata pun menetes.Â
Aku hanya biarkan semuanya begini adanya. Pelukan mulai dilepaskan. Perlahan mulutnya mulai membuka. "Selama ini aku tidak mendengarkan perkataanmu. Aku telah buta oleh cinta pria. Maafkan aku sobat. Selama ini aku telah membohongimu. Aku tidak pantas punya sahabat yang selalu mengingatkan aku pada kuasa alam. Bahkan aku sering menyindirmu tentang organisasi barumu."
Aku hanya diam. Tak berkata sepatah pun. Dia melanjutkan perkataan. "Aku telah siri dengan Akmal setahun yang lalu." Air matanya kembali membanjir. Mendengar pengakuan tersebut hatiku bergetar keras. Pikiranku langsung tertuju pada ayah Aya yang sekarang sering sakit-sakitan. Apa mungkin ini teguran dari Allah.  Aku mencoba menata kata dengan meminta petunjuk dari-Nya melalui qolbu. Ar Ruhul Jadidlah kekuatan baru yang aku gunakan untuk menemukan solusi atas keputusan Aya dan Akmal selaku pacarnya memutuskan untuk siri.
Pikiranku makin mencair. "Bagaimana kondisi ayahmu sekarang???" tanyaku
"Ayah masih sering sakit-sakitan!" tangisnya
"Tidakkah kau pernah berfikir?? Bahwa ayahmu sedang mengingkan putrinya bersanding dipelaminan bersama suamimu???"
Dia hanya diam. "Sakralkanlah cinta kalian dihadapan penghulu dan ayahmu. Supaya ayah bisa menikmati kebahagiannya semasa ayah hidup dengan kebanggaan mempunyai putri sholeha seperti dirimu."
"Tapi..". Kata itu terpotong dan dilanjutkan olehku. "Kau akan hidup bahagia seperti cita-cita wanita sholeha lainnya karena, dunia tidak pernah mengatakan kata keterlambatan pada siapapun. Mulianya lagi kau akan menjadi pencetus kampus terhadap anak-anak yang telah basah bergaulan bebas."
Aku terus menyakinkan Aya dengan mengkikiskan pemikiran Aya akan penilaian teman-teman di kampus, lingkungan kos, segumpal kekecewaan yang ditelan keluarganya, dan gungjingan yang akan ditrima dari para tetangga di rumah. Keputusan 10 menit itu membuat hatiku berbunga segar. Dia berani melangkah kepelaminan dengan Akmal.Â
Akmal pun yang mendapat nasehat dariku melalui media elektronik berupa handphone meski pada awalnya akmal menentang keras, lambat laun hatinya yang membeku mulai terluluhkan juga dengan saranku. Bahkan Akmal berjanji akan mencari pekerjaan demi kelangsungan hidupnya yang akan berkeluarga. Begitu pula dengan Aya akan memulai kehidupan baru dengan pola yang sederhana.Â
Aku yang mendengar semangat dua sejoli merasa bahagia dan mendoakan agar keduanya selalu diberikan keikhlasan disetiap cobaan-cobaan yang akan dilalui. Ternyata sosok Ar Ruhul Jadid telah merasuk juga pada diri Aya dan Akmal. Subhanallah.
Langkahku pun tidak berhenti pada keputusan dua sejoli. Aku pun berusaha membujuk ayah dan ibu Aya yang sudah aku anggap sebagai orang tuaku untuk merestui anaknya menikah disela-sela kuliahnya yang belum menyandang gelar Sarjana seperti yang diharapkan. Rasa sesal berguman dibatin orang tua Aya yang semakin tak muda lagi. Tapi apa daya semua telah terjadi. Restu itupun dengan berat terlontarkan juga. Aya dan Akmal akhirnya akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah cinta mereka halal, dua sejoli ini akan  mulai hidup bersama dalam satu kontrakan."Karyati - Ar Ruhul Jadid"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI