Mohon tunggu...
Wahyu Tanoto
Wahyu Tanoto Mohon Tunggu... Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Anak kesayangan Tuhan yang doyan pisang rebus dan kopi hitam. Menulis kumpulan puisi Tanah Basah (2025), Ziarah Hati di Bulan Suci (2025), Kumpulan Cerpen Kenangan itu Ada di Sini (2025), Fiksi mini Content Creator (2025)...,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Feminisme Indonesia, dari Teori ke Medan Pertempuran

26 September 2025   13:18 Diperbarui: 26 September 2025   13:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar diksusi buku (Letts Talk/Youtube.com)

Di tengah gelombang ekstremisme, bias digital, dan cengkeraman oligarki, feminisme Indonesia berdiri di persimpangan. Pertanyaannya, apakah feminisme akan bersuara lantang atau justru terpinggirkan?

Persimpangan yang Menentukan

Feminisme di Indonesia kembali diuji. Gelombang ekstremisme global, bias yang menyebar melalui dunia maya, hingga menguatnya oligarki politik telah menciptakan medan baru yang cukup rumit. Dalam situasi seperti ini, feminisme tidak bisa memilih santai-santai saja. Sebaliknya, dituntut lebih nyaring, hadir dengan keberpihakan yang jelas, dan menembus ruang-ruang yang selama ini didominasi oleh kekuasaan.

Pesan itu mengemuka dalam Kartini Conference on Indonesian Feminisms (KCIF) 2025 yang digelar secara daring pada 14-21 September lalu. Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga sekaligus Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, mengingatkan bahwa feminisme tidak boleh sekadar menjadi kajian rutin atau terbatas pada ruang akademik. Ia harus hadir di tengah arus politik dan sosial yang kian menekan agenda kesetaraan.

Peluncuran buku Feminisme Indonesia di Persimpangan Trajektori dan Destinasi menjadi salah satu penanda. Buku tersebut menyajikan hasil refleksi KCIF 2024 dan menempatkan feminisme Indonesia pada posisi "persimpangan": titik rapuh sekaligus produktif di mana arah gerakan mesti ditentukan.

Menurut Diah Irawaty, salah satu penyunting, menyebut istilah persimpangan sebagai metafora bagi gerakan yang tak pernah berdiri sendiri. Feminisme, katanya, selalu bersentuhan dengan patriarki, konservatisme agama, maupun otoritarianisme. Posisi ini menuntut keberanian untuk tidak sekadar mengikuti arus, melainkan merumuskan jalur baru yang lebih berpihak pada keadilan.

Dari Wacana ke Agenda Nyata

Buku tersebut menunjukkan bagaimana feminisme tidak berhenti di ruang teori semata. Kisah hidup perempuan yang terdokumentasi memberi kedalaman yang kerap luput dari angka-angka statistik. Widjayanti M. Santoso dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRMB-BRIN) menilai pendekatan life story akan memperkuat data sekaligus menjadi materi advokasi.

Pandangan serupa disampaikan M. Firdaus dari KAPAL Perempuan. Dari pengalamannya mendampingi perempuan di sektor informal, ia melihat bagaimana ekonomi kapitalistik terus menyingkirkan kerja-kerja perempuan. Analisis feminis justru mampu memberi pengakuan pada nilai yang selama ini dianggap pinggiran.

Endah Trista Agustiana menambahkan pentingnya interseksionalitas. Advokasi feminis, menurutnya, berkontribusi nyata terhadap kebijakan nasional, termasuk lahirnya tujuan khusus kesetaraan gender dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Semua itu mengarah pada satu kesimpulan; feminisme hari ini harus "berisik" dalam arti strategis. Berisik secara intelektual dengan memperkaya pengetahuan yang lahir dari pengalaman perempuan Indonesia. Berisik secara politik dengan berani masuk ke perdebatan publik. Berisik secara ekonomi dengan menciptakan alternatif yang lebih adil, misalnya melalui koperasi berbasis perspektif feminis.

Seruan tersebut dicatat bukan hanya sebagai wacana konferensi, melainkan agenda bersama. Feminisme tidak boleh kehilangan pengaruhnya. Jika hanya sibuk dengan urusan internal, gerakan ini akan kian terpinggirkan. Tetapi dengan suara-gerakan lebih nyaring dan terarah, feminisme justru berpeluang besar menentukan masa depan untuk keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga bangsa.

Dengan demikian, feminisme Indonesia harus berani menempatkan dirinya sebagai penentu arah bangsa. Dari ruang akademik hingga kebijakan publik, dari kampung hingga dunia digital, suara feminisme mesti hadir. Karena hanya dengan keberanian bersuara, feminisme mampu memastikan bahwa persimpangan ini bukan akhir jalan, melainkan titik awal menuju masa depan yang lebih adil bagi semua.

KCIF 2025 menjadi pengingat bahwa persimpangan adalah awal untuk menyusun arah baru. Feminisme Indonesia mesti menjawab tantangan zaman dengan keberanian, kecerdasan, dan konsistensi. Di tengah badai krisis internal maupun eksternal, inilah saatnya feminisme berbicara lebih nyaring agar tetap relevan, berpengaruh, dan mampu menghadirkan perubahan nyata.

Silahkan klik tautan berikut bagi yang tertarik melihat keseruan diskusinya. 

https://www.youtube.com/watch?v=2JeYtfo2oK4

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun