Mohon tunggu...
cornelia ratna nila
cornelia ratna nila Mohon Tunggu... Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tri Hita Karana Sebagai Filsafat Hidup dan Kearifan Lokal

11 Oktober 2025   08:30 Diperbarui: 10 Oktober 2025   18:59 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pulau Bali dikenal sebagai daerah yang kaya akan nilai-nilai budaya, spiritual, dan sosial yang membentuk cara hidup masyarakatnya. Salah satu ajaran paling mendasar yang menjadi pedoman kehidupan sehari-hari adalah Tri Hita Karana, yang berarti "tiga penyebab kebahagiaan". Secara etimologis, kata tri berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana berarti sebab. Maka, Tri Hita Karana dapat dipahami sebagai ajaran tentang tiga sumber kesejahteraan hidup manusia: hubungan dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan dengan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam (Palemahan).

Konsep ini lahir dari pandangan spiritual masyarakat Bali yang bersumber pada ajaran Hindu, namun telah berkembang menjadi pedoman hidup universal. Filsafat ini menuntun manusia untuk menjaga keseimbangan antara dimensi spiritual, sosial, dan ekologis. Dalam dunia modern yang sering menekankan aspek material, nilai-nilai Tri Hita Karana mengingatkan manusia bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai bila terdapat harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Makna Filsafat Hidup dalam Tri Hita Karana

Filsafat hidup pada hakikatnya adalah cara pandang seseorang atau masyarakat dalam mencari makna dan tujuan hidup. Dalam konteks Tri Hita Karana, filsafat ini menegaskan bahwa kesejahteraan manusia tidak hanya bergantung pada kemajuan ekonomi, tetapi juga pada keseimbangan spiritual, sosial, dan lingkungan.

Nilai Parahyangan menekankan hubungan manusia dengan Tuhan. Masyarakat Bali mewujudkannya melalui berbagai bentuk persembahyangan dan upacara keagamaan, seperti odalan dan melasti. Melalui ritual-ritual ini, manusia belajar untuk bersyukur, berdoa, dan menjaga kesucian batin sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Aspek Pawongan menggambarkan hubungan harmonis antar sesama manusia. Prinsip menyama braya yang berarti memandang sesama sebagai saudara menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat Bali. Nilai ini tampak dalam kegiatan gotong royong, kerja bakti, dan solidaritas dalam upacara adat. Melalui hubungan sosial yang baik, kebahagiaan menjadi milik bersama, bukan hanya individu.

Sementara itu, Palemahan mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam. Alam tidak dilihat sebagai objek yang bisa dieksploitasi, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dihormati. Kesadaran ekologis ini tercermin dalam cara masyarakat Bali mengelola sumber daya alam dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.

Ketiga nilai ini saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan kehidupan. Bila salah satunya diabaikan, harmoni kehidupan akan terganggu. Karena itu, Tri Hita Karana menjadi pedoman hidup yang menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Tri Hita Karana sebagai Kearifan Lokal

Sebagai kearifan lokal, Tri Hita Karana tidak hanya menjadi ajaran moral, tetapi juga tercermin dalam perilaku dan sistem sosial masyarakat Bali. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diimplementasikan dalam berbagai tradisi, upacara, serta tata kehidupan yang menyatukan unsur spiritual, sosial, dan ekologis.

1. Upacara Seren Taun

Tradisi Seren Taun, yang dikenal luas di masyarakat agraris Sunda, mengandung nilai-nilai sejalan dengan Tri Hita Karana. Upacara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen, sekaligus penghormatan terhadap alam dan manusia. Dimensi Parahyangan tampak dalam doa dan persembahan yang dilakukan kepada Sang Pencipta, sedangkan Pawongan terlihat dalam kerja sama dan kebersamaan warga selama pelaksanaan upacara. Nilai Palemahan tercermin dari penghargaan terhadap tanah dan lingkungan yang menjadi sumber kehidupan. Dengan demikian, Seren Taun menggambarkan keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis sebagaimana ajaran Tri Hita Karana.

2. Upacara Ngaben

Ngaben merupakan salah satu tradisi keagamaan Hindu Bali yang melambangkan pelepasan roh dari ikatan duniawi menuju penyatuan dengan alam ilahi. Dalam konteks Parahyangan, Ngaben menjadi bentuk pengabdian spiritual kepada Tuhan dengan tujuan membantu roh mencapai kesucian. Nilai Pawongan terlihat dari kebersamaan dan gotong royong antarwarga saat menyiapkan upacara. Sementara Palemahan tampak dalam penghormatan terhadap unsur alam, karena prosesi Ngaben mengandung simbol keseimbangan antara elemen tanah, air, api, dan udara. Upacara ini bukan sekadar ritual kematian, tetapi juga pengingat akan keharmonisan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.

3. Sistem Subak

Sistem pengairan tradisional Subak adalah salah satu penerapan nyata Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali. Lebih dari sekadar sistem teknis pertanian, Subak merupakan sistem sosial dan spiritual yang mengatur hubungan antarpetani agar adil dan seimbang. Dalam Parahyangan, para petani memuja Dewi Sri sebagai dewi kesuburan melalui upacara di Pura Subak. Dalam Pawongan, mereka bermusyawarah dan bekerja sama dalam membagi air irigasi. Sedangkan dalam Palemahan, petani menjaga kesuburan tanah dan kebersihan air. Subak menunjukkan bahwa harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dapat diwujudkan dalam sistem kehidupan yang berkelanjutan.

4. Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan bentuk perwujudan keseimbangan spiritual dan ekologis yang sangat kuat. Dalam Parahyangan, umat Hindu melakukan tapa brata dan meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dari sisi Pawongan, Nyepi menciptakan suasana damai karena seluruh masyarakat berhenti dari aktivitas duniawi, memperkuat solidaritas dan kedamaian sosial. Sedangkan dalam Palemahan, hari hening ini memberikan waktu bagi alam untuk "bernapas" dan memulihkan diri dari aktivitas manusia. Nyepi adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai Tri Hita Karana diterapkan dalam kehidupan modern tanpa kehilangan makna spiritualnya.

Tri Hita Karana bukan hanya bagian dari budaya Bali, melainkan juga sebuah filosofi hidup universal yang mengajarkan keseimbangan dan harmoni. Sebagai filsafat hidup, ajaran ini menuntun manusia untuk menjaga hubungan yang selaras antara Tuhan, sesama, dan alam. Sebagai kearifan lokal, Tri Hita Karana termanifestasi dalam berbagai tradisi seperti Seren Taun, Ngaben, Subak, dan Nyepi, yang semuanya menanamkan nilai kebersamaan, penghormatan terhadap alam, dan kesadaran spiritual.

Dalam era modern yang sering menonjolkan kepentingan material dan individual, nilai-nilai Tri Hita Karana menjadi pengingat penting bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui keseimbangan batin, sosial, dan lingkungan. Dengan memahami dan menerapkannya, manusia dapat menciptakan kehidupan yang damai, berkelanjutan, serta penuh makna bagi dirinya dan alam semesta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun