Mohon tunggu...
Cucum Suminar
Cucum Suminar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer

Belajar dari menulis dan membaca. Twitter: @cu2m_suminar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Cerpen] Keraguan Asrika

22 Februari 2017   20:56 Diperbarui: 1 April 2017   08:46 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Dok femina.co.id

Asrika berlari-lari kecil sambil mengusap bulir air mata yang terus menetes. Perempuan itu terus melebarkan langkah sambil terisak. Beberapa tetangga yang berpapasan dengannya sempat melirik bingung, namun ia tak begitu peduli. Asrika terus berlari menuju rumahnya yang hanya tinggal beberapa meter.

Kabar yang diterima tiga bulan lalu itu seharusnya menjadi kejutan istimewa bagi Asrika, namun entah mengapa justru membuat gadis itu nestapa. Kabar gembira Aksel mendapat beasiswa master dari Leiden University malah membuat hatinya perih berkecai – menyebabkan mata Asrika berkabut laksana selubung di Puncak, Bogor, saat Desember.

Aku tak pantas untukmu, Sel. Pergilah. Nanti kamu pasti akan menemukan pendamping yang lebih baik.

Asrika kembali mengingat ucapan yang ia ungkapkan beberapa menit lalu pada Aksel Ontora – pria yang mengisi hari-harinya selama enam tahun terakhir. Kata-kata tersebut sudah ia pikirkan 30 hari sebelumnya. Meski belum begitu yakin, ia tetap mengucapkan kalimat tersebut 12 jam sebelum keberangkatan Aksel ke Belanda.

Meski Aksel menahannya dan meminta penjelasan terkait keputusan yang Asrika ambil, namun gadis tersebut tak peduli. Ia tak mengucapakan kata apapun lagi usai mengungkapkan tiga kalimat itu. Asrika berlari pulang menuju rumahnya yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari kediaman Aksel.

***


Aksel Ontora merupakan pria sempurna. Lelaki itu tidak hanya menarik dari segi fisik, namun juga cemerlang dari sisi intelektual. Asrika sempat tak percaya saat tetangga yang kerap ia sapa saat melintas di depan rumah, menyatakan ingin menjalin hubungan spesial dengannya.

Walaupun bertetangga Asrika tak pernah membayangkan dapat menjalin hubungan khusus dengan Aksel. Apalagi ia tahu pasti, bagaimana gadis-gadis di sekolah mereka berebut mencari perhatian Aksel yang selalu menjadi juara kelas. Selain bertetangga, Aksel dan Asrika juga satu sekolah, meski berlainan kelas.

Tentu saja mereka berlainan kelas. Aksel yang pintar masuk kelas unggulan. Semua siswa di kelas tersebut merupakan murid pilihan yang meraih ranking tiga besar atau memiliki prestasi tertentu, sementara Asrika yang memiliki kemampuan akademik dan non akademik biasa saja, harus puas belajar di kelas regular.

Saat teman-teman sekolah tahu Aksel menjalin hubungan spesial dengan Asrika, tak sedikit yang mempertanyakan keputusan Aksel. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka. Mereka mengira Aksel akan berpacaran dengan Riana si juara olimpiade, atau menjalin hubungan dengan Aira sang primadona sekolah.

Ingin menjadi kekasih yang diperhitungkan, membuat Asrika berupaya menyamai prestasi Aksel di bidang akademik. Namun sekuat apapun ia berupaya, tidak pernah bisa. Saat hati Aksel berbunga-bunga karena diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Asrika harus puas melanjutkan kuliah di kampus swasta dekat rumah karena ia tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Begitupula setelah lulus kuliah. Ketika Aksel bahagia diterima bekerja di perusahaan multinasional, Asrika harus bersabar mengirimkan lembar demi lembar surat lamaran ke berbagai institusi. Lebih dari 100 surat lamaran Asrika kirim, belum satupun panggilan untuk tes tertulis maupun wawancara. Akhirnya, karena tuntutan kebutuhan ia merintis usaha bunga hias.

Kini setelah rasa percaya dirinya sedikit pulih karena usaha bunga hias yang ia rintis semakin berkembang, Aksel malah mendapat beasiswa pada sebuah universitas ternama. Asrika tidak iri, tidak juga sakit hati. Asrika malah senang karena Aksel mendapatkan semua impian yang ingin ia raih. Hanya saja dengan beragam pencapaian yang diraih Aksel, membuat Asrika semakin merasa tidak layak bersanding dengan Aksel. Ia merasa ada gadis lain yang lebih sesuai untuk mendampingi Aksel.

***

“As, ini. Kuat ya, Nak.”

Asrika menerima sehelai kertas berwarna ungu yang diberikan sang ibu. Kertas tersebut terlihat cantik dengan pita keemasan yang dibuat melingkar. Ada inisial A dan K pada kertas tersebut.

“Itu undangan dari Aksel, tadi ibunya yang memberikan. Tak terasa ya sudah selesai aja Aksel kuliah. Aksel pulang Senin besok dan katanya ingin langsung mengadakan pesta pernikahan dengan gadis yang ia pilih,” tanpa Asrika tanya, sang ibu menjelaskan dengan rinci.

Asrika menghela napas – berat. Ia melempar pandangan pada hamparan dedaunan berwarna tosca yang tumbuh di depan rumah. Sekuat tenaga ia berupaya menahan agar butiran bening tidak menetes dari matanya.

“Mungkin kalian belum berjodoh,” kata sang ibu sambil memeluk Asrika.

***

Hujan menghujam sangat deras disertai angin yang menderu kencang. Tirai penutup jendela di kamar Asrika terbang berkibar-kibar.

As, aku udah pulang, nanti kalau hujan sudah reda mampir ke rumah ya.

Itu pesan dari Aksel. Isi pesannya masih sama seperti dulu, seperti mereka masih menjalin kasih. Saat mereka masih berstatus sebagai sepasang kekasih, sesekali Aksel memang mengirim pesan agar Asrika mampir kerumahnya untuk mengambil barang yang ia beli. Biasanya ia mengirim pesan seperti itu saat baru pulang dari luar kota atau luar negeri. Aksel memang tak pernah lupa membelikan buah tangan untuk Asrika setiap kali ia pergi lumayan jauh dari kota kelahiran mereka.

Asrika tak membalas pesan Aksel. Ia malah tergugu menangis hingga sore menjelang. Rasa pedih yang menghujam membuat Asrika larut dalam kesedihan. Ia berusaha menetralisir rasa patah hati dengan mengeluarkan air mata sebanyak mungkin hingga lelah – dan akhirnya tertidur.

Tok! Tok! Tok!

Gedoran pintu kamar yang cukup kencang membuat Asrika terbangun.

“As, bangun.”

Terdengar suara sang ibu membangunkannya. Lalu dengan gontai Asrika beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.

“Ada Aksel, diluar, ayo ditemui.”

Asrika menggelang, enggan menemui pria itu, apalagi dengan kondisi mata sembab habis menangis sepanjang hari. “Bilang pada Aksel kalau Asrika masih tidur, Bu.”

***

Asrika mematut diri di depan cermin. Ia berusaha menyamarkan kantung mata akibat terus menangis dengan concealer. Asrika berusaha agar ia terlihat baik-baik saja di depan Aksel. Apalagi dulu memang ia yang meminta untuk berpisah dari pria tersebut – meski beberapa jam setelah kalimat tersebut terucap ia menyesal dan ingin memperbaiki semuanya.

Sayang rasa gengsi Asrika yang terlalu besar membuat ia enggan meminta nomor ponsel baru Aksel melalui teman ataupun keluarganya. Ia memilih menunggu Aksel menghubunginya lebih dulu. Namun itu tak pernah terjadi. Aksel baru mengirim pesan kemarin siang, saat hujan lebat mengguyur.

“Ayo, Nak, tak enak kalau kamu terus menghindari Aksel. Apalagi dia sudah mau menikah,” ujar sang ibu sambil membimbing Asrika ke ruang tamu.

“Hai As, apa kabar?” tanya Aksel berbasa-basi saat Asrika sudah merebahkan diri di sofa.

“Baik, alhamdulillah. Kalau kamu?” Asrika ikut berbasa-basi.

Aksel hanya tersenyum. Ia kemudian menyerahkan sebuah kotak besar berwarna cokelat.“Ini buat kamu, pasti suka.”

Asrika menerima kotak tersebut sambil bertanya-tanya apa kira-kira isi dari kotak tersebut. “Kamu yang mau menikah, kok aku yang dapat kado,” Asrika berusaha membuat lelucon untuk menutupi kegugupannya.

“Itu oleh-oleh dari aku dan Karin,” ucap Aksel masih dengan senyum.

“Karin.....”

“Calon istriku. Aku dan Karin menjelajah hampir seluruh Eropa untuk mendapatkan model sepatu boots yang unik dan cantik untuk kamu. Mudah-mudahan kamu suka oleh-oleh dari kami ini. Anw, kamu maih suka sepatu boots kan?”

Asrika hanya mengangguk sambil mengamati sepasang sepatu boots berwarna cokelat muda.

“As, untung kita berpisah sebelum aku ke Belanda. Ternyata aku memang tidak sesetia yang dibayangkan. Aku kira aku bisa menjaga hati dan akan kembali padamu usai studiku selesai. Namun ternyata aku tidak bisa. Saat bertemu Karin semuanya berbeda. Aku tidak bisa menahan pesona Karin dan ingin cepat-cepat menikahinya.”

Asrika kembali terdiam. Ia seolah tidak tahu apa yang harus diucapkan. Ada keheningan selama beberapa menit usai Aksel mengucapkan kalimat tersebut.

“Terimakasih untuk kebersamaan kita selama beberapa tahun ini. Walaupun aku sudah menikah, mudah-mudahan kita masih bisa menjaga hubungan baik, apalagi orangtua kita bertetangga.”

Kring... Kring... Kring...

Saat keheningan hampir kembali tercipta, tiba-tiba ponsel Aksel berdering.

“Dari Karin, sebentar ya, As,” ucap Aksel. Ia kemudian menekan tombol hijau. “Iya, Rin, kamu lurus saja, nanti ada rumah dua tingkat yang berpagar hijau. Biar kamu tidak bingung, nanti aku tunggu di depan.”

“Karin mau kesini?” tanyaku usai Aksel menutup telepon.

“Iya, dia ingin berkenalan dengan kamu, tadi mau kesini bareng aku tapi masih ada hal yang harus dikerjakan. Yuk, kedepan nanti dia bingung,” ajak Aksel.

Aku dan Aksel menunggu hampir 10 menit di depan gerbang, hingga akhirnya gadis manis yang mengenakan dress berwarna biru muda itu muncul.

“Rin, ini Asrika yang sering aku ceritakan.”

Karin tersenyum dan mengulurkan tangan. Mereka mengobrol selama beberapa menit. Saat Asrika meminta Aksel dan Karin masuk kembali kerumah agar lebih leluasa mengobrol, mereka menolak.

“Masih banyak yang harus disiapkan. Nanti kapan-kapan kita mengobrol lagi,” ujar Karin sambil memberi isyarat pada Aksel agar segera berpamitan.

Asrika hanya tersenyum saat Aksel dan Karin berpamitan meninggalkan rumahnya. Ia tetap berdiri di gerbang. Dari kejauhan ia menatap Aksel yang berjalan gagah digadeng gadis mungil yang melangkah tertatih. Yup, Karin, calon istrinya – perempuan yang sudah kehilangan sebelah kakinya sejak ia remaja dan terpaksa mengenakan kaki palsu.

“Sel, andai saja aku lebih percaya diri,” terdengar gumaman halus dari bibir Asrika saat melihat kedua sejoli tersebut semakin menjauh. (*)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun