Melihat pasukan Aceh yang datang dengan jumlah besar dan bersenjata lengkap, Deli Tua menyiapkan segala kekuatan untuk melawan.
Sebab, Deli Tua tidak memiliki pasukan sebanyak Aceh, kedua abang Putri Hijau pun memutuskan untuk menggunakan kesaktian mereka.
Mambang Yazid memimpin pasukan di garis depan, sementara Mambang Khayali menunjukkan pengorbanan yang tak terbayangkan.
Sungguh heroik, Mambang Khayali mengubah wujud dirinya menjadi meriam besar yang sakti. Meriam ini diletakkan di benteng pertahanan utama, menembakkan peluru yang menghancurkan kapal-kapal Aceh dan menewaskan banyak tentaranya.Â
Pertempuran berkecamuk hebat selama berhari-hari. Tentara Deli berjuang mati-matian, dilindungi oleh tembakan dahsyat dari meriam jelmaan Mambang Khayali. Meriam itu berbunyi tanpa henti, memuntahkan peluru panas.
Tiba-tiba, saat pertahanan mulai goyah dan musuh semakin mendekat, meriam itu tidak mampu menahan serangan lebih lanjut.Â
Meriam jelmaan Mambang Khayali pun terbelah dua, meninggalkan bagiannya yang buntung. Meriam yang terbelah ini, yang kini dikenal sebagai "Meriam Puntung," menjadi bukti bisu betapa sengitnya pertempuran tersebut dan betapa besarnya pengorbanan Mambang Khayali (sumber: Jejak Peninggalan Sejarah dan Budaya Melayu, Dr. Tengku Luckman Sinar, 2010).
Akhir yang Melankolis dan Misterius
Akibatnya, pertahanan Deli Tua akhirnya jebol. Mambang Yazid menyadari bahwa mereka telah kalah, dan kini fokus utamanya adalah menyelamatkan Putri Hijau dari penawanan dan aib. Putri Hijau akhirnya tertangkap dan dibawa ke kapal Aceh.
Dalam perjalanan menyeberangi Selat Malaka, di tengah laut yang tenang, Putri Hijau memohon izin kepada Sultan Aceh. Dia meminta untuk diberi waktu untuk mengambil kotak kaca berisi perhiasan dan harta pusaka miliknya. Permintaan itu dipenuhi, dan kotak kaca pun dibawa ke geladak kapal.