Semua itu mengarah pada satu kesimpulan; feminisme hari ini harus "berisik" dalam arti strategis. Berisik secara intelektual dengan memperkaya pengetahuan yang lahir dari pengalaman perempuan Indonesia. Berisik secara politik dengan berani masuk ke perdebatan publik. Berisik secara ekonomi dengan menciptakan alternatif yang lebih adil, misalnya melalui koperasi berbasis perspektif feminis.
Seruan tersebut dicatat bukan hanya sebagai wacana konferensi, melainkan agenda bersama. Feminisme tidak boleh kehilangan pengaruhnya. Jika hanya sibuk dengan urusan internal, gerakan ini akan kian terpinggirkan. Tetapi dengan suara-gerakan lebih nyaring dan terarah, feminisme justru berpeluang besar menentukan masa depan untuk keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga bangsa.
Dengan demikian, feminisme Indonesia harus berani menempatkan dirinya sebagai penentu arah bangsa. Dari ruang akademik hingga kebijakan publik, dari kampung hingga dunia digital, suara feminisme mesti hadir. Karena hanya dengan keberanian bersuara, feminisme mampu memastikan bahwa persimpangan ini bukan akhir jalan, melainkan titik awal menuju masa depan yang lebih adil bagi semua.
KCIF 2025 menjadi pengingat bahwa persimpangan adalah awal untuk menyusun arah baru. Feminisme Indonesia mesti menjawab tantangan zaman dengan keberanian, kecerdasan, dan konsistensi. Di tengah badai krisis internal maupun eksternal, inilah saatnya feminisme berbicara lebih nyaring agar tetap relevan, berpengaruh, dan mampu menghadirkan perubahan nyata.
Silahkan klik tautan berikut bagi yang tertarik melihat keseruan diskusinya.Â
https://www.youtube.com/watch?v=2JeYtfo2oK4
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI