Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[tokohsains] Abu Bakar ar Razi: Cahaya yang Tak Pernah Padam

8 September 2025   12:52 Diperbarui: 8 September 2025   12:52 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar dipotret di dinding SMP PIRI Ngaglik, dokpri)

ABU BAKAR AL-RAZI: CAHAYA YANG TAK PERNAH PADAM

Tadi pagi sebelum upacara bendera di SMP PIRI Ngaglik, saya menemukan gambar Abu Bakar ar-Razi di dekat tembok perpustakaan. Saya merasa penasaran dengan tokoh ini, dan beberapa tokoh lain yang pernah saya tulis hampir setahun yang lalu. Saya mencoba searching di google.

Tokoh sains muslim ini bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi. Dia disebut lahir pada pada 864 M atau 250 H dan meninggal pada 25 Oktober 925 M atau Kamis bulan Sya'ban 312 H. Tidak ada kesamaan informasi yang pasti tentang tahun kematiannya. Menutut foto yang saya potret di SMP PIRI dia meninggal pada tahun 935 Masehi. Ketidakjelasan ini bukan menjadi fokus kita pada siang ini. Dia seorang dokter yang kemudian menjadi saintifik yang berpengaruh.

Bertepatan dengan Hari Literasi Internasinal, tulisan berikut ini merupakan rangkuman kekaguman penulis tentang salah satu ahli kimia Muslim abad 10 asal Iran yang aktual hingga hari ini. 

***

Di sudut kota Ray, Iran, pada abad kesembilan, seorang lelaki berusia empat puluh tahun duduk di bawah lampu minyak, meneliti cairan berwarna kehijauan dalam tabung kaca. Namanya Abu Bakar al-Razi. Tidak ada yang tahu bahwa ia sedang menciptakan fondasi sains modern, tanpa pernah membayangkan bahwa abadnya akan dipenuhi dengan komputer, data, dan kecerdasan buatan.

Di era yang dipenuhi dengan klaim tanpa bukti dan informasi yang mengalir liar, al-Razi justru mengajarkan sesuatu yang sederhana namun revolusioner: kebenaran lahir dari pengamatan, bukan dari kata-kata.

Al-Razi tidak lahir sebagai ilmuwan. Ia adalah seorang dokter yang frustrasi karena pasiennya sering mati akibat kesalahan diagnosis. Pada masa itu, cacar dan campak dianggap sama, hanya gejala yang berbeda dari "penyakit kulit" yang tak jelas. Tapi al-Razi tidak puas. Ia mulai mencatat setiap gejala, setiap pola penyebaran, bahkan cara pasien merespons obat.

Dalam buku Al-Judari wa al-Hams, ia menulis dengan jelas: "Cacar memiliki bintik merah yang besar dan keras, sedangkan campak lebih kecil dan berair. Cacar menyebar lebih cepat, campak lebih lambat." Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah manusia, penyakit yang serupa dibedakan berdasarkan bukti, bukan mitos.

Ketika orang-orang masih memercayai ramalan bintang dan mantra untuk mengobati luka, al-Razi justru menguji senyawa kimia di laboratoriumnya. Ia menguapkan air garam, menyaring logam, dan mengamati reaksi kimia tanpa takut salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun