Bagaimana rasanya pindah karier di usia 30-an? Ada yang bilang, rasanya seperti memulai hidup dari nol. Ada juga yang justru merasa akhirnya hidupnya benar-benar dimulai. Bagi sebagian orang, usia 30-an adalah masa penuh pencarian - soal arah, makna, dan kesetiaan pada diri sendiri.
Aku sendiri belum mengalaminya. Usia belum sampai ke angka itu. Tapi, suatu malam, aku pernah mendengar kisah yang membuatku berpikir jauh ke depan. Kisah itu datang dari seseorang yang sudah kuanggap seperti ayah sendiri - Papa angkatku.
Malam itu kami duduk di teras rumah, ditemani secangkir kopi hitam dan angin yang berembus lembut dari halaman. Obrolan ringan kami tiba-tiba berubah arah ketika Papa mulai mengenang masa lalunya di ibu kota. Dari raut wajahnya, aku tahu itu bukan cerita biasa. Itu kisah tentang keberanian meninggalkan sesuatu yang ia cintai, demi sesuatu yang lebih bermakna.
Antara Cinta dan Karier: Dari Kamera ke Pena
Papa lahir dan besar di Purworejo, Jawa Tengah. Dari kecil, dunia seni sudah jadi napasnya. Ia senang seni pertunjukan, menulis, dan memerhatikan kehidupan dengan cara yang puitis. Kesenangannya itulah yang mengantarkannya menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta - tempat impian para calon seniman muda.
Di kampus itu, katanya, hari-harinya penuh dengan kerja kreatif. “Rasanya hidup banget,” begitu ucapnya. Ia membuat film pendek, film dokumenter, bahkan pernah mengarahkan iklan. Meski namanya tak sepopuler sineas besar yang wara-wiri di layar lebar, Papa pernah merasakan manisnya hidup dari karya. Ia hidup di tengah kota yang tak pernah tidur - dunia yang penuh gairah dan kebebasan.
Sampai suatu hari, sebuah pertemuan mengubah segalanya. Waktu itu masih zaman Friendster - media sosial generasi awal sebelum Facebook merevolusi cara orang berkenalan. Lewat platform sederhana itulah ia bertemu dengan seorang gadis dari Sumatera, mahasiswi biologi di Universitas Sriwijaya. Awalnya hanya obrolan ringan, tapi lama-lama menjadi dekat.
“Kadang cinta datang di saat kita tidak mencarinya,” katanya sambil tersenyum tipis malam itu.
Setelah menikah, Papa dihadapkan pada pilihan sulit. Istrinya baru diterima sebagai pegawai negeri sipil di Lampung. Sementara Papa sudah punya karier yang lumayan mapan di Jakarta. Tapi keputusan harus diambil.
“Istriku nggak mungkin ikut ke Jawa, aku juga nggak tega memintanya meninggalkan pekerjaan yang baru ia dapat,” ujarnya.
Jadi, ia memilih mengalah. Ia memutuskan meninggalkan ibu kota - meninggalkan dunia yang sudah lama menjadi bagian dari dirinya.
“Berat, tentu saja. Tapi kadang, cinta itu bukan soal siapa yang menang atau kalah. Cinta itu soal siapa yang rela menyesuaikan langkah,” katanya pelan.
Ia merantau ke Sumatera dengan bekal keyakinan dan kenangan. Tak ada teman lama, tak ada jaringan kerja, tak ada gemerlap dunia film yang dulu menghidupinya. Hanya ada dirinya sendiri, dan sebuah niat untuk memulai lagi.
Perjalanan baru itu tidak mudah. Dunia seni yang bebas, penuh imajinasi, tiba-tiba diganti dengan realitas kerja yang serba disiplin dan faktual. Tapi Papa tak kehilangan semangatnya. Ia sadar bahwa meski jalannya berubah, jiwanya tetap sama: seorang pencerita.
Dengan kemampuan menulis yang sudah diasah sejak remaja, ia mencoba peruntungan di dunia jurnalisme. Setelah melewati beberapa kali penolakan, akhirnya ia diterima di kantor berita nasional - Antara. Di situlah babak baru hidupnya dimulai.
“Ternyata menulis berita itu juga seni,” katanya sambil tertawa kecil. “Bedanya, kali ini aku bercerita tentang kenyataan, bukan imajinasi.”
Dunia jurnalistik memberinya cara baru untuk berkarya. Ia belajar tentang kejujuran, ketepatan, dan tanggung jawab atas setiap kata. Jika di film ia menyampaikan makna lewat visual, di jurnalistik ia menyalurkan pesan lewat kata.
Tantangannya banyak: menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang ketat, menghadapi tekanan deadline, hingga belajar memahami budaya dan adat di tanah baru. Tapi semuanya ia jalani dengan tekun dan rendah hati.
Pelajaran dari Sebuah Perubahan
Kini, setiap kali mengingat kisah itu, aku seperti mendengar pesan yang tak pernah ia ucapkan secara langsung: bahwa pindah karier bukan akhir dari perjalanan, melainkan babak baru untuk mengenal diri sendiri.
Kadang, kita terlalu takut kehilangan apa yang sudah kita punya, sampai lupa bahwa kemampuan beradaptasi juga adalah bentuk kekuatan. Seperti Papa - yang berani menukar gemerlap ibu kota dengan ketenangan kota kecil, menukar kamera dengan pena, tapi tetap menjadi dirinya yang sejati: seorang pencerita.
Banyak orang di usia 30-an mungkin sedang menghadapi dilema yang sama. Ingin meninggalkan pekerjaan yang tak lagi memberi makna, tapi takut memulai dari awal. Takut kehilangan penghasilan, takut gagal, takut dinilai orang. Padahal, dalam setiap keputusan besar, selalu ada ruang untuk tumbuh.
Dari Papa aku belajar, bahwa karier bukan hanya tentang posisi atau gaji, tapi tentang sejauh mana kita merasa hidup di dalamnya. Ia tidak lagi menjadi sutradara film, tapi hidupnya tetap disutradarai oleh semangat yang sama - semangat untuk bercerita, berbagi, dan memberi arti.
Kini, setiap kali aku mendengar kisah orang yang berani pindah karier di usia 30-an, aku tidak lagi melihatnya sebagai langkah nekat. Tapi sebagai bentuk keberanian yang indah. Karena yang paling penting bukan seberapa cepat kita sampai, melainkan seberapa tulus kita melangkah.
Mungkin suatu saat nanti, ketika usiaku sudah menginjak 30, aku juga akan sampai pada persimpangan itu. Tapi setidaknya kini aku tahu satu hal: memulai dari nol bukan berarti kalah, asalkan hati kita tetap penuh - penuh keyakinan, penuh makna.
Kadang hidup memanggil kita untuk berpindah, bukan karena kita gagal di tempat lama, tapi karena kita sudah tumbuh terlalu besar untuk tetap tinggal di sana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI